4 - Basa Basi Senja

71 12 1
                                    

Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia
-

Awan awan putih itu menggumpal. Menanggung beban uapan air yang berat. Dulu, kupikir awan itu seperti kapas. Ringan, tanpa beban. Hingga materi dan teori membenarkan pikiranku selama ini. Awan itu berat. Namun tak habis pikir diriku. Apa yang membuat sosok awan kuat menahan bebannya? Hingga aku memutuskan untuk mengambil pesan moral dari awan. Tanpa materi, agar aku memahaminya. Tanpa teori, agar aku mendalaminya.

"Semua masalah ada jalan keluarnya
Semua keluhan ada solusinya
Semua beban ada tanggungannya
Semua pilihan ada konsekuensinya
Percayalah, tuhan tahu
Semesta mendukungmu
Apapun itu, kamu menahan beban yang setara dengan kekuatanmu"

Rencananya, hari ini aku dan Naa akan pergi ke toko buku bersama. Aku membuka ponsel. Lalu membuka kontak. Mencari kontak Naa. Yang kunamai "Naa San".
Bukan tanpa alasan aku menamai kontaknya dengan begitu. Alasan pertama, Naa adalah penggemar anime. Tapi Naa tidak sudi jika disebut wibu. Ia lebih memilih disebut anime lovers ketimbang wibu. Alasan kedua, aku memilih akhiran San karena Naa bukanlah tipe perempuan yang feminin. Namun ia juga tidak tomboi. Menurutku, Naa sedang-sedang saja.

Sebenarnya ada satu hal lagi. Satu alasan lagi. Dan, Naa tidak tahu tentang ini. Ya, kecuali jika ia membaca cerita ini.

Seringkali kuucapkan, bahwa Naa adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui sejauh ini. Naa adalah gadis berparas cantik dengan segudang prestasi. Jangan sekali sekali membandingkan diriku dengan Naa. Nanti kaget. Tapi Naa sendiri tidak pernah menganggap dirinya yang terbaik.

Saat semua orang enggan duduk sebentar, menikmati senja bersamaku, justru Naa dengan semangat 45 bersedia menemaniku. Bahkan hingga mentari tenggelam, ia tak bosan bosan. Hingga san memiliki arti tersendiri bagiku. Yaitu san daran. Ya, sandaranku yang seberharga itu untukku.

Kata orang, senja itu mahal. Kata orang, senja itu langka. Padahal, senja itu selalu ada. Senja itu tersedia untuk siapa saja. Senja itu kuasa tuhan. Banyak orang menganggap senja mahal, karena mereka terlalu takjub atas kuasa Yang Maha Esa. Banyak orang menganggap senja itu langka, karena mereka jarang melihatnya. Terkadang, kesibukan ini membuat kita lupa bahwa semesta memiliki jutaan pemandangan yang berhak kita nikmati.

Banyak yang bilang bahwa senja itu identik dengan galau. Patah hati. Lelah.

Ayolah, dunia ini luas, pemikiran tidak boleh hanya stuck di situ situ saja.

Jika senja dianggap begitu, lalu apa bedanya dengan hujan? Apa bedanya dengan mendung? Apa bedanya dengan malam?

Tuhan menciptakan semua ini, bukan hanya untuk bersedih. Senja juga layak untuk orang yang bahagia, untuk orang yang ingin bercerita, dan untuk orang yang sedang mencari jati dirinya.

Untukku sendiri, senja layak untuk diriku. Senja layak melihatku yang sedang tertawa, bahagia, terharu, lelah, menangis, marah, hingga di puncaknya, senja berhak melihatku berserah.

Aku dan Naa kerap duduk di tepi sungai yang letaknya tak jauh dari rumahku. Kami bersenda gurau di sore hari. Menikmati senja, sembari berbasa basi.

"Cha, aku boleh punya pacar ga?" Tanya Naa di sore itu.
"Ya terserah kamu, kan hak kamu"
"Kamu ga marah?"
"Kenapa harus marah?"
"Kalau aku jarang main sama kamu gimana?"
"Aku main sendiri" jawabku cuek. Jujur, aku tidak mau Naa pacaran. Aku takut Naa abai. Atau ujung ujungnya, Naa terlanjur nyaman sama pacarnya. Terus ngelupain seorang Chacha.
"Tuh kan, kalau gak marah jawabnya ga jutek dong" Naa memelas.
"Aku memang gak marah"
"Hehe, udah gak usah bohong. Aku ga bakal pacaran kok"
"Kenapa?"
"Udah banyak dosa, gak mau nambah lagi"
"Kirain karena gak tega sama aku"
"Hahaha"
Kami pun tergelak. Aku dan Naa tertawa terbahak bersama. Senja menyaksikannya. Basa basi seperti itu seringkali mencairkan suasana, hingga kecanggungan memudar dari perasaan kami.

Tersadar dari semua pikiran itu, aku kembali fokus pada ponselku. Aku menekan tombol telepon pada kontak Naa. Lalu menunggu orang di seberang mengangkatnya. Hingga aku mendengar suara Naa dari speaker ponselku.

"Halo Naa? Assalamualaikum?" Aku mengawali pembicaraan di telepon.
"Iya halo Waalaikumsalam" balas Naa. Suaranya terdengar serak. Seperti mau habis.
"Hari ini jadi ke toko buku kan?" Tanyaku.
"Oh iya, maaf aku lupa"
"Oh gitu, berarti gak jadi?"
"Besok ya kukabari" Ucap Naa lemah.

Lalu Naa memutuskan sambungan telepon. Aku hanya mendesah pelan. Firasat buruk menghampiri benakku tanpa permisi.

Naa, jangan bikin aku khawatir. Aku menghembuskan napas. Aku ingin ke rumahnya. Melihat keadaannya. Bertanya apa alasan Naa memilih untuk membatalkan rencana pergi ke toko buku. Namun setelah kupikir pikir lagi, aku mengurungkan niatku. Besok saja, setelah Naa mengabari. Besok saja, setelah aku bertemu Naa di sekolah.

Aku memilih begitu, karena aku tak tahu apa yang akan terjadi di keesokan hari.

***
terimakasih sudaah membaca!

SANDARANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang