- iii. sulit

83 7 0
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak hari itu, setiap harinya aku jalani seperti biasa. Entahlah semakin bosan saja, baru pertama kali aku merasa seperti tidak berguna disini.

Hubungan aku dan keluarga Jaemin semakin dekat, bahkan lebih dekat dari kemarin-kemarin, padahal sudah 7 tahun aku kenal tapi rasanya baru sangat dekat sekarang.

Aku sudah berhenti bekerja paruh waktu 3 hari yang lalu, ayah Jaemin yang menyuruhnya, dia bilang akan membiayai semua kebutuhanku, sangat baik, bukan?

Sekarang aku berada di sekolah, tepatnya di kelas, tanpa Jaemin. Tadi pagi aku ke rumah Jaemin, ternyata dia sedang demam, tumben sekali dia sakit seperti itu, aku sempat iba kepadanya. Jadi aku naik bus ke sekolah, walaupun tadi sempat mendapat tawaran dari orang tua Jaemin, tapi aku tidak ingin merepotkan terus.

"Yak! Shin Ryujin! Mengapa melamun terus?" aku sedikit terkejut, dan lamunanku buyar.

"Hah? Tidak apa-apa, tumben sekali kau peduli." ucapku cuek, dan kembali menopang wajahku pada tangan.

"Ck, aku hanya kasihan padamu, sepertinya tanpa Jaemin kau hanyalah butiran debu."

"Maaf tuan Hwang Hyunjin, kau tak pantas mengasihani dan aku tak ingin dikasihani." ucapku dengan penekanan saat menyebut namanya.

Hyunjin itu ketua kelas, tapi sangat tak pantas dijadikan ketua kelas, lebih pantas menjadi ketua gank berandal.

Hyunjin duduk disampingku, lebih tepatnya dibangku Jaemin yang kosong.

"Ryu, bisakah kau berhenti menunjukkan raut wajah yang sedih begitu? Matamu seperti panda, ayo lah senyum sesekali, aku cukup prihatin melihat-"

"Berhenti prihatin padaku, pergilah aku tak ingin di ganggu" aku sangat muak mendengar ocehan tak berfaedahnya Hyunjin.

"Kau tidak sopan sekali kepada ketua kelas" sepertinya Hyunjin kesal, tapi aku tak peduli.

"Kau hanya ketua kelas, bukan guru, Hwang Hyunjin." ucapku acuh, dan kembali melamun.

Seharusnya sekarang ada mata pelajaran, tapi ternyata gurunya tidak masuk jadi anak-anak dikelas hanya bergosip dan berlarian sana sini, istilahnya jam kosong.

Andai ada Jaemin, aku tak akan kesepian seperti ini, selama ini aku murid yang pendiam dan kurang suka diajak bersosialisasi dengan murid lain, hanya dengan Jaemin dan keluarganya aku banyak bicara.

"Hey!" atensiku teralih, menoleh ke belakang karena ada yang menepukku. Wait, what?! Kakakku?!

Bukankah ini mimpi?! Katakan bahwa ini mimpi, dia berada disampingku sekarang, duduk disampingku.

Aku masih terpaku, wajahnya tetap tampan, tak berubah.

"Apa kabar? Matamu sembab? Berhentilah menangisi kami, aku tak suka melihatmu seperti ini, Mama Papa pasti juga tak senang. Kau punya keluarga lain disini, dia pasti bisa menjagamu lebih baik dari kami menjagamu. Tersenyum ya? Hapus air matamu. Kau tau? Aku selalu ingat kata-katamu, lihatlah langit jika kau merindukan seseorang. Ku mohon, jangan menangis seperti ini... Kau terlihat menyedihkan dimata orang-orang, Shin Ryujin.." dia mengusak pelan rambutku sambil tersenyum sebelum dia benar benar hilang.

"JANGAN PERGI, KAK!" aku membuka mataku lebar lebar, terkejut bahkan sangat terkejut, itu hanya mimpi.

Tapi aku tersadar, semua orang memperhatikanku, termasuk- ITU GURUKU! Ah tidak, dia sedang memperhatikanku dengan tatapan tajamnya. Aku malu, tapi aku juga sedih.

Guruku menghampiriku, sedikit menunduk agar bisa melihat jelas wajahku, aku menunduk menahan malu.

"Ma-maaf, Pak.."

"Kau tak apa, Ryujin? Bermimpi buruk? Mengapa kau tertidur dikelas? Sudah kukatakan, jika tak berniat sekolah lebih baik kau menjadi pengangguran saja dirumah." ucap guruku dengan nada yang lembut tapi sangat menusuk dihatiku, sebodoh itukah aku? Semua murid memperhatikanku yang masih setia menunduk.

"Sa-saya tak tahu bahwa tadi mimpi, maaf pak." aku sangat takut, jujur. Biasanya Jaemin lah yang membelaku, tapi dia sakit sekarang.

Aku segera berdiri dan beranjak dari kursi menuju pintu keluar.

"Ryujin, siapa yang menyuruhmu keluar, ha?" langkahku terhenti, masih mencerna kata-kata guruku.

"Duduklah kembali, tapi jangan kau ulangi perbuatanmu itu, hapus air matamu dan, em air liurmu itu."

Otomatis aku mengusap wajahku dan kembali ketempat dudukku. Bisa dibilang hari ini, hari yang buruk.

Setelah pelajaran selesai, waktunya istirahat. Aku masih sulit untuk fokus ke pelajarannya, masih memikirkan mimpiku tadi, aku membawa dua potong roti, untukku dan Jaemin, tapi mengingat Jaemin tak masuk jadi aku memakannya sendiri.

Aku pergi ke rooftop, tempat ternyaman setelah rumahku yang sepi. Saat aku sampai, ada seseorang yang duduk di kursi rooftop yang ku ambil sendiri dari gudang kelas lama.

Aku mendekat, berjalan kearahnya. Itu, Hwang Hyunjin, untuk apa ia kemari?

"Ngapain kamu disini?" tanyaku, Hyunjin terlihat sedang tidak baik-baik saja, tatapannya kosong, saat ia melihatku, tatapannya sendu. Ia tersenyum kepadaku, eh? Bahkan dia sangat dikenal sebagai lelaki yang jarang tersenyum.

"Menurut kamu?" aku tak menjawab, membiarkan dia menuangkan isi hatinya disini.

"Kenapa diam? Aku disini nunggu seseorang, namanya Shin Ryujin, kamu kenal?"

"Tak usah bercanda, Hyunjin. Untuk apa menungguku? Mau meminta duit? Mau mengangguku? Mau menjahiliku? Kau tau? Aku muak." ucapku agak kesal. Aku duduk agak jauh dari Hyunjin, takut macam-macam.

Hyunjin tersenyum miring, "Jangan berburuk sangka dulu dong, aku butuh teman." ucapnya sendu.

"Pfft-" seorang Hwang Hyunjin tak memiliki teman kah?

"Berhenti bersikap gitu Ryu, aku serius."

"Um, oke. Tapi kok tumben?" aku bingung tak biasanya dia terlihat sangat sedih begini.

"Tumben ya? Emang sih, tumben aku begini. Karena aku sembunyiin hal ini dari kalian semua, berusaha untuk terlihat baik-baik aja, gampangnya aku pakai topeng." aku mengangguk paham, membiarkan dia melanjutkan ceritanya.

"Aku sama kayak kamu Ryu, kehilangan. Tinggal sendiri, hanya tetangga yang bisa bantu, itupun gak banyak membantu. Kamu masih beruntung, ada keluarga Jaemin yang membiayai sekolah dan kebutuhanmu, beda sama aku."

"Terkadang aku lelah disini, lelah sama dunia ini, merasa selalu mau nyusul keluargaku disana." ia menunjuk langit yang cerah, air matanya mulai mengalir di pipi mulusnya.

"Kamu sadar gak? Selama ini aku suka memperhatikan kamu sama Jaemin, memperhatikan gerak-gerik kamu. Sejak aku lihat kamu, aku merasa ah mungkin Tuhan gak mau aku mati sebelum waktunya."

"Tadi pagi, aku sengaja gangguin kamu, karena kebetulan Jaemin gak ada. Aku mau deket sama kamu, bukan karena rasa suka, aku mau kita disini saling menguatkan. Aku merasa kamu terlalu rapuh setiap harinya."

"Aku yang lihat kamu begini aja capek Ryu, gimana kamu yang merasakan."

Ternyata ini sisi lain dari Hwang Hyunjin, bolehkah aku berteman baik dengannya? Aku hanya takut Jaemin tak suka.

"Ma-maaf..." ucapku lirih.

Hyunjin langsung menyandarkan kepalanya di bahu milikku.

.

.

.

.

TBC

jatuhnya malah ke romance ya...
bingung sama jalan ceritanya
btw, aku lebih sering pakai sudut pandang si tokoh utama ya, biar lebih nge-feel kalau menurutku sendiri.

vomment+follow, thank u

unpublish?

[✔] Sulit ; Shin RyujinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang