Tangisan Malam

203 36 21
                                    

Meresapi rasa yang bahkan bisa membuat hati teriris. Hadirnya dirindu, tapi rasanya amat perih.



Aruna mengangis sesenggukan. Di malam ini hatinya amat lara. Padahal saja, Dito kembali. Walau hanya sebentar. Namun, justru membuat hati Aruna amat resah.

"Kenapa Syifa, Dito!" teriak Aruna menggema di ruang kamarnya.

Teriakan Aruna kian memecah keheningan. Di rumah sebesar itu, dia sendiri. Berteman dengan sepi dan rasa perih.

"Aku butuh kamu, Dit!"

"Aku rindu kamu!"

"Selama ini, aku selalu nungguin kamu!"

Aruna terduduk lesu di lantai. Jendela kamarnya ia biarkan terbuka begitu saja. Hembusan angin kian menerpa. Hawa dingin kian menyelimuti tubuh rapuh Aruna.

"Kamu dengar, tidak, sih?" Aruna kembali berteriak. Bahkan, kedua tangannya mulai aktif menjambak rambut panjangnya.

Orang yang ia harapkan, nyatanya masih saja memprioritaskan gadis lain. Gadis yang seharusnya tak dapat menjadi saingannya. Gadis itu berbeda dengannya dan Dito. Tapi, efek gadis itu amat besar untuk Dito.

Sebegitu cintanya Dito pada sosok itu!

Aruna harusnya sadar. Dari awal dia bukan siapa-siapa bagi Dito maupun Syifa. Mengenal Dito saja adalah suatu kebetulan dalam hidup Aruna.

Namun, saat Aruna mengetahui bila cinta Dito dan Syifa memiliki tembok pembatas yang amat besar. Dari situlah Aruna menginginkan Dito

Apakah dia egois?

"Bukankah kalian tak bisa bersatu? Maka dari itu aku maju!" monolog Aruna.

"Ah, perih sekali kejadian tadi siang! Aku yang menjemputnya di bandara, tapi dia bertanya kabar gadis lain."

Aruna tersenyum miris. Berusaha bangkit dan berjalan tertatih menuju balkon kamarnya. Sesampainya di sana, gadis cantik itu langsung saja merentangkan kedua tangannya. Memejamkan mata dan merasakan betapa kencangnya angin malam berhembus.

Walau terpejam, tapi air mata itu seakan enggan untuk berhenti mengalir.

"Ma, Pa, pulang! Aku ingin mencurahkan segala keluh kesalku pada kalian!"

Bahkan, disela tangisannya, rasanya Aruna ingin sekali tertawa. Dia mengharapkan kedatangan orangtua yang bahkan lebih memprioritaskan uang ketimbang anak.

"Apa uang kalian tak cukup? Apa sebegitu berharganya uang daripada aku?"

Aruna membuka mata. Angin masih berhembus kencang. Langit pun gelap gulita. Tak ada rembulan dan ribuan bintang. Benar-benar terasa suram nan hambar.

Disela tangisannya, rintikan hujan pun menghampiri. Bahkan, alam pun tahu bila Aruna sedang tidak baik-baik saja. Hatinya terlalu rapuh.

"Tuhan, kenapa aku sangat rapuh karena cinta?"

Di balkon itu, akan menjadi saksi bisu kelaraan hati Aruna. Rambut indahnya kian basah terkena rintikan hujan. Jemari Aruna menggenggam erat pinggiran balkon. Seakan menyalurkan rasa sakit yang berlebihan ini.

Cinta Beda Agama 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang