12 - Diskusi?

24 3 0
                                    

"Hari yang baik..."

"Nana menemaniku seharian, canggung kami sudah sedikit mereda, bahkan ia sudah merencenakan agenda jalan-jalan untuk weekend besok. Aku jadi tidak sabar untuk pulang. Kangen sama Pak Tejo dan Bejo. Kangen sama sekolah juga. Padahal baru sehari aku disini ya? Hahaha"

Aku membenahkan posisi dudukku. Lalu lanjut berceloteh sendiri.

"Oh iya soal ayah, dia terbang ke Singapur tadi siang kata Mbak Lala-

Aku heran, ayah itu sadar enggak ya kalau anaknya ini udah besar? Sadar gak ya kalau gadisnya udah remaja?"

Aku memindahkan daguku ke tangan kiri.

"Aku punya rencana nih. Niatnya, aku mau cari ibu nanti. Sendiri aja, enggak mau repotin yang lain-

Yaudah gitu aja ya. Semoga malam ini aku enggak mimpi buruk lagi. Makasi semesta, untuk hari baiknya"

***

Aku meringis kecil kala jarum infus pada tanganku dicabut. Tapi sakitnya tak bertahan lama, hanya seperti digigit semut. Suster keluar dari kamar setelah menuntaskan tugasnya. sedangkan aku hanya memandangi Mbak Lala yang sedang mengemasi barang-barang.

Benar, siang ini, aku pulang.

Keadaanku sudah sangat membaik. Perlahan, aku akan mencoba membenahi lagi satu persatu masalahku.

Kadang aku berpikir, yang membuat rumit itu aku, atau keadaan sekitarku. Entahlah, otakku gak sampai situ.

Aku mengotak-atik ponsel. Mengabari Naa juga Ayah kalau aku akan pulang siang ini. Naa sudah tahu, hanya saja ia minta aku untuk mengabari ulang lagi. Takut ada perubahan.

"Cha, barangnya udah beres, mau turun?"

"Ah iya mbak, boleh"
-
Dengan pelan, aku membuka pintu gerbang. Menampilkan ruang tamu yang langsung kelihatan. Tak jauh berbeda dari sebelumnya, hanya saja, debu yang menempel jadi sedikit lebih tebal. Sebab Mbak Lala menjagaku selama aku rawat inap, pasti tak sempat mengelap.

Aku melangkahkan kaki ke dalam. Rumah tetap sepi, seperti biasanya. tapi aku mendengar dentingan cangkir sesekali, dan itu berhasil membuat aku penasaran setengah mati.

Aku bertanya pada Mbak Lala, apa ada orang di rumah. Dan katanya, tidak ada siapa-siapa selama aku di rumah sakit. Karena Pak Tejo dan anakanya memilih tidur di rumah mereka semalam. Enggan menunggui rumah sendirian. Sungkan.

Aku melangkah ke dalam. Dan menemukan seseorang di ruang tengah.

"Ayah?" tanyaku pelan. dengan sedikit ragu, aku mendekat ke arah lelaki itu.

"Ah, sudah pulang? Sini" suaranya lembut. masuk ke telingaku dengan sopan dan menenangkan.

Ayah, sudah lama aku tidak mendengar suara berat itu. kalau boleh kubilang, aku rindu.

aku mendekat, sesuai perintahnya. kemudian duduk di sofa, disampingnya.

ia merangkulku, kemudian mengecup pelan keningku.

Sempat ku berpikir aku bermimpi, karena ini amat jarang terjadi. tepatnya, setelah keduanya memutuskan untuk tidak saling bersama lagi. Rumah besar ini, sunyi.

Aku memperhatikan wajahnya. dengan kulit warna sawo matang, hidung pesek, dan dua bola mata warna coklat tua. Wajah yang kurindukan sejak lama.

"Ayah?" masih kutanya.

"Sudah pulang?" aku masih setengah percaya. Karena kabarnya, kemarin ia terbang ke Negeri Singa.

Lelaki paruh baya itu mengangguk. Lantas membuka suara.

SANDARANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang