BAB 4

9.3K 501 3
                                    

19.09
Me :
Kamu ga pernah bilang kalau kamu bekerja di perusahaan itu.

19.30
My love Evan :
You never asking

19.39
My love Evan :
Mau ketemu kapan ? Jumat aku jemput di kos an ya?

19.45
Me :
Hari jumat kemungkinan aku lembur, pak Burhan mau nyiapin laporan yang kamu minta tadi, dia sudah nodong buat minta aku lembur di hari Jumat.

19.55
My Love Evan :
Okey

19.57
Me :
Sabtu gmn?

20.30
My love Evan :
Sabtu aku udh ada rencana, minggu aja kalo jadi nnti aku jemput.

Laras berniat membalas pesan Evan ketika panggilan dari Dita masuk membuatnya urung dan memilih untuk menerima panggilan dari adiknya .

"Mbak bapak udh pulang kerumah, tadi mau ngabarin lupa, bapak sekarang udah dirumah udh istrahat Alhamdulillah," ucap Dita begitu mendengar suara Laras menjawab.

"Alhamdulillah, uang yang kemarin cukup, Dek?" tanya Laras.

"Cukup, Mba. Masih ada sisa rencana mau laras pake buat kontrol bapak, kata dokter masih butuh kontrol beberapa bulan kedepan." Dita berusaha menjelaskan singkat, Dita berfikir, menimbang ucapan yang akan dia sampaikan ke kakaknya , kemudian Dita menarik nafas dalam.

"Mbak."

"Ya?"

"Bapak pengen mbak Laras pulang."

"Mbak kan lagi kerja, Dek. Beberapa hari ini lembur sampai pulang malem terus, lumayan bisa buat tabungan, Dek." Tentu saja itu bukan pilihan untuk saat ini, walaupun tentu saja Laras sangat ingin pulang dan mendekap bapaknya, melampiaskan kesedihan yang selama ini terpendam.

"Bukan pulang cuma sebentar, bapak pengen mbak pulang dan dirumah terus jagain bapak sama Dita, bapak bilang udah kangen, bapak udah ga kuat. Bapak ga mau berobat lagi, Mbak. Bapak cuma pengen ngumpul sama mba Laras sama Dita udah itu aja," ucap Dita tak kuasa menahan tangisnya, mengingat perkataannya bapak tadi sebelum keluar rumah sakit. Dengan tatapannya yang kosong bapaknya berucap sudah tidak mau berobat lagi dan memilih untuk menghabiskan sisa waktunya bersama keluarganya, bersama kedua anaknya Laras dan Dita.

Sesak menyergap dada Laras, tiba-tiba terasa sempit yang membuat Laras kesulitan mencari oksigen di kamarnya sendiri. Tak kuasa menahan tangis, Laras duduk di tepian tempat tidur sambil memegangi dadanya yang semakin sesak, bagaimanapun juga dia sudah sangat merindukan bapaknya, merindukan adiknya, merindukan tempat yang membuatnya merasa nyaman, rumahnya.

"Mbak belum siap kehilangan bapak, Mbak akan berjuang terus buat bapak"

"Tapi bapak udah nyerah mbak, Dita ga tega lihat bapak terus2an nahan sakit, Dita ga tega, Mbak." Dita menangis tersedu, sambil sesekali menutup mulut dengan tangannya agar isakan tidak semakin menjadi.

"Udah sekarang kamu tidur aja, mbak akan cari jalan keluar ya, sekarang istirahat," ucapnya kemudian langsung memutus telefon dengan Dita. Laras menangis, menahan sendiri deritanya, memeluk kakinya berusaha menenangkan dirinya sendiri. Laras sudah terbiasa, Laras harus kuat sendiri.

********************************************

Betapa bodohnya Laras yang akan membuat janji untuk bertemu dengan Evan hari sabtu, padahal sudah jelas jelas dia sudah ada janji dengan teman sekosnya Ira, Dina dan Martha. Bisa jadi murka temannya jika tiba-tiba Laras menggagalkan rencana mereka bersama. Mungkin ia akan mendapatkan hukuman, tidak ditemani beli pecel lele di Mang Ali.

Dan disinilah mereka malam ini, dengan ide Ira yang mengajak ke mall orang kaya katanya, mall yang sangat bersar dan megah banyak sekali lampu-lampu yang menghiasi di luar gedung, Ada layar besar menempel di ujung gedung menampilkan model seksi dengan pakaian trend terbaru.

"Waoww.." Laras tak hentinya mengagumi ciptaan manusia yang pasti orang pintar dan kaya. Melihat ke kanan dan ke samping, memastikan jika tidak akan ada pemandangan yang luput dari matanya. Tentu saja Laras sudah pernah ke mall tetapi bukan mall yang megah seperti ini. Dan jika bukan ide konyol Ira, mungkin dia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sini.

Mereka berjalan sambil sesekali bercanda, yang akhirnya mereka memutuskan untuk sekedar nongkrong sambil menikmati minuman yang harganya bisa digunakan untuk makan sehari bagi mereka. Tetapi gapapa lah, sekali-kali ucapnya.

"Ada cowo ganteng searah jam 12 gais, jangan keliatan bener2 ngeliatin tapi ya," ucap Martha dengan gaya bahasa medoknya.

"Cowo ganteng sukanya sama yang ganteng." Dina menimpali ucapan Martha sambil menyesap kopi brown sugar miliknya, sengaja minumnya dikit dikit biar ga cepet habis kelakarnya.

"Iri bilang, Bosss."

Tawa muncul di sela sela percakapan mereka.

Laras menajamkan pandangannya ketika ada sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari restoran di dekat tempat mereka nongkrong. Ya, Laras seperti mengenal laki-laki itu. Semakin mendekat, Laras semakin yakin bahwa memang itu adalah Evan, Evannya.

"Aku ke toilet sebentar ya." Tanpa jawaban dari temannya, Laras langsung keluar mencoba memastikan dengan penglihatannya tapi sayang mereka sudah tidak terlihat lagi. Laras tersadar ada banyak arah yang tentu saja Laras tidak tahu kemana arah mereka pergi dan Laras menyerah, daripada tersesat dan tidak bisa kembali ke teman-temannya Laras mengurungkan niatnya untuk mencari pasangan tadi.

Disepanjang perjalanan pulang, Laras hanya diam dan hanya menanggapi teman-temannya dengan tersenyum. Hati Laras sudah kebal dengan sakit, bahkan sesakit apapun Laras tetap berusaha tegar dan tersenyum.
Hatinya sudah membeku, dan memang secara sadar Laras tahu hubungannya dengan Evan memang tidak akan bertahan mengingat perbedaan mereka yang sangat jauh. Tetapi apakah harus sekarang mereka berpisah?

Ada rasa tidak rela dalam hatinya, tetapi jika tuhan memang menginginkan demikian tentu Laras tidak bisa menolak bukan? Laras tersenyum, merindukan kampung halamannya, merindukan keluarganya.

LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang