Hujannya Pilu

115 18 22
                                    

Aku lelah dengan kehidupan ini. Namun, kenapa aku tak pernah lelah untuk mencintaimu?

😢😢

Di saat semua orang membenci, alam pun ikut andil. Hujan deras tengah mengguyur tubuh Aruna. Tangisannya disembunyikan oleh air hujan. Kaki yang berpijak pun semakin lemah.

Aruna luruh ke bawah. Kedua tangannya mengepal kuat menahan segala kekesalan dan juga kesedihan.

"Tuhan, aku lelah dengan kehidupan ini. Namun, mengapa aku tak pernah lelah untuk mencintai dia?" Aruna semakin terisak.

Hujan turun membawa luka. Seberkas kenangan hinggap di dalamnya. Teringat jelas, semua kejadian yang sudah dilewati Aruna bersama dengan Dito.

"Aku benci dia yang selalu peduli dengan Syifa. Namun, rasa sayangku mengubur rasa benci itu. Tuhan, aku benar-benar lelah!"

Aruna tersenyum getir dalam tangisan itu. Seolah menertawakan dirinya sendiri yang begitu dibodohi oleh rasa cinta.

"Aku ingin menyerah, tapi sebagian dari hatiku tak memperbolehkan hal itu!"

Aruna benar-benar lelah. Namun, dia teringat akan suatu hal. Bukan hanya perkara Dito yang akan dia lalui. Juga, perihal orangtuanya yang sebentar lagi akan dia lalui.

"Ma, Pa! Jangan marahin Runa, ya! Runa butuh ketenangan, bukan tekanan dari kalian. Jujur, Runa benar-benar rapuh!" monolognya yang baru saja teringat sekelebat wajah marah kedua orangtuanya. Sangat menyeramkan.

"Bangun!"

Deg!

Jantung Aruna berpacu dua kali lipat. Dia tahu suara itu milik Dito. Perlahan, kedua sudut bibirnya terangkat begitu saja. Syukurlah, Dito tak jadi pergi.

Aruna masih setia menunduk. Dia sudah tak merasakan lagi rintikan hujan. Dito telah memayungi dirinya. Sederhana memang, tapi bagi Runa itu adalah hal yang lumayan romantis.

"Runa, ayo bangun! Nanti kamu sakit!

'Masih peduli, ya, kamu? Padahal sudah membuat hatiku hancur!' batin Aruna miris.

Dito sudah menyodorkan tangannya. Namun, Aruna bangkit tanpa menerima uluran tangan itu. Aruna menatap datar pada Dito. Dia tak marah, hanya saja dia butuh waktu untuk mengurangi rasa kecewa.

"Runa?"

Bukannya menjawab, justru Aruna melangkah pergi meninggalkan Dito yang kini terkejut. Beberapa kali Aruna menghembuskan napas. Berusaha mengontrol emosi dan air mata agar tak kembali menyaingi hujan.

"Runa, kamu marah?" Teriak Dito yang kini tengah mengejar langkah Aruna.

'Marah? Aku tidak marah, Dito. Hanya saja aku terlalu kecewa. Rasanya sakit, sakit sekali!' batin Aruna yang tak mampu dia utarakan di hadapan Dito.

"Jangan diam seperti ini. Kumohon, bicaralah!"

Tubuh Aruna menegang. Dito memeluknya dengan erat dari belakang. Meletakkan kepala pada bahu kanan Aruna. Sementara kedua tangannya melingkar di perut gadis itu.

"Jangan mendiamiku!" ucap Dito parau.

Aruna tak bisa lagi menahan tangisannya. Dia kembali terisak bertepatan dengan guyuran hujan yang semakin deras membasahi keduanya.

Cinta Beda Agama 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang