Hari ini Sabtu 26 Desember 2009.
Berdiri didepan papan pengumuman depan ruang TU SMA, Aku, dengan perasaan biasa saja melihat penjurusan yang ditulis dibeberapa lembar kertas, yang ditempelkan rapi dipapan ini. Mudahnya untuk di imajinasikan papan pengumuman ini berdiri tepat di lorong antara ruang tata usaha dan ruang guru, lorong ini disebut pintu masuk gedung sekolah. Lurus dari gerbang sekolah. Perpaduan antara keramik-keramik tua berwarna biru gelap.
Aku naik ke kelas XI. Di SMA 1 hanya ada dua Jurusan, IPS dan IPA. Dua Jurusan yang beda banget, ilmunya? jelas dan yang sudah pasti tidak masuk dalam kategori bahan debat di dunia ini, dan untuk apa juga diperdebatkan? tidak ada unsur yang patut diapresiasi dari hal-hal itu, manusia-manusia di dalam kelasnya? Beda, 180 derajat. Analogi paling umum yang sering digunakan Bu Ika, guru BK ketika memberikan konseling, adalah benar bila disekolahan ini ada sisi terang dan gelap, maka jurusan IPA dan IPS lah tempat tersebut.
Murid rajin dan pintar kebanyakan lebih milih masuk IPA, sangat umum, dimana-mana juga begitu, sebuah kebanggan, katanya. Dan bisa dikatakan sisanya yang gak masuk IPA, dimasukkan secara paksa ke IPS, dari pada gak sekolah kan? Ini menyakitkan, seakan-akan siswa buangan dari sisa yang tak layak untuk mendapatkan tempat belajar, tapi itu mendekati kebenaran, yang memang terjadi di SMA ini. Tapi, juga masih banyak yang secara langsung ingin masuk IPS di lembar minatnya. Banyak yang ku maksud, bisa dihitung dengan jari kita. Tangan satu orang saja cukup.
Singkat aku jelaskan tentang lembar minat ini, setiap siswa kelas X wajib mengisi lembar ini, mau masuk jurusan IPA atau IPS, nantinya lembar ini akan dipertimbangkan dengan hasil belajarnya selama kelas X, apabila layak maka siswa tersebut masuk sesuai dengan pilihannya.
Cukup dengan IPA dan IPS nya, kembali ke tempatku mematung, sekitaran 5 menit-an aku pandangi papan itu, akhirnya ketemu juga namaku, Ge Sackier, kelas XI IPS 3, benar tanpa pikir jauh, aku masuk jurusan IPS.
Jujur saja, tidak ada bagian dari diriku yang suka dengan ilmu eksak. Meskipun aku suka dengan kimia, tapi itu bukan alasan untuk dijadikan motivasi belajar keras masuk IPA. Lagian buat apa belajar ilmu-ilmu itu, yang tidak ada gunanya dan berdampak langsung untuk hidupku ini.
Terlebih, minat dan bakatku mungkin lebih akan terasah dengan ilmu sosial dan segala macam friend -nya didunia IPS. Ini pasti terdengar semacam pembelaan, dari anak buangan seleksi pendidikan yang dikotak-kotakan berdasarkan angka. Tapi memang begitu adanya. Do'akan saja aku jadi menteri pendidikan, kalimat diatas tidak berlaku lagi.
"Masuk IPS Ge?" seorang membuka obrolan denganku, suara wanita
"Iya" Aku jawab, dengan nada datar tanya itu, tanpa tau siapa yang nanya
"Sama nih, asik ih kita sekelas, bakal rame kalo orang-orangnya kaya gini" dia yang belum aku tau siapa, ngomong lagi
"Mau gimana pun orangnya, kalo kelas kosong gak ada guru, juga bakal ramean" jawabku malas
"Maksudnya seru!" nadanya mulai meninggi, seperti kesal mendengar tanggapanku
"Iya kali, kan belum masuk kelas juga". Jawabku sambil menoleh ke kanan melihat siapa orang yang ngajak ngomong
"Pasti rame pokoknya" dia ngomong lagi, yang ternyata adalah Raning
Sebelum kenaikan kelas, dia dari X 1, aku gak begitu mengenalnya, karena kita memang beda kelas. Jadi jawabanku juga biasa saja.
Ku pandangi sejenak, siapa nantinya teman-teman yang satu kelas denganku berdasar daftar nama-nama itu. Tidak lama, aku pergi untuk pulang ke rumah kosan, bukan rumah yang dapat di klaim kepemilikan personal olehku, atau keluargaku, tapi indekos, tempat dimana seorang tinggal dengan biaya sewa berdurasi yang telah disepakati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naraeswari
Teen FictionApa yang bisa Ge lakukan, seluruh dunia dan keyakinannya berantakan setelah hidupnya diburu banyak pertanyaan dan gangguan dari Nara, seorang siswa SMA kelas X yang notabennya adalah adik kelasnya. Hari-hari nyaman yang harusnya dia jalani sebagai K...