Takut

100 16 4
                                    

“Kenapa kamu tidak belajar memberanikan diri? Hidupmu selalu dihantui ketakutan saat sendiri. Pantas saja kamu manja,”

***

Hafiz berlari mencari keberadaan Aisy untuk menanyakan bagaimana keadaan Adi, anak Surti yang baru saja kecelakaan. Ia mencari di mana-mana, tapi tidak ia temukan sama sekali.

“Bu Salma, tahu di mana Aisy?” tanya Hafiz memberhentikan Salma yang kebetulan sedang berjalan berlawanan arah dengannya.

“Tidak. Kenapa mencarinya?” Salma menatap curiga ke arah Hafiz.

Hafiz menggeleng, “Tidak, Bu. Hanya mau bertanya bagaimana keadaan Adi, pasien yang baru saja mengalami kecelakaan.”

“Oh. Aku tidak tahu, permisi,” pamit Salma pergi meninggalkan Hafiz yang kembali berjalan ke arah resepsionis.

***

“Tidak ada yang gratis. Sebagai gantinya, buatkan kopi setiap sift saya,” pinta Fariz setelah memberikan tawaran pada Aisy dan sudah disetujui oleh Aisy.

Aisy mengepalkan kedua tangannya, berusaha sabar menghadapi sikap Fariz yang teramat menyebalkan. “Kalau Dokter tidak ikhlas, saya bisa sendiri.”

“Perjanjian sudah tidak bisa diubah lagi,” singkatnya.

Aisy menghela nafas dalam, “Baik, tidak masalah, tapi hanya dalam waktu satu minggu,”

“Kenapa anda mengatur saya?” Fariz bersedekap dan menatap Aisy heran, beraninya ia mengatur hidupnya.

“Dokter Fariz yang terhormat. Maaf saya juga mempunyai pekerjaan sendiri. Kenapa Dokter tidak buat kopi sendiri saja?” tanya Aisy kesal.

“Saya sedang menagih hak saya,” terangnya tanpa beban.

“Hak?”

“Iya, hak dari tumpangan dan makanan tadi. Sudah saya katakan tidak ada yang gratis dan saya tidak mau diganti uang, saya sudah mampu.” Fariz pergi meninggalkan Aisy ke arah taksi yang kebetulan baru saja datang menjemput mereka.

Aisy memberengut kesal saat ia ditinggal oleh Pak Tejo, sopir ambulan yang sudah ia beri pesan untuk menunggunya karena kebetulan ia tidak berani menggunakan taksi sendiri. Terpaksa ia menerima tawaran yang diberikan oleh Fariz, ikut taksi yang dipesan oleh Fariz. Gengsi sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Aisy tidak berani pulang sendiri.

“Masuk atau saya tinggal!” teriak Fariz dari dalam mobil.

Aisy menghentakkan kakinya, tidak bisakah ia dipertemukan dengan laki-laki yang tidak menyebalkan seperti Fariz? Ya Tuhan, semoga Aisy diberikan kesabaran yang lebih.

“Sudah,” kesalnya duduk di belakang tanpa menatap ke arah Fariz sama sekali.

Selama di perjalanan Aisy lebih memilih diam, setengah hari bersama dengan Fariz membuat tenaganya terkuras karena menahan emosi sebab sikap menyebalkan yang ia terima dari dokter yang sudah lama ia kenal, tapi ternyata baru saja mengenalnya dan mengetahui namanya. Aisy tidak peduli, ia hanya ingin cepat sampai klinik dan mengistirahatkan badannya, sungguh lelah fisik dan lelah batin.

***

Salma mengundurkan langkahnya saat melihat kedatangan Fariz dan diikuti oleh Aisy, ia tidak jadi keluar ruang praktiknya dan lebih memilih bersembunyi di belakang tembok pembatas untuk memperhatikan gerak-gerik Aisy saat bersama dengan Fariz.

Saat semakin mendekat, Salma memilih berdiri dan menanti Aisy kembali pada rungan praktiknya. Lancang sekali Aisy bisa jalan berdua dengan Dokter Fariz, kenapa hidup Aisy selalu beruntung dan ia sebaliknya.

Plak! Salma menampar pipi kanan Aisy, ia sudah mauk dengan ucapan yang tidak pernah dilakukan oleh Aisy.

“Argh!” ringis Aisy memegang pipi kanannya yang terasa panas akibat tamparan yang dilayangkan oleh Salma.

Untung saja pintu ruang praktik mereka ia tutup jadi tidak ada yang tahu tentang kejadian penamparan yang dilakukan oleh Salma padanya.

“Percuma aku menyuruhmu menjauhi Fariz, kenyataannya kamu masih saja jalan bersamanya.” Salma bersedekap, nafasnya memburu sebab emosi yang sudah tak tertahan lagi.

“Maaf, Kak, tapi aku ada pasien yang harus dirujuk ke rumah sakit umum, jadi terpaksa aku bersamanya. Tidak ada maksud lain selain itu.” Aisy mengusap air mata yang mulai keluar dari netranya, ia memang tidak bisa bersikap baik-baik saja saat mendapat bentakan.

“Tidak harus pulang dan jalan berdua kan?”

Aisy menghela nafas dalam, “Tapi aku tidak berani pulang sendiri, Kak. Jadi aku terima tawarannya,”

“Bohong.” Salma menatap nyalang ke arah Aisy, “Kenapa kamu tidak belajar memberanikan diri? Hidupmu selalu dihantui ketakutan saat sendiri. Pantas saja kamu manja,” lanjutnya.

“Maaf,”

“Aku tidak butuh maaf mu, percuma. Buktikan saja apa janjimu!” Salma pergi meninggalkan Aisy yang semakin terisak.

Selama ini Aisy sudah melakukan yang terbaik untuk Salma, tapi kenyataannya selalu salah di mata Salma. Dan untuk kali ini, ia ingin memberanikan diri belajar tidak manja seperti yang dikatakan Salma padanya.

***

Tbc.

SisterlillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang