19: Bayi Besar

29 5 3
                                    


Haii kembali buat kalian🤭, adakah yang rindu author? Sepertinya tidak, ok next.
Wkwk, becanda kok walaupun kalian gak nanyak author bakal tetap cerita🤣. Selama hampir seminggu author betapa di gunung kidul🤭 akhirnya rasa rindu akan readers memuncak hingga terjadilah pertemuan kita sekarang. Azekkk.
Dih ada yang senyum sambil gigit bantal, 🤭
Udah yah kita lanjut aja!

Happy reading!

____________________________________

Sudah hampir setengah jam gadis berambut panjang itu mengompres kening Raden, tubuh pemuda itu terus menggigil meskipun beberapa selimut tebal sudah menutupinya.

"Ya ampun Raden, elo kenapa sih." Echa berucap lirih, gadis itu benar-benar merasa kasihan pada Raden.

Mata bulat Echa menatap jam yang tergantung di atas dinding, waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Ibunya pasti akan sangat khawatir pada Echa, tetapi gadis itu tak bisa meninggalkan Raden dalam keadaan seperti ini.

"Cha." Suara Raden terdengar serak dan begitu lirih, pemuda itu membuka matanya dengan sayup.

"Apa yang sakit, mau gue panggilin Dokter?" tanya Echa, gadis itu hendak pergi. Namun Raden mencekalnya.

"Gak perlu, elo di sini aja temenin gue!" sahut Raden.

Echa mengangguk paham kemudian kembali duduk di atas karpet, pemuda berahang tegas itu kembali memejamkan matanya dengan tangan yang masih menggenggam jemari Echa. Gadis berkulit putih itu meringis ketika merasakan hawa panas dari genggaman Raden. Echa ingat sesuatu ketika ia demam Ibunya selalu mengompresnya dengan benda itu, gadis itu tak ingin membuang waktu ia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Raden.

"Gue tinggal bentar jangan bangun dulu, oke!" bisik gadis itu kemudian melangkah meninggalkan Raden.

Sebelum benar-benar pergi gadis itu meraih pajangan berbentuk katak yang berada di nakas Raden untuk mengganjal pintu apartemen tersebut.

"Jangan nutup dulu, ntar gue gak bisa masuk. Pak katak tolong tahan yah gak akan lama kok, dadah." Echa tak mau mengambil resiko, ini pertama kalinya ia ke gedung bertingkat yang bernama apartemen. Gadis itu tidak tahu seperti apa cara kerja pintu canggih tanpa anak kunci tersebut bisa saja pintu tersebut akan terkunci dengan sendirinya.

Di lain sisi, ketiga remaja berseragam itu tengah asik mendiskusikan sesuatu. Rido dengan tampang serius dan Fadil dengan ponsel di genggamannya.

"Menurut elo gimana Dil?" tanya Rifqi pemuda berjambul gelombang, Fadil hanya menatapnya sekilas lalu kembali melanjutkan gamenya.

"Ya gitu," sahut Fadil.

"Ya gitu apa?" ujar pemuda berambut jambul tersebut.

"Ya gitu lah Rif, jelasin Do." Fadil tampak serius dengan ponselnya hingga tak memperdulikan pertanyaan Rifqi. Menyuruh Rido untuk berbicara.

"Monyet lu Dil," dengus Rido pemuda itu membasahi bibir bawanya lalu menatap Rifqi. "Gue rasa Raden uda ada rasa ama Echa, secara selama ini gak pernah sekalipun Raden bawa cewek ke apartemennya." Sambung Rido menerka-nerka.

Rifqi masih belum yakin sepenuhnya, pemuda itu takut jika Raden akan terus-menerus menganggap Echa adalah Dara. Raden tidak akan kembali dari masa lalunya, mau sampai kapan pemuda itu terjerat oleh kisah kelam.

Before A go [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang