Part 2

1.7K 13 0
                                    

Setelah beberapa pertemuan Aku dan Fatty makin akrab, selalu ada ritual istirahat 15 menit yang menyenangkan untuk melepas obrolan soal pelajaran menjadi obrolan casual, mulai dari hobi hingga film terbaru yang sedang diputar di bioskop.

“Kak Dan udah nonton the Hunger Games?” Kata Fatty suatu sore.

“Belum.” Jawabku “Tapi kalo bukunya sih udah baca.” kataku lagi.

“Kaka punya bukunya? Aku pinjem dong, pengen baca nih, kalo bisa sebelum nonton filmnya.” katanya.

“Download aja lagi, ada kok yang versi pdf, masukin ke iPad, jadi deh.”Kataku menjelaskan.

“Aku mau minta aja deh? Ada di laptop kan? Mau dong.” kata Fatty manja.

Kalau sudah begini, siapa yang tidak bisa mengalah dari tatapan manjanya itu. Aku keluarkan macbook milikku dan mencari file tersebut sambil meminta flashdisk milik Fatty.

“Banyak juga koleksi lagu sama bukunya, liat dong?”Fatty yang ikut memperhatikan mengambil alih laptopku ke pangkuannya, lalu asik memilih lagu dan buku-buku dari laptopku. Hingga tiba-tiba ada folder koleksi film panas yang lupa aku hide dan benar saja, Fatty ternyata mengklik folder tersebut sambil tersenyum, matanya memandang ke arahku,

“Kak Dan nakal ya.” Aku yang salah tingkah karena malu ketahuan langsung membelas kalimat Fatty,

“Eh anak kecil, apaan sih, kamu masih belum boleh liat yang kaya begituan tau.”

“Hahaha, kakak malu ya?” Fatty tertawa geli melihat kelakuanku yang salah tingkah. “Emang enak ya Kak?”

“Ihh, ni anak, dibilangin masi kecil juga. Udah kamu kerjain aja soal ini.”Kataku lagi.Masih sambil tertawa kecil Fatty mengerjakan soal matematikanya.

“Kak, aku serius loh nanyanya, kakak udah pernah sama kak Aya ya kak? Auww! Kok aku di toyor sih? Jawab dong kak!”

sambil bermalas-malasan aku menjawab pertanyaan Fatty, tampaknya sulit sekali menyimpan rahasia dari anak ini. “Belumlah.”Kataku pendek.

“Tapi kenapa kaka simpen film-film kaya tadi?” tanyanya lagi.

Aku tertawa kecil, “Yaelah, namanya juga cowo, pasti pada punya, Cuma ga pada mau ngaku aja, itu sebagian besar film yang aku dapet juga asalnya dari temen-temenku.”

“Emang iya?” Fatty terkejut mendengar jawabanku, “berarti semua cowo berengsek dong” lanjutnya lagi.

“Cowo itu kalo ga berengsek ya homo.”Jawabku sambil tertawa.

“Ihhh, jawaban apaan tuh? Yah susah banget kayanya cari cowo baik-baik sekarang.”Balas Fatty.

“Aku cowo baik-baik kali.” Kataku sambil memandangnya muridku itu.

“Apaan, nyimpem file kaya gitu?” balas Fatty cepat mengejek lagi.

“Udah deh, kerjain aja tuh soal, udah beres belum?” tanyaku membuat Fatty merengut dan kembali pada soalnya.

Sambil memeriksa soal aku memperhatikan Fatty yang gelisah, “Kenapa sih? Tegang amat dari tadi.”Tanyaku.

“Biasa aja kali kak, hanya mikir aja, kenapa cowo suka nyimpen film kaya gitu.”

“Buat pelampiasan kali.”Jawabku sekenanya sambil terus memeriksa soal. Soal matematika yang Fatty kerjakan tadi menutup lesku dengannya hari ini, setelah aku periksa dan tidak ada kesalahan akupun pamit pulang. Tapi sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari kamarnya Fatty menghentikan langkahku.

“Kak Dan.”

Aku berhenti, “Apa?”

“Kak Dan mau cium aku gak?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan Fatty tadi, sambil terus mencoba menyadarkan diri. Aku masih mencerna, apa benar kalimat itu yang Fatty tanyakan kepadaku, “bercanda kamu ah, dasar anak kecil.” Balasku.

“Aku serius kak, tapi bukan cium biasa, bukan di pipi, bukan di kening, tapi di bibir, aku pengen tau rasanya.” Kata Fatty lagi bersungguh-sungguh.

Anak ini tidak bercanda, “Kenapa ga tunggu punya pacar dulu, terus minta di cium pacar deh.” Tanyaku.

“Aduh cape deh, aku maunya sama kak Dan, aku janji ga akan bilang kak Aya. Aku Cuma penasaran banget, plisss”

Dengan bingung aku berjalan ke arah Fatty, tatapan matanya mengalahkan akal sehatku bahwa ini seharusnya tidak terjadi. Perlahan aku makin dekat dengan Fatty yang juga gelisah sambil menggigit bibir bawahnya. Aku berhenti, tangan kananku mengusap pipinya yang halus sambil menarik wajahnya mendekati wajahku, bibir kami mendekat dan tiba-tiba jarinya menempel di bibirku menghalangi bibirku untuk memangut bibirnya.

Aku kaget, “Loh, tadi katanya minta di cium?” protesku.

“Iya, tapi aku gamau ciuman yang nempel bibir terus udah.Aku mau yang sensual kak.”Jawabnya.“

Ngerti apa kamu anak kecil.” kataku lagi,

“Kakak!” seru Fatty lagi.

“Oke, oke, kataku, siap ya?”

Tangan kananku memegang pipinya lagi, menarik perlahan, memadu wajahnya ke arah wajahku yang mendekat perlahan ke arah Fatty, bibir kami mendekat dan bersatu. Sebenarnya aku tidak begitu ingat ciumanku yang pertama dengan Fatty, semua ini karena perasaanku yang berkecamuk di satu sisi aku berteriak, ‘this is wrong Dan, what do you think?’ Tapi di sisi lain aku menikmatinya. Waktu seakan berhenti, pikiran logisku kalah sudah, bibirku sudah menyentuh bibir mungil Fatty.

Sambil bibir kami berpautan, aku mulai memainkan lidahku, mencari-cari lidahnya, mengajaknya menari di dalam mulut. Sementara tanganku yang yang memegang pipinya telah bergerak memegang tengkuknya, karena yang aku tahu, di situ adalah salah satu titik rangsangan pada perempuan. Fatty mulai mendesah, dia mulai merasakan keanehan pada tubuhnya, rasa geli yang bercampur nikmat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Bibir kami masih berpangut, melahap bibir masing-masing memainkan lidah, tangaku masih memainkan tengkuk lehernya, Fatty mendesah lagi, aku lepaskan bibirku dari bibirnya, aku ingin mencoba hal ini, aku mencium lehernya sementara Fatty hanya mendesah kenikmatan, “Kak Dan..hmnhh…” aku bingung, apakah aku harus berhenti sampai di sini, tapi Fatty yang sedang menerima rangsanganku memelukku dengan erat. Aku ragu, haruskah aku mulai memegang tubuhnya yang kini sedang menekanku, bongkahan buah dada itu mau tidak mau menekan badanku dalam pelukan Fatty yang makin lama makin erat, seiring itupulalah makin terasa tonjolan payudaranya yang kutaksir seukuran 36 B sedang menekanku. Aku memindakan ciumanku dari leher ke telinga, hal ini ternyata membuat Fatty lebih terangsang kegelian. Desahan dan nafasnya yang memburu makin cepat dan tidak terkontrol lagi.Detak jantungnya yang kini bisa kurasakan berdebar makin kencang. Aku pun kembali mencium bibirnya yang mungil kembali, lalu berhenti dan memandangi Fatty, murid les privatku yang dari mukanya kini kemerahan seperti tomat memancarkan kenikmatan. Dia masih memejamkan matanya, mungkin tidak ingin rangsangan itu hilang begitu saja.

Dia membuka matanya, menatapku kembali sambil tersenyum lalu berkata,

“Terima kasih ya Kak Dan.”

Aku mengangguk pelan, “Iya, ga masalah. Heheh”

“Itu masuk kategorin apa ya yang kita lakuin tadi?“

Aku mengerutkan keningku sesaat, “kita tadi make out.”

“Owh, aku mau make out lagi sama kakak.”

Aku masih shock dan kini makin shock dengan kelakuannya.“Yang bener ah, ngaco aja.”Aku mengacak-acak rambutnya.

“Ihh, serius.”Aku melihat kesungguhan di matanya, “Tapi aku pingin lebih dari kayak tadi ya Kak Dan.”

“Boleh.” kataku sambil mengambil tasku, mencium lagi bibirnya yang disambutnya dengan biasa, lalu perlahan membisikan kalimat di telinganya, “Kalo kamu dapet 100 di lima ulangan dan lima mata pelajaran berikutnya, aku kasih kamu apa yang kamu mau.” Lalu aku meninggalkan Fatty yang tersenyum dalam kamarnya.

Hi, cerita ini gw buat 2 tahun lalu di sela-sela gabutnya kerjaan kantor. mudah-mudahan dua bab awal ini jadi pembuka yang manis. Komen, saran dan rate, selalu gw tunggu. Thanks

Parallel LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang