Bab satu ( Pilihan Magang )
Tangan Zea sibuk menggulir salah satu laman dalam internet. Mengulik informasi secara teliti setiap perusahaan yang ada di kota ini. Sangat fokus, karena ini semua menyangkut masa depannya. Dua minggu lagi adalah waktu magangnya bersama teman-teman angkatannya.
Namun, sampai saat ini ia belum dapat menjatuhkan pilihan di mana ia akan mengajukan surat izin magang. Tiga bulan saja, tapi itu semua menentukan bisa atau tidak dirinya menyusun skripsi dan yang pastinya semua aktifitas di sana akan dilaporkan ke dosen bersangkutan.
Ini pilihan yang sulit. Zea mendesah, lagi-lagi tak mendapat yang cocok dengannya.
Maira teman satu bangkunya selama menduduki dunia kampus ini mendengus jengah. "Kenapa musti pusing-pusing sih, Ze?" tanya Maira. "Lo kan, bisa ngajuin di perusahaan Papa sama Om, lo. Di sana malah bagus kok, setau gue," lanjut Maira.
Zea menghembuskan nafasnya. "Gue nggak enak Mai. Lo tau kan, gue ini siapa. Gue nggak mau lebih ngebebanin mereka. Lagian, hemm... gue pengen nyoba suasana yang beda," tuturnya ragu. "Kayaknya lebih enak kalau sebelumnya sama-sama nggak kenal."
"Enaknya?" Maira mengernyit.
"Enaknya pengalaman gue nambah lah. Gue bisa tau berbagai karakter orang, beda lagi kalo masuk di kantor Papa atau Om?" Di akhiri ringisan tak yakin, Zea hanya tidak percaya diri saat mengucap sebutan 'Om'.
Maira mengusap lengan Zea kasihan. "Kenapa nggak yang lain aja kalau gitu Ze? Kan di sini juga banyak perusahaan bagus-bagus."
Zea menoleh. "Nggak cocok sama peraturan plus sistem kerjanya. Sistem kerja yang cocok nggak mesti ada sih, emang."
"Entar deh, coba gue tanyain ke Abang gue, siapa tau masih ada tempat buat lo magang. Biar kita bareng." Zea menanggapi dengan senyum.
"Makasih Mai! Lo baik banget, tapi kalau nggak ada yaudah nggak papa. Nggak usah maksa Abang, lo. Lagian guenya juga mau magang malah nawar-nawar." Maira tertawa tapi tak urung mengangguk.
***
Malam tiba, semua kumpul di ruang keluarga. Zea, Ghali—papanya, Denia—mamanya juga Nalen. Sudah beberapa hari ini memang Nalen menginap di rumahnya, karena menyiapkan semua persiapan pernikahannya yang akan digelar minggu depan di rumah ini.
Zea duduk diantara kedua orang tuanya sambil makan coklat. Ia memakai baju tidur warna kuning dan kerudung langsungan yang warnanya senada. Kedua orang tuanya sibuk berbicara bersama Nalen. Sedangkan dirinya menikmati coklat serta asik nonton televisi.
"Ze, kamu kapan magang?" tanya Denia.
"Minggu depan, Ma. Emang kenapa?" tanyanya masih dengan makan coklat.
"Kamu magang di perusahaannya Papa aja, ya. Biar Papa enak kalau ngawasin," ujar Ghali mengajukan perintah.
Denia senyum, mengusap kerudung putrinya. "Iya, mending di perusahaan Papa aja. Udah jelas juga, kan. Nggak usah susah nyari di luar, Papa sendiri punya tempat buat kamu."
Zea menghembuskan napas pelan. Benar memang, perusahaan papanya itu bagus dan sudah jelas kebagusannya. Tapi, dia juga sadar diri, Zea tidak mau tambah jadi beban keluarga, beban untuk kedua orang tuanya. Ya, apalagi kalau bukan menjadi beban?
"Bukannya nggak mau sih, Ma. Tapi, aku mau cari nuansa baru gitu. Yang bener-bener nggak kenal sama aku. Pastinya kalau di kantor Papa, aku diperlakukan beda. Nggak asik, ah!" Bohong, dia terpaksa mengatakan itu. Tidak mungkin Zea mengatakan jika dia tidak mau merepotkan lebih lanjut kedua orang tuanya itu. Yang ada Ghali akan marah, dan bisa saja tersinggung meski maksud Zea bukan meremehkan.
Tapi, Zea tidak semuanya berbohong, dia juga berpikir kalau magang di kantor Ghali akan diperkenalkan sebagai anaknya dan diperlakukan berbeda. Padahal yang melatih seseorang untuk bisa berpikir maju dan punya pendirian adalah dengan tidak dimanja, dalam masalah ini disebut diperlakukan istimewa sedang kemampuan belum apa-apa. Zea tidak suka seperti itu, dia takut jika orang memilih berteman hanya karena cari muka. Alias fake.
Sedangkan kekayaan selama ini bukan miliknya.
"Loh, nggak masalah dong! Malah bagus nggak ada yang semena-mena sama kamu, Ze," ujar papanya.
"He'em, Mama juga bisa tenang Zea." Denia menambahi.
"Tapi, Paaaaa. Entar mereka temenan sama aku karena cuma mau untuk cari muka alias fake friends," kilahnya tetap tak mau. "Aslinya mah, aku nggak punya apa-apa." Kalimat terakhirnya dibuat pelan.
"Apapun alasan, Zea. Papa tetap nggak setuju kalau kamu magang selain di kantor Papa. Ka-"
"Biar Zea magang di kantor aku aja, Mas." Potong Nalen yang sedari tadi menyimak perdebatan kecil antara ayah dan anak itu.
Zea melotot melihat ke arah Nalen. "Apa, Om? Aku nggak mau, sama aja kayak di kantor Papa. Nggak ah, pokoknya aku nggak mau."
"Kalau gitu kamu nggak usah magang aja. Biarin nggak ikut skripsi nggak lulus," tutur papanya tiba-tiba.
Zea menoleh cepat ke papanya, menatap tak percaya. "Kok gitu sih, Pa?"
"Kamu tinggal pilih aja. Magang di kantor Papa dan dikenal sebagai anak kami atau di kantor Nalen?" Ghali mengangkat bahunya, "terserah kamu mau milih di mana. Itu sih yaa ... kalau kamu masih mau magang," lanjut Ghali santai sambil melirik kecil putrinya.
Zea menggigit bibir bawahnya kuat. Dia harus apa, bagaimana dan sebenernya mengapa?
Huh, magang tapi, di perusahaa papanya atau omnya atau sama sekali tidak magang? Kalau di perusahaan milik papanya dia harus terkenal sebagai anak pemilik perusahaan, kalau di omnya, ck, Nalen itu sangat menyebalkan kalian tahu. Semoga saja pilihannya tidak salah.
Kalau kalian pilih mana?
Zea tidak mau lebih merepotkan mereka dan tidak mau di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan. Dia enggan untuk berteman dengan orang yang ada maksud terselubung.
Sedangkan di posisi lain, Nalen menelan ludahnya susah payah. Melihat Zea yang menggigit bibirnya, itu terlihat begitu menggoda iman. Jadi, menimbulkan masalah untuk tubuhnya. Ah, sial! Perempuan itu sengaja menggodanya atau bagaimana?
Arrgh!
"Di kantor Papa tapi sebagai karyawan biasa. Aku nggak mau dikenal sebagai anak, Bos?" tawar Zea.
"Enggak. Penawaran tetap sama seperti awal," final papanya.
Zea menghembuskan nafas pasrah, melirik omnya yang acuh tak acuh. Menyebalkan, batinnya. "Oke. Aku magang di kantor, Om Nalen. Tapi, aku nggak mau dikenalin sebagai keponakan, Om. Gimana?" Ini merupakan penawaran final, semoga jawabannya, ya.
Namun ...
Nalen malah mengangkat bahu acuh. "Nggak ada juga yang mau ngenalin kamu sebagai keponakan saya."
Tuhkan,
Zea mengatupkan mulutnya dan matanya menajam ke arah Nalen. Darahnya seperti mendidih, mungkin kalau ada uapnya akan keluar lewat pori-pori kulitnya. Tangannya meremat coklat yang masih tersisa di bungkusnya. Ya, inilah yang diharapkan tetapi ...
1...
2...
3..-
Tukk..
'aiss'
"Nyebelin!"
Zea pergi setelah melempar coklat remasannya tadi ke arah Nalen, yang mendarat mulus di kening laki-laki itu. Denia dan Ghali tertawa, menertawakan kehebatan anaknya yang berhasil membuat Nalen mengaduh sakit.
Kapok! Batin keduanya.
Nalen menatap tajam punggung yang telah menjauh itu.
(Sen, 18 Jan 21)♡
Revisi, Sen22Agus22
Tertanda Cinta♡
![](https://img.wattpad.com/cover/255441200-288-k648359.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dari Omku (TERBIT) - Tersedia Di Karyakarsa #RR1
Romance#Rel-Romance1 ☡Awas Baper!!! [ TERBIT/SEDANG PO] [PRE ORDER] KALIAN BISA PESAN DI NO (+62 88291093350-Rere) ATAU BISA DM AKU YAA. HARGA 89K-179K. Kalian juga bisa pesan di Shopee ANDROBOOKS. VERSI KUBACA DAN CETAK BEDA YAAAA! _____ Menikah adalah i...