Contoh Seorang Lelaki

103 15 0
                                    

"Jangan samakan saya dengan laki-laki semacam itu. Saya tidak mau mengumpat di depan perempuan yang tidak bersalah."

***

"Muka Ibu Salma kenapa ditekuk seperti itu?" tanya seorang pasien yang baru saja chek up kandungan.

"Tidak, Bu. Saya hanya sedikit lelah," jelasnya dengan meletakkan tensimeter yang baru saja ia gunakan.

"Lelah pun harusnya tidak begitu, Bu. Saya lihat Ibu Aisy juga lelah, tapi tidak pernah dia terlihat lelah jika di depan pasiennya."

Salma tersenyum miring, "Jangan bandingkan saya dengan Aisy, Bu. Jelas beda. Kami hanya saudara sepupu bukan saudara kembar, jelas sangat beda. Jika Ibu tidak suka diperiksa saya, silakan bisa keluar."

Salma berdiri dan menunjuk ke arah pintu keluar ruangannya. Sebenarnya ia tidak berniat mengusir, hanya saja apa yang dilakukan ibu di depannya membuat moodnya semakin hancur, terlebih lagi-lagi Salma mendapatkan penilaian yang buruk akan dirinya dan Aisy.

"Permisi!"

"Silakan, Bu. Periksa dengan Aisy saja, dia memang lebih baik dari pada saya. Tetap jaga kesehatan Ibu dan bayinya," pesan Salma saat sang pasien keluar dengan wajah kesalnya.

***

Aisy masih terdiam kaku, air matanya memang sudah kering, tapi masih terdengar sisa-sisa sesenggukan yang membuat Fariz bingung harus berbicara apa dengan gadis itu.

"Masuk!" Perintahnya dengan menunjuk ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan.

Aisy dengan polosnya melangkah menuju mobil berwarna hitam di depannya. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa, di sisi lain ia berterima kasih, karena Fariz ia bisa selamat dari bahaya yang bisa membuatnya kehilangan seluruh hidupnya. Apa yang selama ini ia jaga akan hilang sia-sia karena kebejatan orang yang tidak bertanggung jawab.

"Saya bukan sopir. Duduk di depan," ujarnya pergi mengitari mobilnya.

"Baik."

Mereka harus segera sampai rumah sakit umum, jika terlambat mereka akan melewatkan waktu rapat bersama dokter dari rumah sakit pusat. Bukan apa-apa, bagi Fariz yang masih intership hal yang sangat memalukan dan mengecewakan adalah terlambat, maka dari itu ia paling anti dengan jam Indonesia, menurutnya tidak akan maju jika janjian pukul sepuluh saja datangnya setengah jam kemudian.

Fariz tidak suka menunggu apalagi hal yang tidak penting. Maka dari itu, ia menghindari nongkrong bersama saat malam minggu, lebih baik ia belajar dan lembur bekerja dari pada harus menghabiskan waktu dengan membicarakan hal yang tidak penting. Asal kalian tahu, laki-laki jika sudah bertemu dengan gengnya pun bisa ghibah. Maka dari itu, hati-hati kalian para perempuan, bisa saja jadi topik ghibahnya para laki-laki.

"Pakai sabuk pengamannya. Setengah jam lagi rapat dimulai," ujar Fariz mengingatkan.

"Iya."

"Saya akan ngebut, jika takut tutup mata," lanjutnya dengan menanjap gas semakin kencang.

Aisy tidak berkata apa-apa selain hanya mengangguk dan sedikit tegang, sebab ini pertama kalinya ia berdua dengan lawan jenis dan dibawa dengan kecepatan hampir 100km/jam.

"Saya sudah bilang kalau takut tutup mata, mukamu terlalu tegang jika tetap menatap seperti itu." Fariz menoleh ke arah Aisy yang masih berpegang pada sabuk pengaman.

"Saya justru akan lebih takut jika tutup mata, akan lebih baik begini. Bapak fokus saja," kesalnya karena beberapa kali Fariz menatap ke arah Aisy.

"Baiklah."

"Awas!" teriak Aisy saat Fariz hampir saja menabrak sepeda motor yang akan mendahului mobil dari arah lawan.

Fariz dengan cepat membanting stir ke arah kiri agar tidak menabrak laki-laki yang memakai sepeda motor itu.

"Huh!" keluh Fariz keras.

Aisy menatap ke arah Fariz yang masih menatap ke arah depan. Sekitar lima detik baru Fariz menoleh ke arah Aisy.

"Kenapa?" tanyanya sinis.

"Saya kira Bapak mau mengumpat," ujarnya polos.

"Tidak baik mengumpat di depan seorang perempuan," ujarnya dengan kembali melanjutkan perjalanan.

"Biasanya kan laki-laki seperti itu."

"Jangan samakan saya dengan laki-laki semacam itu. Saya tidak mau mengumpat di depan perempuan yang tidak bersalah." Fariz berbicara tanpa melihat ke arah Aisy.

Gadis di samping Fariz tercengang dengan jawaban dokter yang menurutnya cerdas dan ternyata memiliki akhlak yang jarang dimiliki oleh laki-laki yang pernah ia kenal.

"Maaf."

"Tidak apa. Saya paham, sebab terlalu banyak laki-laki yang jika marah tidak tahu tempat dan suasana. Padahal akan lebih terhormat jika diam."

"Meskipun kesal dan sangat marah?"

"Iya. Menahan akan lebih baik, apalagi di depan perempuan." Fariz tersenyum tipis, "Seorang perempuan harusnya dilindungi bukan malah disakiti. Saya yakin, akan lebih sakit sebuah ucapan dari pada tamparan," sambungnya.

"Iya memang, saya juga kadang takut kalau tidak sengaja ada laki-laki yang mengumpat di depan kekasihnya saat sedang marah."

"Itu bukan laki-laki yang baik. Saya pun tidak baik, tapi setidaknya saya belajar agar bisa lebih baik dari sebelumnya."

"Terima kasih Dokter Fariz."

"Terima kasih, untuk?" tanya Fariz dengan menoleh ke arah Aisy.

"Semuanya, ternyata dokter tidak seburuk yang saya kira," ujarnya dengan sedikit tersenyum malu karena sudah menilai yang tidak-tidak.

"Sama-sama, tapi hukuman tetap berjalan," jelasnya.

"Iya, insyaAllah siap, Dok."

"Turun, kita sudah sampai," ujar Fariz melepas sabuk pengaman dan turun meninggalkan Aisy yang masih terlihat diam saja.

Aisy merasa jika sifat Dokter Fariz memang sulit ditebak, ia kira akan mendapatkan perlakuan yang baik, sebab bertukar cerita seperti saat di jalan tadi adalah momen yang langka, tapi ternyata, menyebalkan tetaplah menyebalkan.

***

"Pak Hafiz!" panggil salah satu murid yang berlari ke arah Hafiz.

"Iya, ada apa, Dina?" tanya Hafiz dengan berdiri tepat di depan murid bernama Dina.

"Besok kan waktunya suntik imunisasi buat mencegah penyakit pada anak, nah Dina mau disuntik sama Bu Aisy saja, ya," pintanya dengan mengangkat ke dua tangannya memohon.

"Pak Hafiz tidak bisa memastikan siapa yang menyuntik Dina dan yang lain, tapi semoga besok Bu Aisy bisa, ya."

Dina mengangguk senang, "Iya, Pak Guru, kalau bukan Bu Aisy, Dina enggak mau."

"Kenapa begitu?"

"Dina takut disuntik dan Dina takut dimarahin jika Dina enggak mau suntik malah nanti kabur," ujarnya dengan meremas baju sebab gugup.

Hafiz tersenyum dan menggelengkan kepala, "Ada-ada saja. Kalau takut tutup mata. Dina bayangin kalau lagi digigit semut, ya. Besok Pak Hafidz yang dampingi."

"Tapi jangan marah kalau Dina nangis," ujarnya semakin menundukkan kepala.

"Tidak, menangis sebab kamu hebat bisa berani disuntik meskipun mengeluarkan air mata."

Dina menatap guru di depannya, ia tersenyum, wajahnya kembali ceria, "Terima kasih, Pak!" ucapnya senang.

"Iya, sama-sama. Jangan takut, ya. Seperti digigit semut," ulang Hafiz agar tidak membuat muridnya takut.

"Siap!"

***

Tbc.

SisterlillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang