Bel pulang sekolah berbunyi, guru matematika itu membenahi semua buku-buku dan beberapa barang miliknya lalu memasukannya ke dalam sebuah tas kulit, dia tersenyum lalu mengucapkan sebuah kalimat perpisahan dan pergi keluar kelas. Aku menghembuskan napas gusar, kalimat tentang kamu yang akan mengajak ku kencan selalu tergiang-giang di kepala.
Beberapa siswa laki-laki dan siswa perempuan saling say good bye, tapi tidak denganku, aku berjalan cepat menuju ruangan kelasmu yang ternyata masih ada jam pelajaran tambahan. Aku duduk di kursi panjang di depan koridor kelasmu, aku dapat melihat bahwa kamu adalah orang paling serius dalam menyimak penjelasan ilmu-ilmu kimia perobatan.
Angin berhembus kencang, awan juga mulai berubah warna menjadi kelabu, aku yakin tadi pagi pada siaran berita tentang cuaca, kota Bandung hari ini tidak akan ada hujan atau awan mendung, semua bisa berubah kapan saja karena tuhan sudah merencanakannya.
Aku duduk menghadap ke lapangan, membelakangi kelasmu. Ada banyak sekali anggota ekstrakulikuler bola basket yang sedang latihan menggiring bola sambil berlari dan bergaya, aku menyadari sesuatu, bukannya kamu adalah salah satu dari tim utama ekstrakulikuler bola basket sekolah? dan kenapa kamu malah mengikuti pelajaran kimia tambahan? bukannya latihan bola basket seperti anggota yang lain? ah, adanya banyak sekali pertanyaan di dalam benak ku hanya karena teringat akan kamu.
Tak terasa akhirnya satu jam aku menunggu kamu, dan sekarang aku dapat melihatmu membalas senyum semua siswa yang tersenyum kepadamu. Kamu membenahi barang-barangmu lalu pergi keluar kelas dan aku menghadangmu tepat di ambang pintu. Kamu tertawa ringan lalu menggenggam tanganku dan mengajak ku untuk berjalan saling berdampingan.
"Jun, kenapa kamu ikutan kelas tambahan kimia? " aku mulai bertanya dengan hati-hati. "Kenapa kamu nggak ikutan latihan bola basket? "
"Beberapa minggu lagi aku ada olimpiade kimia, " kamu mulai menjelaskan dan melepaskan genggamanmu pada tanganku. "Jadi, aku terpilih oleh wali kelasku untuk jadi salah satu perwakilan sekolah, dan katanya beberapa hari kedepan aku juga bakalan terus ikutan kelas tambahan. Dan soal ekstrakulikulerku, ya, aku jeda sebentar sampai beres olimpiade nanti. "
Aku hanya manggut-manggut saja, karena kamu memang pantas mendapatkannya. Kamu pintar, kamu olahragawan, dan kamu tampan tapi sederhana, sangat terbalik dengan kemampuanku yang biasa-biasa saja, mendapat nilai tujuh pada ulangan harian sejarah juga sudah girang setengah mati, maklum otak ku ini termasuk otak yang kapasitasnya rendah.
Hujan gerimis mulai terasa membasahi kening dan seragamku, kamu memberhentikan perjalan dan berdiri di bawah pohon rindang yang ada di sebelah gerbang sekolah. Aku mulai kedinginan, sedangkan kamu masih dalam kehangatan karena memakai jaket putih tebal. Hidungku mulai terasa gatal, dan sepertinya hidungku juga sudah berubah warna menjadi merah semu.
Hacim!
Benar saja seperti dugaanku, aku mulai bersin-bersin karena kedinginan. Kamu yang menyadari itu melepaskan jaket putih tebalmu dan kamu pakaikan pada tubuh mungilku. Kamu tersenyum manis lalu menyugarkan rambutmu karena setengah basah oleh air hujan yang berhasil menembus ribuan lembar daun pada pohon rindang ini.
"Nanti kamu gimana? " ucapku khawatir karena kemeja seragam putihmu mulai basah dan bibirmu juga mulai memucat. "Mending kamu aja yang pakai! "
Kepalamu menggeleng keras, bahkan air hujan yang ada pada rambutmu ikut berjatuhan saking kerasnya gelengan kepalamu. Aku menatapmu sendu, lalu tiba-tiba saja kamu menarik lenganku dan menggenggam tanganku. Kamu menatapku meyakinkan, apakah kamu akan mengajak ku untuk menerobos hujan? ya, itu jawabannya.
Tanganmu menarik tanganku untuk berlari menerobos hujan dan berhenti di depan sebuah warung tegal yang biasa kita sebut Warteg. Kita melangkah maju dan duduk di meja bundar di dalam ruangan persegi bercat kuning dengan sebagian cat yang sudah mengelupas. Aku menatap beberapa makanan yang tertata di dalam sebuah etalase panjang di depan mejaku.
"Gak ada seafood? " tanyaku ragu, karena menatap makanan-makanan yang tertata itu membuat perutku menjadi sedikit mual. Kamu menggeleng pelan sambil tertawa hambar. "Yah, terus aku makan apa? "
"Kamu harus coba itu! " jari telunjukmu menunjuk sebuah makanan bulat berbentuk pipih dengan bumbu merah sedikit berminyak di hujung etalase sana. "Itu enak banget! "
"Itu apa? " aku menggelengkan kepalaku pelan. "Aku gak suka! "
Kamu tidak membalas pertanyaanku, kamu berdiri lalu berjalan menghampiri meja semacam meja kasir di depan dekat etalase, lalu sepertinya kamu sedang menunjuk-nunjuk makanan yang kamu sebutkan tadi. Jujur, aku sedikit mual karena banyak sekali bau-bau makanan yang tercampur jadi satu dan masuk ke lubang hidungku. Kamu kembali duduk dengan dua piring nasi lengkap dengan lauk pauk di atasnya. Rasa mualku semakin besar, kala bau tidak sedap itu benar-benar masuk ke dalam hidungku dengan leluasa.
"Ini namanya ... " kamu menjeda kalimatmu, tangan kananmu meraih sendok dan menaikan makanan pipih itu ke atas sendok dan menyimpannya di depan mulutku. "... Semur jengkol, kamu mesti coba karena ini enak parah! "
Setelah mendengarkan pujian-pujianmu terhadap makanan dengan nama semur jengkol itu aku mulai meyakinkan diriku untuk mencoba memakannya, tapi hidungku selalu gatal kala bau makanan itu masuk lagi ke dalam hidungku. Mulutmu mengumamkan huruf 'Aaa' panjang, perlahan-lahan aku membukakan mulutku, dan makanan itu masuk ke dalam mulutku. Rasanya, sedikit pahit, manis, masam, sedikit pedas, gurih? entahlah.
Kita mulai melahap makanan itu, aku rasa makanan bernama semur jengkol itu tidak terlalu buruk rasanya. Aku menganggap ini adalah kencan sederhana antara aku, kamu dan hujan. Tak lama kita makan, dua gelas teh hangat datang di antarkan pelayan ke meja kita. Kamu meneguknya habis, dan aku meniru kelakuanmu itu, tapi tidak langsung habis satu gelas, aku takut nanti perutku akan kembung karena terlalu banyak minum air dalam hitungan beberapa detik.
"Gimana? " kamu bertanya padaku dengan tangan sibuk mengelap bagian-bagian mulutmu menggunakan tisue. Kamu melanjutkan, "Enak? "
Aku mengangguk setuju, di sini siapa yang setuju kalau rasa makanan bernama semur jengkol itu enak? nanti aku traktir bareng-bareng di warteg bareng kamu juga. Kamu mengambil selembar tisue lalu mengelap mulutku yang sedikit belepotan karena banyak sekali minyak yang tersangkut pada kumis tipis di atas mulutku.
Aku tersenyum malu, kamu selalu bersikap manis dan romantis seperti yang aku harapkan. Semoga saja hubungan kita tetap langgeng sampai ke pelaminan, aamiin. Kamu melempar tisue itu ke tempat sampah yang letaknya sedikit jauh dari meja, tapi kamu berhasil memasukan tisue itu tepat di tempatnya.
"Kalau enak, nanti aku ajak kamu kencan ke sini lagi dan makan semur jengkol lagi. Mau? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Juna & Juni
Teen FictionNama kita hampir sama, sifat dan sikap kita hampir sama, Hobi kita hampir sama, tapi ada satu hal yang jadi pertanyaan, perasaan kamu ke aku sama gak? ㅡ Juna & Juni ㅡ