Prolog

159 13 1
                                    

Tubuh Agatha terkulai lemas diatas tempat tidur berukuran kecil yang hanya mampu menumpang satu orang saja. Dirinya baru saja melakukan kuliah dan kerja sampingan menjadi barista. Hal ini merupakan salah satu bukti kepada keluarganya bahwa Agatha bisa hidup mandiri, bisa bertumpu pada kakinya sendiri tanpa menggunakan keluarganya.

Matanya menelisik ruangan berukuran 3x4 yang sekarang menjadi kamarnya. Sudah hampir empat tahun dirinya memutuskan pindah kesebuah kost-an demi menghindari tuntutan dari keluarga besarnya yang sangat terhormat.

"Mau sampai kapan kamu menjalani semua omong kosong itu bersama Raka?" Pergerakkan sendok yang sedang menuju mulutnya terhenti. Agatha menatap satu persatu orang yang kini berada dimeja makan. Pantas saja bersuara, semua sudah selesai makan, hanya tersisa dirinya.

Table manner.

Ada Mamah-Papahnya. Omanya. Para Tente-Om nya. Serta beberapa sepupu nya yang juga hadir dalam acara jamuan makan malam Oma Nadia. Dan semua pasang mata tengah menatapnya.

Agatha menghela nafas berat saat netranya beradu dengan sang Oma. Tatapan mengintimidasi diterima. Ia mengedikkan bahu.

"Sampai dapat restu."

Raka adalah kekasih wanita itu sejak dirinya memasuki kuliah semester satu. Dan sekarang Agatha sudah semester enam yang artinya hubungan mereka sudah menginjak tahun ke empat.

"Sampai kapanpun kamu nggak akan mendapatkan restu itu, Agatha." Sekarang giliran Tante Diana—Menantu pertama Oma Nadia—istri Om Fadly, ikut bersuara.

"Apa yang kamu harapkan dari Raka? Ibunya pedagang sayur. Bapaknya tukang ojek. Masa depan dia suram. Kamu nggak akan bahagia dengan Raka." Kali ini kalimat pedas dari Mama nya—Alana.

Agatha hanya terdiam. Menunggu kalimat hinaan selanjutnya dari mulut berkelas yang berada dimeja makan. Telinganya sudah kebal dengan segala ucapan merendahkan dari orang-orang terhormat disekelilingnya.

"Putuskan hubungan-mu dengan Raka. Selesaikan kuliah dengan hasil memuaskan. Gantikan posisi papah diperusahaan Oma, karena papah ingin fokus jadi Gubernur. Lalu, menikah dengan lelaki pilihan kami."

Agatha menggeser piringnya sedikit. Menopang dagu diatas meja menggunakan kedua sikunya, "Nggak bisa dan nggak akan pernah." tegasnya, "Sekarang juga aku bisa pegang perusahaan Oma, tapi tentu restui hubungan aku dengan Raka. Kalau nggak mau, yasudah, tuh, papah bisa pilih." Agatha melirik para sepupunya satu-persatu, memberi informasi bahwa dimeja makan bukan hanya dirinya yang bisa diandalkan.

"Raka itu nggak serius dengan kamu, Agatha. Hubungan kalian sudah sangat lama. Kalo dia serius, lelaki itu akan menemui keluarga kamu." Agatha tergelak dalam hati mendengar kalimat menyudutkan dari anak kedua Oma Nadia—Fadlan.

Bagaimana tidak? Raka bukan tidak ingin menemui keluarganya, justru selama empat tahun Raka selalu membujuk Agatha agar dipertemukan. Tetapi Agatha masih belum siap. Wanita itu selalu mencegah, menahan dan beralasan bahwa orang tuanya berada di Kalimantan. Hal itu membuat Raka tidak memiliki pilihan jika harus terbang kesana, sebab uang masalahnya.

Agatha memiliki alasan. Wanita itu tidak ingin Raka tahu siapa dirinya. Tidak ingin keluarganya menghina Raka. Tidak ingin membuat Raka merasa rendah. Membuat hubungan mereka putus ditengah jalan.

"Om Fadlan sok tahu. Siapa bilang Raka nggak mau? Raka mau, dia serius. Cuma emang Agatha belum siap saja ngelihat Raka direndahin langsung kaya gini," Agatha melirik semua keluarganya yang terhormat, Lalu berhenti tepat pada Oma Nadia.

"Apa syarat untuk mendapatkan restu dari keluarga Mahendra yang terhormat ini? apa yang Oma butuhkan untuk menjadi bagian Mahendra? harta? jabatan? bibit, bebet, bobotnya. Iya?" Semua terdiam tetapi Agatha sudah sangat tahu jawabannya. Apalagi?

Setelah empat tahun Agatha selalu bungkam, pergi dan membiarkannya seperti angin lalu ucapan merendahkan dari keluarganya, dan kali ini Agatha ingin bernegosiasi untuk mendapatkan restu tersebut. Agatha tersenyum.

"Tunggu setelah kami berdua lulus. Raka akan menjadi orang hebat seperti Papah, Om Fadly, Om Fadlan dan Om Ferdi beberapa tahun kemudian. Semua kebutuhan Agatha akan ditanggung dengan baik nantinya. Jadi, kalian nggak usah takut kalo Agatha nggak bahagia."

Semua orang tertawa mendengar omong kosong Agatha, kecuali Abhi dan Rena—sepupu yang sedikit berpihak padanya.

"Ada-ada saja kamu, Dek. Turuti saja apa kata Om, tante dan Oma demi kebaikan kamu. Lihat aku sekarang? Bahagia sama lelaki pilihan Oma." Mutia, anak dari Om Fadly dan Tante Diana kini ikut bersuara. Rasanya Agatha ingin menyebur sepupunya itu dengan kalimat pedas. Namun, melawan Oma, Mamah dan Papah lebih penting.

"Well, papah tunggu."

Agatha memejamkan mata mengingat peristiwa makan malam weekend lalu. Dirinya yakin jika Raka akan menjadi orang sukses dan Agatha akan membawanya bertemu keluarga besarnya.
_______________

Raka keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Dimeja makan sudah ada Ayah, Ibu dan adiknya. Lelaki itu disambut dengan wajah kecut dari Ibunya. Seperti biasa.

Sejak empat tahun lalu setelah dirinya mengenalkan Agatha pada keluarganya. Ibunya tidak menerima Agatha ketika mengetahui bahwa Agatha hanya seorang perantau yang tinggal dikost-an dan bekerja menjadi Barista.

"Raka, Raka. Udah hidup pas-pasan, cari pacar tuh orang kaya biar hidup keluarga kamu terangkat." Ibu berbicara setelah Raka mengantar Agatha pulang ke kostan nya.

Raka menghela nafas setelah duduk dikursi sebelah Rana—adiknya. Mengambil nasi serta lauk tempe goreng, sayur asam dan sambal.

"Sudah satu minggu Agatha nggak pernah main, Ka. Kalian putus?" Ayah memulai pembicaraan setelah beberapa saat hening.

Raka mengatupkan bibirnya saat sang Ibu menyela.

"Bagus. Cari yang baru, anak orang kaya."

"Enggak, yah. Agatha lagi sibuk nyusun skripsi, sama kaya Raka." Mengabaikan Ibu, Raka memilih menjawab pertanyaan Ayahnya. Setelah itu suasana kembali hening.

"Ibu, Rana ditagih uang SPP yang nunggak empat bulan sama sekolah. Minggu depan Rana ujian semester, kalau nggak bisa bayar Rana nggak boleh ikut ujian." Mata Rana berkaca-kaca mengadu pada sang Ibu. Karena Rana yakin bahwa Ibunya masih belum memiliki uang untuk membayar.

Ayah tersenyum, "Jangan sedih, Na. Nanti ayah bayar." Berusaha menenagkan anak bungsu yang baru menginjak bangku kelas satu SMP. Ayah tidak mungkin membeberkan beban pada anak yang tidak mengerti apa-apa.

"Tuh, sudah kan? Kamu tidur ya, sekarang sudah malam. Takut besok kesiangan sekolahnya." Tangan Ibu terulur mengusap lembut surai Rana.

Rana mengangguk, kemudian bangkit lalu pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya.

Raka menahan napas saat Rana sudah hilang dari pandangannya. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ayah, memang ada uang untuk bayaran sekolah Rana?"

"Ayah usahakan."

Mata Ibu beralih tajam pada Raka, "Gimana kalo ayah nggak bisa bayar? Kamu ada nggak uangnya? Nggak mungkin ada. Harusnya kamu dengerin Ibu. Tinggalkan Agatha, cari yang bisa menjamin hidup kamu."

"Bu, Raka yang harus menjamin hidup anak orang." bantahnya kemudian melenggang dari ruang makan ke kamarnya.

Bersambung~






Gimana prolog nya? Semoga suka yaaaaa.....

Taget KebohonganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang