Dokter gigi selalu membuatku gugup, mulai dari bau obatnya, kursinya yang membuat kita seakan sulit bergerak dan beribu alasan lain yang membuatku menghindari tempat ini. Tetapi kemalasanku berakibat fatal, setelah sekian tahun tidak mengunjungi dokter gigi, tambalan yang lepas di gigiku berbuat ulah, ditambah geraham bungsu yang tumbuhnya liar menambah sakit dan mengganggu tidurku sehingga otomatis kerjaku juga ikut terkena imbasnya.
Aku Danny, usiaku 25 tahun, saat ini sedang meniti karir di sebuah bank asing, begitu lulus kuliah, aku langsung pindah dari kota kelahiranku dan bekerja di ibukota, tak terasa waktu sudah berjalan selama 3 tahun, karena kesibukanku di tunjang kurangnya informasi mengenai dokter gigi, membuatku lupa memeriksakan gigiku secara rutin. Di dorong sakit yang makin tidak bisa aku tolerir lagi, akhirnya aku memberanikan diri datang ke sebuah klinik atas rekomendasi temanku. Setelah masuk dan mendaftar, di sinilah aku duduk setengah terlentang di kursi periksa dengan mulut menganga lebar yang penuh liur karena gugup.
Dokter Maya tampaknya menyadari kegugupanku dan mencoba untuk menenangkan diriku dengan mengajak berbicara. Masalahnya sulit sekali mengobrol dengan mulut penuh kapas dan mesin pencungkil serta kaca masuk ke mulut.
“Aduh kenapa udah lobang segede gini ga cepet diperiksa sih?” Dokter Maya mengomeliku seakan-akan aku anaknya.
“Ha hempet hok, hibuk” jawabku.
“Hah?” tanya dokter Maya.
“Ga sempet dok sibuk.” Jawabku lagi.
“Emang kamu ngantor sampe malem?”
“Sampe sore sih dok, tapi udah gitu saya masi kerja sambilan. Saya ngelesin pelajaran.” Jelasku.
“Oh, kamu biasa ngelesin anak kelas berapa?” Tanya dokter Maya lagi.
“SD sampe SMA, tapi lagi banyak SMP sama SMA sih dok.”
“Wah kalo gitu bisa dong ngajarin anak saya Fatty, dia mau persiapan UN tuh, pengennya masuk kedokteran juga kaya Mamanya.” kata dokter Maya sambil tertawa kecil
“Boleh juga sih dok.” Aku menyanggupinya, lumayan pendapatan tambahan batinku.
“Bener ya, saya panggil deh anaknya sekarang.”
Dokter Maya bergegas ke masuk lewat pintu extension ruang prakteknya ke dalam rumahnya lalu memanggi Fatty anaknya. Tak lama kemudian Fatty muncul dengan ibunya. Aku secara formal bersalaman dengannya, lalu mengatur jadwal les, Fatty memilih Senin dan kamis, aku menyanggupinya. Setelah semua urusan selesai, aku akhirnya pulang dengan bahagia, masalah gigi beres, malah dapat tambahan anak didik baru.
Hari kamis yang di tunggu datang juga, aku datang lagi ke klinik dokter maya, tapi kali ini aku akan bertemu dengan Fatty anaknya. Sampai di sana aku langsung masuk ke dalam lewat teras rumah, tidak seperti pasien yang biasanya masuk ke klinik di pavilion sebelah. Fatty sudah menungguku, masih menggunakan seragam SMAnya dia duduk di meja makan sambil meminum jus.
Hari itu barulah aku benar-benar memperhatikan Fatty, tingginya mungkin sekitar 167, mukanya cantik, dia memiliki wajah oriental walaupun aku tahu keluarga dokter Maya asli Indonesia. Matanya Sipit jika tertawa diikuti dengan pipinya yang chubby ikut memerah dan memperlihatkan lesung pipitnya. Rambutnya tidak terlalu panjang hanya sebahu dan menggunakan bondu biru. Mata bulan sabitnya yang mirip rubi lin memandangku lalu tersenyum.
“Ayo kak, ke kamarku aja” kata Fatty. Memang sejak pertemuan pertama kami, aku tidak mau dipanggil bapak, toh umur kita berdua tidak terpaut jauh ditambah lagi wajahku yang awet muda membuat orang menyangka aku masih berusia di awal 20. Aku berjalan mengikuti Fatty di rumah besarnya, kami naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarnya yang sangat girly. Kontras dengan warna pink dan krem, boneka yang tersebar di mana-mana, serta aksesoris dinding yang berkelap-kelip.
Fatty mengambil kursi tambahan dan mempersilahkan aku duduk di sebelahnya, kami membuka les itu dengan mengerjakan PR. Ternyata Fatty anak yang cerdas, hanya karena sifatnya yang agak tidak sabaran membuat dia kadang ceroboh. Selain itu fatty anak yang menyenangkan untuk diajari karena cepat menangkap apa yang aku terangkan. Setelah 45 menit membahas PR aku biarkan Fatty beristirahat sebentar, kalau-kalau dia ingin minum atau ke WC
“Papa kamu ke mana Fatty?” tanyaku membuka pembicaraan
“Papa kerja di pertambangan di Papua, pulang bisa 6 bulan sekali, makanya di sini aku berdua aja sama mama.”
“Wah sepi dong rumah, kalo siang?” tanyaku.
“Yah sepi lah kak, apalagi kalo mama masih praktek di rumah sakit, untungnya kalo sore udah praktek di rumah, jadi ga sepi-sepi amat. Tapi ya gini jadinya mama di bawah, aku di atas. Aku banyak cari kegiatan juga, ini juga abis piano, makanya belum sempet ganti baju.” Jelas Fatty, memang sebagai anak dari keluarga berada membuat Fatty bisa memiliki segalanya, kamarnya lengkap dengan fasilitas elektronik, game, bahkan gadget yang tidak pernah kubayangkan akan kumiliki saat seumur dia.
“Kalo pacar emang ga punya?” tanyaku iseng.
“Gasuka pacaran sama yang sebaya, cowo-cowo yang masih kaya anak-anak bikin males. Deket kalo ada maunya, apalagi tau kalo aku banyak duit cuma pengen dibeliin sesuatu aja.”
“Owh” aku ber-O sambil mengangguk-angguk lalu kembali memandangi tiap sudut ruangan kamar Fatty mengagumi setiap benda yang ada di sana. Aku berhenti saat Fatty tiba-tiba bertanya,
“Kak, ngerti iMac ga? Bisa tolong liatin kenapa ini komputerku ya?”Untunglah aku seorang Mac user juga, jadi aku bisa membantu mencari permasalahan yang ada di iMac Fatty.
“Coba sini liat.”Kataku “Emang kenapa ini iMac-nya?” tanyaku.
“Gatau tuh kak, udah dua hari ini gabisa connect ke internet.”
“Owh.” Kataku sambil mengutak-atik iMac, lalu berkata, “Coba deh itu router kamu di reset, jangan-jangan sinyal wifinya mati.” Fatty turun ke bawah, tak berapa lama ikon wifi menyala, menandakan kembalinya sinyal wifi.Aku memcoba mengklik salah satu browser di iMac dan memasukan alamat website pencari dan berhasil, internet di rumah Fatty sudah berjalan kembali.
Fatty kembali dari me-reset router dan mendapati iMac nya sudah bisa mengakses internet lagi. “Akhirnya.” Dia terpekik, sambil mengklik icon di iMac-nya, “Makasih ya kak, emang susah di rumah ini kalo ga ada cowo, ga ngerti yang begini-beginian, mama aja hanya bisa marah-marah aja karena iPad-nyaga bisa browsing.” Sambil tertawa kecil. Fatty lalu memandangku lagi matanya selalu menatapku dalam seakan-akan sedang membaca diriku.
“Eh, ayo lanjut belajarnya.” Seruku mengingatkan kita berdua yang terhanyut ke dalam obrolan yang seharusnya sudah selesai sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parallel Love
RomanceJika Benang Merah Takdir Sudah Mengikat Kita berdua, di Bumi Manapun Kita Pasti Akan Bersatu