5

51 14 3
                                    

"Kamu dipecat secara tidak terhormat."

Sesuatu yang akan terjadi saat menjadi jobless. Sudah pasti, tidak akan bisa diganggu gugat.

Pemasukkan terhenti, pengeluaran tetap berjalan. Tabungan terus terkocek tanpa bisa dicegah. Hidup pun berubah menjadi 180°.

Agatha yang biasanya selalu sibuk dengan alat tulis serta kertas kini hanya bisa bergelung dengan selimut. Makan tidur kini akrab dengannya.

Sudah satu minggu terhitung sejak dirinya dipecat secara tidak terhormat hanya itu yang Agatha lakukan.

"Shit!" umpatnya kesal saat membuka e-mail. CV yang dirinya kirim keseluruh perusahaan di Jakarta belum juga mendapat respon yang membuatnya bernafas lega. Satu-persatu menolaknya atau tidak dibalas.

Rena datang dari arah dapur dengan tangan mengenggam kaleng bir lalu mengambil duduk disamping Agatha. Menepuk-nepuk pundaknya, "Mungkin emang waktu lo sudah habis, Tha."

Bukan hanya Rena, Abhi menatap Agatha iba. Miris sekali setelah mendengar cerita Agatha satu minggu lalu. Andai saja Agatha tidak menyembunyikan siapa dirinya, mungkin Abhi sudah memberi bogeman mentah pada Raka.

Abhi mengambil laptop yang ada dipangkuan Agatha, mengecek perusahaan mana saja yang sudah dituju Agatha, "Ini beneran nggak ada tanda-tanda lo dipanggil?"

Agatha menggeleng.

"Nggak ada jalan lagi. Balik, urus punya Oma. Cuma bokap lo yang anaknya nggak turun, kalau bukan lo, siapa lagi? Lo udah putus sama Raka, apalagi yang bikin lo tetap disini?"

Agatha menatap kedua sepupunya jengkel, menghembuskan nafas kasar, Agatha mengambil kembali laptopnya-menutup, lalu meletakannya diatas nakas, "Heran, pengalaman kerja ada tapi pada nggak tertarik."

"Lo dipecat nggak terhormat, diblack list, maybe."

Sontak, Agatha langsung menatap Rena horor. Ah, bisa saja, kenapa Agatha tidak kepikiran? Tetapi, Raka sudah janji tidak akan membeberkan alasan dirinya dipecat.

"Nggak ada pilihan, Tha." Abhi menggenggam tangan Agatha, buru-buru wanita itu menariknya.

"Hisshh! Sebenernya masih ada satu lagi, AS Arsitek Crop. Tapi gue males, ngeselin ternyata yang punya." Bola mata Agatha keatas, menerawang kejadian saat Andra menabrak dirinya dan tidak merasa bersalah. Tiba-tiba saja rasa kesal kembali menyerang.

Rena menjentikan jarinya, seolah menemukan jalan keluar, "Coba aja, siapa tahu malah yang nggak lo lamar itu tempatnya."

"No!" pekik Agatha. Tidak pernah terlintas bahwa dirinya akan bekerja dengan orang menyebalkan seperti Andra, itu sebabnya Agatha sengaja melewatkan perusahaan menjanjikan tersebut.

Abhi menggeram kesal karena pekikan Agatha, lelaki itu bangkit lalu berkacak pinggang, "Pilihan lo cuma dua, balik atau kerja disana!" Setelah itu Abha melirik Rena, "Ayo, pulang. Stres gue lama-lama ngurusin bocah bebal kayak dia." Abhi melenggang, meninggalkan Agatha yang sedang mengumpatinya.

Rena tertawa kencang, lalu mengecup pipi Agatha, "Gue cabut. Jangan aneh-aneh. Pikirin ucapan Abhi tadi. Cuma dua pilihan lo. Kalo nggak mau diketawain Oma, berarti AS pilihan yang tepat."

Belum ada selangkah, pergelangan tangan Rena dicekal oleh Agatha. Keduanya beradu pandang sebelum akhirnya tertawa, "Lets go!" sorak keduanya bergembira.

"Sebentar," Agatha kembali membuka laptopnya, munuju e-mail dan mencari pesan yang didraft. Setelahnya Agatha menekan enter untuk mengirim CV ke alamat perusahaan Andra. Iya, tidak ada pilihan, "Gue siap-siap dulu. Lo kabarin Abhi, mau ikut atau balik."

Taget KebohonganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang