III

627 134 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

Aku menutup buku kemudian menyapu pandangan ke seluruh penjuru bus. Hanya tersisa kami setelah dua jam berlalu. Wiles, Bailey, Corvius, dan Arctur sedang tidur. Sementara Helios tampak sedang membuka jaketnya, diikuti Avior yang memasukkan sesuatu ke dalam ransel. Aku bisa melihat itu karena mereka melakukannya sambil berdiri.

“Kau tidak tidur?” tanya Avior.

Aku refleks menggeleng. “Tidak. Kalian?”

“Tidak bisa tidur,” jawab Helios.

“Oh.” Bibirku membulat. “Kalian sudah bersiap? Apakah sebentar lagi sampai?”

Avior beralih dari ranselnya, ia menatapku dari jauh. “Hampir.”

“Bangunkan yang lain agar tidak pusing ketika turun nanti,” pinta Helios.

“Oke,” anggukku, kemudian beralih pada Arctur seraya menggoyang-goyangkan bahunya pelan. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, matanya mengerjap terbuka. “Hampir sampai. Kau harus bersiap.”

“Ah.” Arctur mengangguk, kemudian melakukan peregangan. Memang, aku pun merasa pegal-pegal sekarang.

“Boleh minggir sedikit?” tanyaku. Arctur menggeserkan kakinya keluar kursi tanpa berkomentar. Setelah merasa luas, aku membenarkan ransel di punggung kemudian berjalan menuju tiga orang di kursi belakang yang masih terlelap.

“Wiles, Bailey, Corvius,” panggilku. Namun hening, tidak satupun dari mereka bergerak. “Corvius,” panggilku lagi. Dialah yang paling dekat untuk kuraih bahunya agar terbangun.

“Oh? Helix. Kenapa?” Corvius menguap sejenak setelah menyadari semua orang di depannya sedang bersiap.

“Tolong bagunkan Wiles dan Bailey. Kita hampir sampai,” pintaku sekaligus memberitahu.

“Oke,” angguknya kemudian mulai bergerak. Aku berjalan ke depan, mencoba lebih dekat lagi dengan Helios dan Avior yang berada di kursi belakang supir.

“Siapa yang terakhir kali memegang peta?” tanya Helios.

Aku menoleh ke belakang mencoba mengingat-ingat. “Kurasa Wiles.”

“Oh,” jawab Helios singkat.

“Kita seperti memasuki wilayah hutan, ada banyak sekali pohon tinggi di kanan dan kiri,” ucapku yang tetap memperhatikan jalan.

Avior menoleh dari duduknya seraya mengangguk. “Memang. Tempat pemberhentian terakhir.”

“Apakah ada yang tinggal di sekitaran sini?” tanyaku menebak-nebak. “Kurasa jarang sekali orang-orang turun di pemberhentian terakhir. Maksudku, hutan?”

“Ada, tentu saja ada. Apa fungsi dari halte tersebut kalau tidak ada yang pergi ke sana?” Avior terkekeh. “Ah, jangan sampai barang bawaanmu tertinggal di bus. Kau sudah mengeceknya lagi?”

Wizards Journey : The Cursed VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang