11 - Buruk

21 3 0
                                    

Sial. Genap 4 kali aku terbangun dari tidur yang tidak nyenyak ini. Masih dini hari. Bisa dikatakan kalau aku mengalami nightmare?

Aku duduk, menegakkan tubuh. Nafasku terengah engah. Jantungku berdetak amat cepat. Lima menit setelahnya, aku hanya diam. Berusaha menenangkan diri sendiri.

Namun gagal. Baru tiga menit aku mencoba tenang, ingatanku kembali memutar memori dulu. Dimana ada sosok wanita yang selalu membelai kepalaku saat mimpi buruk datang bertamu. Wanita yang selalu tulus menemaniku pada detik detik perjalanan menuju dunia mimpiku. Suaranya, terngiang dalam benakku. Terasa amat nyata.

Satu, dua, tiga. Aku beranjak dari ranjang. Meraba dinding, lalu menyalakan lampu perlahan.

tapi belum genap enam puluh detik aku berdiri, tubuhku terkulai. Aku jatuh. Punggungku bersandar pada tembok, sedang bibirku tak berhenti komat kamit mengucap lafal Allah.

"Ibu.." lirihku.

Setelah lirihan yang terdengar perih itu, aku selesai. Aku kehilangan kesadaran.

-

Perlahan, kedua bola mataku terbuka. Dan langit langit rumah sakit adalah pemandangan pertama yang menyambutku. Aku melirik ke kanan dan kiri, tanpa menggerakkan kepala sedikitpun. Dan aku mendapati, sosok bidadari itu di samping ranjang. Terlihat sedang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya, ia sedang mengabari seseorang.

Aku masih diam, tak berkutik. Masih berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Jam dinding yang terpajang di tembok ruangan itu menunjukkan pukul tiga pagi dengan kedua jarumnya yang tak pernah berhenti berotasi. Terkecuali batu baterainya habis, tentu.

Dengan hati hati, aku mencoba utnuk mengingat kejadian sebelum aku terbaring di ranjang rumah sakit ini. Tempat paling kusuka sembilan tahun yang lalu. Dimana wajah khawatir dari dua insan terhormat itu berubah menjadi lega ketika aku membuka mata. Kala aku sakit, aku tak pernah mengeluh harus rawat inap walau tiga hari sekian. Karena mereka jadi makin perhatian. Iya, dasar pola pikir yang kekanak-kanakan!

Dimana suapan demi suapan bubur mengantri masuk ke dalam mulut mungilku. Dan dimana ayah dan ibu selalu bilang begini untuk menyakinkan aku.

"Nanti, kalau dokternya mau masukin suntikan, jangan nangis, gak sakit kok, cuma kayak digigit semut. Okay sayang?"

Itu. Itu yang kurindukan dari bangunan tempat menyambut datang dan melepas perginya jiwa. Di salah satu ruangan akan terdengar suara tangisan bahagia, bayinya terlahir selamat dan sehat. Dan di ruangan satunya harus terdengar suara tangisan nan pilu. Sebab ada sanaknya yang tak lagi bernyawa pada detik itu.

Dulu, banyak perhatian lebih yang kudapatkan saat ragaku tumbang. Saat aku terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Dulu, hanya demam saja sudah mampu menyerap seluruh kesibukan mereka. Elusan lembut, kecupan singkat, serta dekapan hangat itu benar benar nyaman. Aku merindukannya.

Itu dulu. Sebelum mereka berpisah. Sebelum mereka meninggalkan gadisnya. Sebelum mereka bersikap tak saling kenal.

Sekarang. Walau aku dalam posisi sekarat pun, aku tak yakin mereka akan datang. Aku tak yakin mereka menemaniku. Aku benar benar tak yakin akan elusan, kecupan, dan dekapan itu bertamu padaku.

Tuhan tolong, bisakah aku berhenti disini sebentar? Aku ingin kembali ke masa lalu. Aku belum berdamai dengan mereka. Aku masih belum rela saat melihat keduanya memancarkan kebencian dari pasang matanya. Aku menyesal sudah duduk di kursi itu, dan memilih ayah untuk mendapatkan hak asuhku. Aku tidak ikhlas perihal ibu yang ditampar ayah, juga ayah yang didiamkan oleh ibu selama satu pekan itu.

SANDARANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang