"Bukan merasa iba, hanya saja hidup seperti tak adil untuk mereka yang kekurangan."
_Ici_Budayakan vote sebelum membaca, jangan lupa coment di setiap paragraf.
Hari semakin larut kini jingga berganti kalbu, tak dapat di elakkan lagi perut Raden terasa perih karena ia belum mengisi lambung tengahnya sejak siang. Tubuh pemuda itu masih meringkus di ubin lantai, tak ada minat untuk beranjak pergi. Malam ini begitu sunyi sehingga ia dapat mendengar deru napasnya, Raden menatap nanar kaki meja di hadapannya. Benda itu sama sepertinya terlihat tertekan, tetapi terpaksa bertahan demi beban yang di pikul.
Bagian sisi wajah Raden masih terasa berdenyut, tamparan Papanya masih membekas apik. Raden sampai lupa, sejak kapan ia menjadi selemah ini ia seharusnya tak memperdulikan sikap kasar Regan padanya. Tak semestinya Raden larut dalam sakit batin, pemuda itu memilih menegakan tubuhnya. Seketika ia meringis merasakan nyeri pada punggung tangannya, Raden melangkah gontai menuju saklar lalu menyalakan lampu di kamar itu.
Pemuda pemilik tubuh jangkung itu meneliti punggung tangannya yang berurat, ternyata beberapa serpihan kaca menancap di kulit putihnya. Gumpalan darah kering menghiasi tangan pemuda itu dengan beberapa lebam di punggung tangannya, ternyata tindakan Raden sedikit menimbulkan luka. Raden tak peduli ia memilih mengabaikannya dan segera turun ke bawah untuk mengisi lambung tengah.
Ketika ia membuka pintu Raden mendengar keributan dari arah bawah, ia mendekat ke arah tangga lalu mengamati kedua orang tuanya yang sedang berkemas. Mereka mau kemana, hanya satu kalimat itu yang ada dalam pikiran Raden.
"Diana cepat kita tidak punya waktu," desak Regan, lelaki itu menyambar dompet serta kunci mobilnya yang ada di atas meja.
Sedangkan Diana dengan air mata berlinang ia menenteng tas yang isinya entah apa. Raden semakin mengerutkan keningnya ketika melihat raut wajah Diana yang begitu sedih. Pemuda itu terus mengamati sepasang suami istri itu hingga mereka hilang di balik pintu utama. Meskipun terlihat santai, tetapi dalam hati ia sedang bertanya-tanya dan sedikit merasa gelisah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi.
Raden menuruni tangga dengan lamban, seragam sekolahnya terlihat berantakan dengan kancing yang tak terkait.
"Den Raden mau makan, biar bibi siapin yah." Lamunan Raden terhambur mendengar suara pembantunya.
Dari arah dapur wanita paruh baya itu membawa mangkuk yang berisi sup jagung serta sayuran lainnya, wajah wanita itu juga terlihat murung.
"Mereka mau kemana bi?" tanya Raden pada wanita itu.
Dia Bi Lastri wanita yang sudah bekerja dengan keluarga Regan selama sepuluh tahun lalu, sedikit banyaknya Lastri tahu keadaan rumah ini.
Bi Lastri terlihat gugup, ia mengulum bibirnya sebelum berbicara. "Anu den, den Radit keadaannya memburuk," jawab wanita itu seadanya.
Raden semakin memperdalam kerutan di dahinya, sebenarnya Kakaknya sakit apa. Diana pernah memberitahu Raden jika Radit sedang di rawat, tetapi ia tidak tahu penyakit apa yang di derita saudaranya itu.
"Radit sakit apa?" seru Raden, entah mengapa detak jantungnya berpacu lebih cepat.
"Leukemia den," tutur bi Lastri.
Terlihat jelas raut keterkejutan di wajah Raden, Leukimia bukan penyakit ringan. Bagaimana pun juga Radit tetap saudaranya mau sebenci apa pun Raden pada pemuda itu tetap saja mereka memiliki hubungan darah. Luka Radit merupakan luka Raden juga. Namun, Raden menggeleng samar biarkan saja Radit menderita biar mereka sama-sama menderita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before A go [On Going]
Teen FictionFollow penulis sebelum membaca! Raden Angkasa Salah, gue bukan seperti yang mereka kira. Raden pembuat onar, Raden sih biang masalah,Raden pembawa sial dan Raden anak tidak berguna. Bukan begitu kah tanggapan kalian untuk Gue? Berdiri sendiri itu s...