BAB 7

8.1K 453 2
                                    

Tok tok tok...

Laras mengetuk ruangan Pak Burhan dengan sopan, kemudian masuk ke dalamnya ketika suara pak Burhan terdengar mempersilahkan tamu nya.

Pak Burhan sedikit melirik ke arah pintu, disela-sela kacamata yang hampir melorot ke ujung hidung, dan mendapati Laras di depannya sambil memegang amplop kecoklatan, berdiri dengan canggung.

"Kenapa, Ras? Udah jam 6, kamu belum pulang?" tanya Pak Burhan sambil melihat jam tangan yang berada ditangan kirinya sekilas.

Laras menyodorkan amplop warna coklat di hadapan Pak Burhan, mendapat attensi dari Pak Burhan kemudian Laras tersenyum. Laki-laki itu mengambil amplop yang kini sudah berpindah tangan dan membukanya, sedetik kemudian Pak Burhan seperti akan menyuarakan sesuatu tetapi tertahan dengan mulut terbuka.

"Kenapa harus?" Pertanyaannya penuh selidik. "Kamu ga betah disini?"

"Bapak saya pengen saya pulang ke kampung, Pak." Kemudian Laras duduk didepan Pak Burhan tanpa dipersilahkan, karena tahu Pak Burhan tak akan mempermasalahkannya.

"Bukannya kamu kerja banting tulang disini untuk biaya berobat bapakmu ? Kok malah sekarang bapak mu pengen kamu pulang? " Pak Burhan masih menuntut penjelasan dari Laras, wanita yang sudah ada di perusahaannya sejak 4 tahun yang lalu. Laras wanita yang telaten walaupun tidak cekatan, sabar, dan mau belajar, seingatnya selama bekerja Pak Burhan jarang ada masalah dengan seketarisnya itu. Melihat pengajuan resign Laras yang seakan mendadak, Pak Burhan sedikit terkejut.

"Bapak saya sudah meminta saya pulang dan merawatnya, Pak. Bapak ... bapak sudah menyerah katanya." Sempat tertahan di tenggorokkan ucapan Laras, muncul guratan kesedihan di wajah wanita itu, tapi kemudian hilang ditepisnya.

Pak Burhan terdiam, bingung ingin meresponse seperti apa ucapan Laras. Disisi lain ada kesedihan menjalar di hatinya ketika Laras mengucapkan bapaknya sudah menyerah. Sedangkan satu-satunya yang digadang Laras, semangatnya, hanyalah bapaknya.

"Bapakmu boleh menyerah, tapi kamu jangan. Kamu masih muda dan kamu tahu perusahaan ini akan selalu membuka tangan yang lebar untukmu, kapan pun kamu datang kembali," ucap Pak Burhan sambil berdiri mendekati Laras.

"Kamu harus sabar, saya tau kamu wanita yang kuat," ucapnya sambil memegang bahu Laras.

Laras hanya menganggukkan kepalanya tanpa berucap, sedih? Jelas! 4 tahun bersama di perusahaan ini memberikan kenyamanan layaknya keluarga, bukan hanya pekerjaan.

Yaa, mungkin memang waktu Laras sudah lah selesai di perusahaan ini, di kota ini.

Sebelum berpamitan, Laras menyerahkan sebuah kotak hitam yang isinya jam tangan kepada Pak Burhan. "Bapak jangan suka telat lagi ya, semoga bapak berkenan menerima kenang-kenangan dari saya."

Burhan menerima jam tangan tersebut, mengamati dan tersenyum. Kemudian melepaskan jam tangan yang sekarang ada ditangan kirinya, menggantikan dengan jam tangan yang baru saja di beri oleh Laras.

"Terima kasih," ucapnya tulus.

Seakan teringat sesuatu, Pak Burhan menghalau keinginan Laras untuk beranjak pergi.

"Eh Laras, minggu depan kita ada undangan dari Hutakama, Pak Baskara nya lagi ultah jadi kita diundang, ini kesempatan yang bagus buat perusahaan kita, agar bisa semakin dikenal orang-orang penting, kamu ikut ya? " Pak Burhan sangat semangat menyampaikan undangan ini ke Laras.

"Eh pak jangan saya, saya ga bisa." Laras mencoba menolak ajakan pak Burhan, karena pasti Evan ada disana.

"Nggak apa-apa, jangan mentang - mentang kamu dah resign jadi kamu menolak sesuatu untuk mengembangkan perusahaan ini, Ras." Laras yakin bukan maksud pak Burhan untuk menyakitinya.

LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang