13 - Hambar

13 1 0
                                    

Kamu tahu? Tahun-tahun yang kuhabiskan memang hambar. Ya, hambar. Ibarat kamu cicipi semua bumbu dapur, tapi lidah kamu bermasalah. Gak berasa, tapi tetep saja masuk ke mulut.

Aku sendiri gak tahu, seberapa berkesannya ceritaku. Entah membekas, atau terlalu mudah dilupa juga dilepas. Setidaknya, dari sini aku mau mengingatkan kalau, hidup itu perihal menjalani, memaknai, dan menghargai. Dimana miliaran pilihan berdatangan. Tapi kita hanya diberi satu kesempatan.

"Avira, kamu mau ikut ayah atau ibu?"

Hari itu, aku terlanjur menyebutkan nama ayah. Dan ibu seketika menghilang tanpa pamitan.

Aku.. masih kecil saat itu.

Ya, seharusnya aku tidak memakai embel-embel 'masih kecil' seperti itu. Tapi jika tidak, perasaan tak tenang ini terus menghantui, menyudutkanku dari berbagai persepsi.

Kalau saja bisa memutar waktu, refleks kala itu kupeluk keduanya. Kubujuk bujuk agar masih tetap bisa bersama.

Ya sudahlah. Semuanya akan terbayar oleh masa. Entah masa depan, atau masa lalu, atau masa masa yang akan tiba tanpa jaminan apapun. Sebab deru napas itu hanya rahasia Sang Maha. Yang bisa berhenti kapanpun, tanpa ada yang tahu kapan tanggal matinya.

***
"Siap sayang?" Tanya lelaki paruh baya itu sembari mengelus surai hitamku.

"Seharusnya aku yang tanya ke ayah. Ayah sudah siap belum?" Aku terkekeh kecil.

Lalu Ayah mengangguk bersemangat. Menampikkan gigi putihnya yang masih lengkap meski usianya sudah menua.

Aku tersenyum.

"Wah, halo" seorang wanita paruh baya datang menghampiri kami berdua. Sosoknya terlihat amat menawan dengan dress putih nan indah berkilauan. Lantas ia berjalan perlahan, mendekat.

Ayah berdiri, membetulkan kerah hem nya, bersikap sesopan mungkin.

"Selamat pagi Sa" Baiklah, dari ini aku tahu kalau nama wanita ini berawalan Sa.

"Pagi juga, wah, cantik sekali putrimu" wanita itu tersenyum, jalan lebih dekat, ke arahku.

"Dan akan menjadi putrimu, Sa" Aku terdiam mendengar kalimat yang keluar dari lisan Ayah barusan. Tenang, aku harus bisa membiasakan.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum. Sampai ia mengulurkan tangan, dan aku menjabatnya.

"Salam kenal sayang, saya Nafisa"

Oh rupanya Sa bukan awalan tapi akhiran.

"Avira" Sengaja, aku lebih memilih nama Avira dibanding Acha untuk mengawali perkenalan kami.

Wanita itu masih melebarkan senyumannya. Berbeda denganku yang kini sedang sibuk demgan diskusi antar opini dalam benakku sendiri. Berseliweran pikiran-pikiran negatif tentangnya. Tentang wanita yang bernama Nafisa. Namun hal-hal baik juga tertampik dari wajahnya, tutur katanya, bahkan matanya. Entah mengapa sorot matanya menunjukkan ketulusan. Yang pernah kutemui pada sosok teman. Iya, sahabatku, Naa.

Lalu wanita itu berbasa basi sebentar dengan Ayah. Sebelum ia pergi, ke ruang pengantin putri, mau didandani.

"Avira, saya kesana dulu ya, sampai jumpa" pamitnya sebelum sosoknya benar-benar sudah tak terlihat.

Ayah kembali menghampiriku. Bertanya apakah aku ingin didandani juga. Kujawab tidak sebab dari rumah aku juga sudah merias diri, ya, sedikit.

"Doakan Ayah ya nak,"

Aku mengangguk.

"Namanya Nafisa, kami bertemu pada sebuah proyek kerja. Kami hanya saling bersapa satu dua kali saja. Tapi rupanya satu dua kali itu tidak menutup kemungkinan satu di antara kami menaruh hati. Ayah bukanlah pengecut tapi bukan berarti Ayah langsung berani. Nafisa lebih dulu terbuka dengan perasaannya, dia yang lebih dulu bilang suka pada Ayah"

"Jadi, wanita tadi yang duluan confess?" Aku cukup terkejut.

"Confess itu apa Ra?"

Rupanya pertanyaan Ayah yang ini lebih membuatku terkejut.

"Mmm, confess itu kaya menyatakan perasaan. Ya gitulah" jawabku seadanya.

"Ooh, ada ada saja bahasa anak jaman sekarang"

Aku terkekeh, lalu menyambung kembali percakapan tadi.

"Lalu bagaimana kelanjutannya, Yah?

"Ya begitu, kami saling bertukar cerita, dan ya, Ayah kembali merasakannya Ra, Ayah merasakan kembali bagaimana jatuh cinta"

Aku bergeming. Kalimat itu sungguh dalam bahkan aku kewalahan. Aku hampir tenggelam.  Ayah memang juaranya dalam bermain peran. Ia berlagak sibuk, kepenuhan jadwal, padahal nyatanya ia kesepian.

"Lantas kenapa Ayah bisa jatuh cinta padanya?" tanyaku.

"Karena itu dia. Karena hal-hal luar biasa yang Ayah temukan dalam dirinya. Dan karena cinta itu penuh rahasia. Tiba-tiba ia datang, dan yang dicinta rupanya juga sama"

Aku kembali diam.

Beberapa jam lagi, Ayah akan menemukan teman hidup barunya, beberapa jam lagi Ayah akan membuka lembaran baru untuk kedua kalinya, dan rasanya aku tak rela. Tapi melihat sosoknya kini yang amat bahagia, justru aku tak rela jika hari ini tak pernah ada.

"Ayah yang bahagia ya" lirihku, yang tak sampai rungunya.

"Jadi nanti Acha panggil wanita tadi ibu? Atau Bunda?"

"Apa saja sayang, asal jangan Papa"

"Ayah ih, garingg" Aku memukul pelan pundaknya, menanggapi lawakannya yang memang cocok dengan usianya.

"Hahaha" ia mengacak rambutku, untuk terakhir kali, sebelum ia resmi kembali beristri.

___

halo halo halo! apakah masi ada yg baca sandaranku awokawokawok

intinya thank uu <33 kalian resmi diundang ke nikahan ayahnya acha 🙏😎

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANDARANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang