Part 4 | Inggitania Amanda

43 7 0
                                    

Bughh

Tubuh Carissa terjatuh dengan posisi telungkup. Semua pandangan manusia yang berada di lapangan basket beralih menatap gadis cantik yang kini telungkup kearah tanah. Sontak semuanya berlari tergesa menghampiri Carissa. Terutama Inggit yang langsung melempar sembarangan bola basket yang di pegangnya dan berlari menghampiri Carissa.

"Ca, lo gak apa-apa? Sini gue bantu." Inggit membantu Carissa berdiri. Carissa merasa dunia berputar dan kepalanya terasa sangat sakit.

"Ca! Lo mimisan!" Teriak Inggit yang terlihat sangat panik. Gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan yang selalu ia bawa dan memberikannya pada Carissa.

"Kalian ngapain diem aja? Bawa Carissa ke uks cepetan!" Teriak Inggit saat melihat darah tidak hentinya keluar dari hidung Carissa.

"G-gak usah." Kata Carissa dengan nada lemah. Tangannya memegang tangan Inggit untuk menghentikan temannya itu yang berusaha menyuruh orang lain untuk mengantarnya ke uks.

"Tapi Ca, lo mimisan. Udah, ayo ke uks, gue bantu." Inggit melingkarkan tangan Carissa ke pundaknya, hendak membawa gadis itu ke uks tapi lagi-lagi ditahan oleh Carissa.

"Gak perlu, gue baik baik aja." Carissa berdiri dengan bantuan Inggit. Tubuhnya sedikit linglung jika tidak dibantu oleh Inggit. Kepalanya masih sangat sakit dan bagian lututnya terasa sangat perih.

"Ada apa ini?" Pak Anto, pelatih basket datang dari arah kantor guru dan membelah kerumunan.

"Apa yang kalian lakukan? Ada yang terluka, langsung bawa ke uks dan obati!" Teriak Pak Anto.

"G-gak.."

Brukk

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Carissa jatuh pingsan. Semua orang yang ada disana berteriak memanggil nama gadis itu. Seseorang yang dari tadi menyaksikan kejadian itu dari jauh bergerak membelah kerumunan itu. Tanpa aba-aba, ia mengangkat tubuh gadis yang sudah tidak sadarkan diri itu dan membawanya ke uks. Inggit yang melihat itu langsung berlari menyusul.

"Itu tadi beneran Ruel?"

"Wahh bakal jadi berita heboh nih besok."

"Apa yang kalian gosipkan hah? Cepat kembali latihan!" Teriak Pak Anto pada segerombolan murid yang tadi bergosip.

***

Unit Kesehatan Sekolah, SMA Nusantara

Pintu ruangan uks yang berwarna putih itu ditendang oleh seseorang dari luar. Bau obat-obatan dan hawa dingin dari ac begitu terasa saat pintu terbuka. Ruel berjalan masuk dengan tergesa-gesa dan meletakkan gadis di gendongannya keatas brankar yang berada di uks. Anggota PMR yang kebetulan ada disana pun buru-buru menghampiri mereka.

"Ruel? Lo kenapa bisa disini?" Anggota PMR bernama Sella itu menghampiri Ruel dengan wajah terkejutnya.

"Apa itu penting sekarang?" Jawab Ruel dengan nada sinis sambil menatap tajam Sella.

Kedua mata Sella yang mulanya menatap kearah Ruel, beralih menatap kearah Carissa yang terbaring tidak sadarkan diri. "Ya ampun, maaf. Dia kenapa? Dia anak baru itu kan?"

"Panggil dokter Nita sekarang!" Bentak Ruel mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya saat melihat anggota PMR yang tidak sigap seperti Sella.

"Carissa!" Suara itu membuat Sella dan Ruel menoleh kearah pintu masuk. Disana, ada Inggit yang masih berusaha mengatur deru nafasnya. Melihat kedatangan gadis itu, Ruel melangkah keluar sambil membanting pintu uks dengan keras membuat Inggit dan Sella berjengkit kaget.

"Gue panggil Dokter Nita dulu." Sella lari keluar uks untuk mencari dokter Nita yang tadi izin istirahat untuk makan di kantin. Sedangkan Inggit membawakan tas dan handphone milik Carissa yang tertinggal di lapangan basket tadi.

Gadis berambut sebahu itu membuka handphone Carissa yang untungnya tidak terkunci dan mencari kontak untuk menghubungi ayah dari temannya itu. Setelah menemukan kontaknya, ia pun menekan tombol panggil. Deringan pertama panggilan itu tidak dijawab. Tapi Inggit tidak menyerah dan terus memanggil hingga pada panggilan kesepuluh, panggilan itu akhirnya diangkat bertepatan dengan dokter Nita yang memasuki ruangan bersama Sella.

"Halo om, Selamat Siang. Saya Inggit, temannya Carissa. Sekarang Carissa lagi di uks om, dia pingsan karena tadi gak sengaja kena lemparan bola basket. Saya gak tau jemputannya sudah datang atau belum, bisa tolong kabari supir atau siapapun untuk ke uks jemput Carissa?"

"Ya."

"Baiklah om, oh iya, siapa yang kira-kira akan jemput Carissa ke uks kalo boleh tau?"

"Supir."

"Oh, baiklah om. Terima kasih."

Panggilan itu terputus tanpa balasan apapun dari seberang telfon. Inggit bergerak menuju brankar tempat Carissa sedang berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya dok? Carissa kenapa?" Tanya Inggit menatap kearah kearah dokter Nita dengan tatapan menuntut penjelasan.

"Saya kurang pasti, tapi dia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut." Kata Dokter Nita.

"Memangnya ada apa dengan Carissa dok?" Tanya Inggit.

Baru saja dokter Nita membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Inggit, seseorang yang datang membuat bibirnya kembali tertutup dan berbalik badan menuju pintu masuk. Seorang pria paruh baya terlihat disana, memakai seragam berwarna biru dongker dengan raut wajah yang menampilkan kecemasan.

"Permisi, saya Tono, supir nona Carissa."

***

RS Jakarta Medical Center

Bau obat-obatan tercium dengan tajam di dalam ruangan serba putih itu. Sebuah ruangan dengan fasilitas mewah yang hampir menyerupai hotel itu dihuni oleh seorang gadis yang masih tertidur dengan infus yang tertancap di pergelangan tangannya. Jam digital besar berwarna hitam di dinding sudah menunjukkan pukul 19:00 WIB. Waktu terus menerus berlalu, keheningan ruangan itu hanya dipecahkan oleh suara cairan yang menetes dari kantung infus ke dalam selang yang menghubungkannya dengan tubuh gadis itu.

Kelopak mata yang awalnya tertutup dengan rapat perlahan mulai bergerak. Bulu mata lentik itu mengerjap bersamaan dengan terbukanya kelopak mata yang semula tertutup. Sepasang bola mata berwarna caramel itu menatap kearah sekelilingnya. Mengetahui dimana dirinya berada saat ini, Carissa menghela nafas pelan. Ia sedang melihat kearah jam dinding saat pintu putih itu bergeser menampilkan dua orang yang sangat tidak ingin ia temui saat itu. Tidak seperti orang lain yang cenderung panik saat keluarganya terbaring di rumah sakit, kedua orang itu malah tampak santai dengan masih memakai jas rapi dan menenteng tas kerja di tangan kanan mereka.

"Gimana keadaan kamu?" Tanya lelaki paruh baya yang tak lain adalah ayah kandungnya, Heru Dirgantara.

"Aku tau itu cuma basa basi, jangan pura-pura peduli." Carissa memalingkan wajahnya, untuk menyembunyikan air matanya yang bergerumul dan siap meluncur kapan saja.

"Masih jadi orang yang gak tau diri, lebih baik kamu mati dari pada ngerepotin orang karena harus bolak-balik ke rumah sakit. Buang-buang uang." Sinis Julian Neandro Dirgantara, kakak laki-laki Carissa.

"Papa juga, kenapa repot mau mampir kesini untuk anak gak tau diri kayak dia? Gak guna tau gak, aku duluan, sesak rasanya satu ruangan sama pembunuh. Aku tunggu di mobil." Julian pergi keluar dari ruangan Carissa dengan membanting pintu dengan kuat.

"Carissa, jangan lupa minum obatnya. Makanan yang teratur, besok papa suruh Bi Siti kesini untuk nganter baju ganti kamu. Papa pergi dulu." Heru menghela nafas lelah dan melihat kearah Carissa yang masih memunggunginya sebelum keluar dari ruangan putrinya itu.

Setelah pintu itu tertutup, tangis Carissa pun pecah saat itu juga. Ia meraung dan memukul dadanya yang terasa sesak. Bahkan, jika ada orang yang mendengar tangis itu pasti akan merasa kasihan pada gadis itu. Terdengar sangat pilu dan menyimpan banyak luka dibaliknya. Malam itu, Carissa kembali mendapatkan luka baru yang bahkan belum mengering di hatinya.

TO BE CONTINUE

NARUELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang