Chapter 9 - Parallel 1

1.9K 9 0
                                    


Aku membuka mataku perlahan, menggeliat dan meregangkan badanku. Sudah sebulan aku di rawat di rumah sakit ini karena virus aneh yang kubawa dari tugasku bersama Tim PBB di Afrika. Seperti biasanya aku menaikan kasur rumah sakit agar pandanganku lebih jelas, sementara mataku mulai mencari-cari kehadiran Istriku.

Aya keluar dari kamar mandi, dia baru saja mandi, "Hey, udah bangun? Mau sarapan apa?" tanyanya.

Aku tersenyum menatapanya, "maunya sih bubur ayam di jalan Pandu." jawabku.

"Ya mana bisa dong sayang." jawab Aya mengelus tanganku lembut.

Aya mendekatiku lalu mencium bibirku dengan lembut. Pagi itu Aya telah menyiapkan bubur ayam yang aku suka. Memang rasanya mirip dengan bubur ayam di Bandung, walaupun tidak seenak bubur Pandu kesukaanku. Setelah melihatku menghabiskan sarapanku, Aya pamit untuk pulang dan bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya. Pekerjaannya sebagai arsitek membuatnya tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari kliennya. Tapi dengan kesibukannya itu Aya selalu menemaniku tiap malam, bahkan tiap ada kesempatan dia pasti mengunjungiku ke rumah sakit, membawakan makanan kesukaanku.

Sekarang aku sendiri, kegiatanku dimulai dengan menyalakan TV, menonton berita, nampaknya Ibu Presiden Amerika Serikat baru saja menambahkan pasukannya di Afrika, perang tersebut pula yang membawaku ke Afrika, awal dari semua penyakit misterius ini. Sambil menonton berita aku banyak beraktifitas dengan komputerku, menulis laporan, hasil pengamatanku, halaman demi halaman, sampai kira-kira jam 10. Dia datang, seseorang yang telah aku tunggu, dan aku rindukan kehadirannya akhir-akhir ini, suster Fatty. Di usianya yang ke 24 suster Fatty memiliki kecantikan yang tidak akan dilewatkan oleh pria manapun, dengan wajah orientalnya Fatty memiliki mata Sipit jika tertawa diikuti dengan pipinya yang chubby ikut memerah dan memperlihatkan lesung pipitnya. Rambutnya di cepol khas perawat di rumah sakit. Mata bulan sabitnya yang mirip rubi lin memandangku lalu tersenyum.

"Selamat pagi Pak, gimana keadaannya hari ini?" tanya dia ramah.

"Baik Sus, cuma lemes aja." balasku.

"Tensi dulu ya Pak." Katanya lagi sambil mempersiapkan thermometer dan alat pengukur tekanan darah juga stetoskopnya. Fatty membuka kancing kemeja rumah sakit yang kukenakan perlahan sementara aku masih berbaring sambil memandanginya bekerja. Ada rasa canggung untuk kita berdua, sementara Fatty menyibak pelan kemejaku shingga dada bidangku terlihat. Dari wajahnya terlihat ekspresi tergoda yang dia tahan sejak beberapa minggu lalu, di saat kita pertama kali bertemu. Nafasnya yang tak beraturan, juga gerakannya yang tidak cekatan seperti sebelumnya setelah melihatku telanjang dada.

"Kenapa Sus?" tanyaku sedikit menggodanya.

"Eh, ngga apa-apa Pak." jawab Fatty dengan wajah kemerahan. Sementara aku menahan geli dinginnya permukaan stetoskop saat menyentuh kulitku. "Dingin Pak?" tanya Fatty lagi.

"Dikit." Balasku pendek.

Lalu Fatty kembali membenarkan kemejaku dan mengancingkannya kembali satu persatu sambil mengelus perlahan dada bidangku. Ekspresinya tidak dapat dia sembunyikan lagi, dia terlarut dalam pesona diriku.

"Um... Sus..." aku memanggilnya, membuat Fatty tersentak kembali ke dalam kenyataan bahwa aku adalan pasien dan dia adalah seorang perawat.

"Maaf Pak. Saya kelewatan..." katanya gugup dan suaranya makin mengecil sementara tangannya kini mengatup canggung memainkan jari-jarinya.

Aku terbangun dan meraih tangannya, dia tidak bisa berbuat apa-apa sementara aku mulai menggenggam tangannya melihat jari-jari panjang putihnya dihiasi oleh sebuah cincin pertunangan. Jawaban dari segala kegelisahannya selama ini. Aku yang sudah terikat, sementara dia yang akan terikat, tapi perasaan kami tumbuh semakin besar setiap hari.

Tidak dapat kupungkiri, dalam segala penyangkalanku, penyangkalan kita berdua dengan perasaan kita masing-masing, kita saling menarik satu sama lain. Aku mencium punggung tangan Fatty, aroma mawar tercium dari tangannya begitu menenangkan. Aroma yang kurindukan dan selalu kuinginkan berada di dalam alam bawah sadarku.

Aku menarik Fatty agar mendekatiku, sementara kita berdua masih terus merasakan keanehan, kesalahan yang terlalu indah untuk dilewati. Sementara Fatty kini sudah duduk di atas kasurku, mendekati diriku, Aku membelai halus pipinya, membawanya perlahan mendekati wajahku, lalu bibir kita bertemu. Ciuman yang ke 8, entah bagaimana hal ini bisa bermula, aku dan Fatty, dalam kecanggungan, dalam ketegangan. Bibirku dan bibirnya menyatu, sementara lidahku asik bermain dengan lidahnya, giginya yang mengigit pelan bibir bawahku.

Bunyi klik menghentikan aktifitas kami, Fatty yang terkejut melompat dari kasurku, sementara aku kembali ke posisi berbaring. Ternyata hanya petugas katering rumah sakit membawakan snack pagi. Aku dan Fatty terdiam setelah petugas itu keluar tawa kami baru meledak bersamaan. Aku memandang Fatty, dan Fatty memandangku lagi.

"Aku harus pergi. Masih ada pasien lain yang menunggu." Katanya

"Pergilah." Balasku, "Aku tahu kamu akan kembali lagi, dan aku akan menunggumu di sini." Kataku lagi

Fatty mengangguk cepat, lalu menghampiriku dan mengecup pipiku perlahan lalu berjalan menuju pintu keluar di mana aku hanya bisa melihat dirinya menjauh dari diriku. 'Sampai nanti sore' kataku dalam hati lalu mengambil Koran hari itu.

Yeah, di dunia parallel ini ternyata Dan langsung di Opname, untung ada perawat cantik ya. Tapi hubungan mereka memang selalu bikin galau. Untuk chapter ini dikit dulu aja ya, perkenalan supaya ga kaget. Kalo ada yang tanya ke mana chapter 8? Biar itu jadi rahasia dulu. Keep reading folks...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Parallel LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang