VII

461 122 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

Ada dua kabar berlawanan yang ingin kuberi tahu pada kalian. Pertama, kabar baik karena Bailey sudah bisa berjalan lagi dan aku tidak perlu keram karena menggendongnya. Kedua, kabar buruk karena air yang kami miliki hampir habis sementara rumah penduduk belum terlihat. Kalau mengacu pada peta, seharusnya kami akan segera sampai sebentar lagi.

“Wah, kau sudah menghabiskan airnya, Wiles!” protes Arctur.

“Aku hanya minum sedikit!” bela Wiles.

Helios menghela napas panjang, sementara Corvius sudah berjalan gontai sejak tadi. Aku sendiri merasakan bagaimana lelahnya perjalanan kali ini. Ah, omong-omong soal perjalanan, bagaimana cara kami pulang nanti? Adakah alternatif lain agar kami bisa mencapai ke jalan raya dalam waktu singkat? Kami bahkan berjalan sejak pagi, dan kini matahari sudah ingin berganti jaga dengan rembulan.

“Pemukiman!” pekik Bailey senang seraya menunjuk-nunjuk ke arah jam sepuluh.

“Bagus, Bailey!” puji Avior seraya bertepuk tangan.

Kami semua bergegas pergi menuju tugu kayu yang sepertinya dijadikan sebagai gerbang masuk sekaligus perbatasan ke desa Cetus. Rumah-rumah berdinding batu dan beratap jerami tampak berjejer rapi, sedikit primitif namun sepertinya kuat, dan auranya ... juga berbeda.

Beberapa lentera tergantung di luar rumah sebagai sumber pencahayaan. Situasi memang mulai menggelap saat siluet oranye di langit hampir menghilang. Tetapi kenapa sangat sepi di sini? Tidak satu pun dari kami melihat sosok manusia berlalu lalang.

Aku mengusap tengkukku saat angin dingin menerpa. Beberapa ranting pohon terdengar saling bergesekan membuat suasana semakin aneh. Kulihat dari samping, Corvius kembali memasang wajah khawatirnya. Semoga semuanya baik-baik saja karena anak itu tidak mau menjelaskan apa-apa saat kutanya.

“Astaga!” suara teriakan Wiles dari arah belakang membuat kami menoleh panik. Ternyata ada seseorang yang mengikuti kami, seorang wanita tua beruban yang membawa lentera di tangannya. Ia mengenakan jubah hitam dan sepatu boots semata kaki yang penuh dengan tanah kering di sisi-sisinya.

“Siapa kalian?” tanyanya dengan tatapan menelisik.

Kulihat Helios segera berpindah mendekati wanita itu. “Ah, kami orang-orang yang sedang melakukan perjalanan, Nyonya.”

“Kami tidak ada tempat untuk orang-orang asing,” ucap wanita tua itu. Kuakui, ia tidak terlalu ramah. Harus apa sekarang? Kami ditolak, tidak ada persediaan air, dan jalan pulang sangatlah jauh.

Helios terdiam sejenak kemudian membisikkan sesuatu di telinga si nenek. Entah apa, karena aku sendiri pun tidak dapat mendengarnya.

“Baiklah,” angguk wanita itu. “Ikuti aku.”

Wizards Journey : The Cursed VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang