23.

65 16 0
                                    

Farren punya satu kontrakan dan ia masih tinggali sampai sekarang. Kontrakan itu sudah lama ia beli, semenjak sebuah insiden terjadi Farren jadi lebih sering di sini.

Hari Minggu pagi Farren sudah mandi dan siap dengan kemeja hitamnya dengan lengan yang ia gulung sampai sikut. Cuaca hari ini cukup panas jadi ia memutuskan untuk menggunakan celana pendek dengan warna bagie saja.

"Rapi bener, mau ketemu Kakak Ipar, ya?" Seseorang yang baru keluar dari kamar menebak seolah ia adalah bagian dari kepala Farren.

"Gak usah kepo, Jir," ujar Farren pada Jiro. "Lo mau di sini aja apa balik?"

Jiro yang baru saja bangun tidur mencharger HP-nya di bawa TV yang penuh dengan kabel PS bekas semalam ia dan Farren bermain.

"Gue di sini aja dulu. Mau di kunci?" tanya Jiro.

"Kalau masih mau di sini ya enggak, nanti lu titip ke Abay aja tapi kabarin dulu," jawab Farren.

"Emang mau ke mana sih, lo rapi bener?"

Farren hanya meliriknya, "Pergi bentar."

"Nyamperin Meza?" tebak Jiro tepat sasaran.

Di antara teman-temannya yang lain memang Farren lebih dekat dengan Jiro. Jiro juga banyak tau tentang keluarganya dan Farren tak pernah menutupinya sama sekali. Bisa dibilang Jiro itu teman seperjuangannya. Latar belakang mereka sama.

"Meza udah tau lo adek kakak sama Ghazi? Cowok yang bikin dia trauma?" Jiro benar-benar tahu segalanya.

Farren yang tengah duduk di lantai sambil memakai kaos kakinya mendongak, ia lalu menurunkan kembali pandangannya begitu Jiro duduk di kasur lantai.

"Dia belum tau apa-apa, kami pernah ketemu bertiga di minimarket tapi dia langsung kabur waktu itu," jelas Farren. "Tapi kalau sekarang ketemu kayak biasa, seolah gak ada apa-apa."

"Lo yakin dia punya trauma atau semacamnya?" Jiro memeluk kedua kakinya.

"Dia bolak-balik psikolog terus. RS tempat dia konsul tuh sama kayak Mama," jawab Farren. "Cuma ada satu yang gue aneh, Ji."

"Apa?"

Farren menahan dirinya saat mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Sesuatu yang benar-benar tak bisa ia ceritakan.

"Nggak deh, gak jadi," Farren melenggangkan kepalanya. "Gue otw dulu, ya. Inget kata gue tadi."

****

Meza tak tahu apa yang akan Farren lakukan di hari Minggu ini. Semalam cowok itu mengajak Meza bertemu, namun tak menyebutkan apa tujuannya.

Masih ingatkah kalian kafe terpencil di tepi kota yang pernah jadi tempat Farren membantunya mengerjakan tugas? Sekarang mereka bertemu lagi di sini dan Farren yang mengusulkan.

Sambil memakan donat yang katanya titipan Bundanya Farren, cewek dengan kaos bola MU itu melirik ke penjuru kafe. Meski hari libur kafe ini terlihat sepi, entah kurang promosi atau belum jamnya ramai karena dilihat dari lokasi sih, kafe ini cukup strategis.

"Sori, nunggu lama?" tanya Farren, ia baru saja datang. Mungkin karena Meza terlalu fokus melihat isi kafe jadi tak sadar saat lonceng di pintu masuk berbunyi.

"Nggak," Meza menegakan tubuhnya. "Tapi lo lama sih," katanya.

Farren tersenyum miring, "Itu tandanya lo udah nunggu lama."

"Iya sih, biar lo gak ngerasa gak enak aja," sahut Meza.

Selalu bisa membawa suasana. Begitulah seorang Meza Febriani yang Farren kenal.

RationemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang