Sosialisasi

129 20 8
                                    

Setiap hari rabu, klinik mengadakan penyuluhan rutin untuk warga Desa Suka Maju yang bertujuan untuk merubah pola pikir warga desa yang masih sering menyepelekan kesehatan. Sedikit demi sedikit, dimulai dari hal yang paling kecil dan ringan.

Terjadi selisih paham antara Aisy dan Salma. Sejak awal Aisy meminta agar ia juga ikut serta pada kegiatan penyuluhan. Ia juga ingin mengenal masyarakat lebih dekat, tidak hanya bertemu dan menyapa saat sedang berada di klinik saja.

“Kamu ini tetap di klinik saja. Aku sudah memutuskan untuk penyuluhan bersama Sisil.” Salma bersedekap dada dengan angkuh, ia masih kesal dengan Aisy yang ceroboh.

Aisy menghela napas dalam, “Maksud aku kita bisa berpencar, Kak. Biar ada dua dusun yang bisa penyuluhan secara bersama,”

“Sudah aku putuskan, kita tetap akan melakukan penyuluhan untuk satu dusun. Lagi pula aku belum paham letak dusun yang akan aku kunjungi. Jadi, ikuti saja apa kemauanku.”

“Kenapa Kakak begitu egois?” tanya Aisy yang sudah kesal dengan kelakuan Salma.

Salma mendengus kesal dan mendekat dan memegang dagu Aisy, “Aku egois? Atau kamu yang iri denganku?” Salma menghempaskan wajah Aisy kasar, ia begitu membenci wajah Aisy yang selalu minta dikasihani.

Aisy meringis dan memegang bagian pipi yang terasa nyeri lalu menjawab pertanyaan Salma, “Enggak, Kak. Aisy tidak pernah iri dengan Kakak. Aku hanya ingin kembali dekat dengan Kak Salma.”

“Sudahlah, berbicara denganmu hanya menghabiskan waktuku saja.” Salma tersenyum sinis dan pergi dengan menabrak badan Aisy.

Argh...

Ringis Aisy memegang lengannya yang terasa nyeri akibat ditabrak Salma saat berjalan ke luar klinik.

**

“Sebentar ya, Bu. Kita tunggu Bu Salma sebentar,” ujar Sisil yang mulai kewalahan menghadapi ibu-ibu yang sudah bosan menunggu.

Salma memang menyuruh Sisil untuk pergi ke tempat sosialisasi terlebih dahulu agar warga tidak pulang atau kembali ke kebunnya.

“Nah itu dia, Bu Salma.” Tunjuk Sisil ketika melihat Salma datang.

Sekilas Salma menyapa para warga Desa Suka Maju dan langsung memulai penyuluhan yang tertunda akibat selisih paham antara dirinya dan Aisy.

Salma menerangkan bagaimana cara menjaga kebersihan diri, dimulai dari hal yang termudah. Salma mengatakan jika mencuci tangan sebelum makan adalah hal yang harus dilakukan.

“Kita tidak pernah tahu kapan kuman dan kotoran akan menempel di tangan kita, tanpa kita sadari. Maka dari itu kita harus tetap cuci tangan sebelum makan, meskipun kita makan menggunakan sendok.”

“Loh tapi saya makan pakai tangan dan tidak cuci tangan tetap saja sehat, Bu.” Salah satu warga mengangkat tangan dan protes akan penyuluhan yang Salma lakukan.

 “Bukan begitu Bu, cara berpikirnya.” Salma tersenyum miring, “Maksud saya, dalam hal mencuci tangan ini sama saja dengan mencegah daripada mengobati, Bu. Lebih baik Ibu sehat dan makan tetap merasakan enak atau mau sakit dan tidak enak makan walaupun sudah dibelikan beraneka macam makanan. Apa Ibu tetap akan makan dengan lahap? Saya rasa tidak,” sambungnya.

Para ibu mengangguk, paham akan penjelasan Salma meskipun cara menyampaikannya sedikit judes karena kesal dengan sikap ibu-ibu desa yang suka ngotot dan susah terkalahkan.

“Kenapa Bu Salma tidak seramah Bu Aisy, bukannya kalian saudara?” tanya salah satu ibu.

“Karen saya bukan Aisy dan saya tidak suka dibandingkan dengan siapapun.”

“Sombong,” ujar salah satu ibu yang duduk di dekat Sisil.

“Terserah kalian mau menilai saya seperti apa. Memang saya begini keadaannya, tapi jangan pernah bandingkan saya dengan Aisy. saya tidak suka.”

Salma menutup penyuluhan hari ini. Ia langsung berpamitan setelah mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Sisil yang kewalahan membagikan jajan yang memang disediakan setelah selesai penyuluhan.

**

Salma berjalan dengan kesal, ia memang tidak pernah mendapatkan tempat yang nyaman di manapun. Selalu saja Aisy yang beruntung, sebenarnya apa kurangnya Salma di sini? Ia pandai, cantik, bisa profesional. Tidak ada bedanya dengan Aisy yang hanya bisa menangis saat merasa takut dan tertekan.

“Hih kesal, selalu saja Aisy.” Salma melempar kerikil yang sengaja ia ambil saat sedang di jalan.

Salma sengaja berhenti di depan kebun kentang yang luas dan siap panen, ia mengeluarkan rasa kesalnya dengan melempar batu kecil ke arah kebun kentang.

“Hai, jangan rusak kebun kentang saya,” kesal pemuda di belakang Salma.

Salma membalik dan mendapati Hafiz sudah berkacak pinggang, “Oh ini kebun milikmu?”

“Kalau iya kenapa?” cetus Hafiz kesal.

“Haha. Akan aku rusak lebih parah dari ini,” ancam Salma dengan mengambil batu di bawahnya lebih banyak dan melemparkan ke arah kebun Hafiz.

“Hei, Ibu Bidan kurang kerjaan, cukup! Kenapa kamu selalu saja seperti anak kecil, tidak seperti Bu Aisy?” kesal Hafiz.

Salma menoleh ke arah Hafiz, napasnya memburu, “Aku bukan Aisy dan aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti Aisy!” ujar Salma berbicara dengan penuh penekanan di setiap kata yang ia ucapkan.

“Tapi setidaknya kamu bisa menjaga sikapmu, jangan seperti ini.”

“Aku tidak bisa. Permisi,” pamit Salma pergi meninggalkan Hafiz.

Rencana Salma menenangkan diri ternyata kembali gagal. Lagi-lagi ia harus mendengar perbandingan yang ada pada dirinya dan Aisy. Salma bosan tapi mulut orang-orang memang tidak bisa ia tebak, sekali menebak Salma akan dibuat kesal oleh sikap warga yang hanya manis di depan saja.

**

SisterlillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang