2. Aneh dan Keanehan

142 102 28
                                    

°°°

Jalanan ramai pada Senin pagi. Kendaraan bermotor hilir mudik menyapu lalu lintas. Orang-orang berlalu lalang di trotoar dengan tergesa. Tidak ada santai-santainya kota ini. Aku duduk termangu di halte bus, menunggu jadwal kedatangan bus menuju sekolahku.

Hari ini harusnya kulalui dengan tenang, pergi sekolah dan menjadi murid kelas 2 SMA yang penurut, lalu pulang ke rumah seperti biasa. Tapi, keanehan itu mulai menampakan kehadirannya. Siklus kehidupan baik-buruk, gelap-terang, benar dan salah siap melanda hidupku mulai hari ini.

Untuk pertama kalinya kulihat seorang gadis yang kutebak umurnya beberapa tahun lebih tua dariku. Dia melihatku dengan tatapan ahehnya. Aneh sekali hingga aku memalingkan wajahku. Gusar dengan tingkahnya yang tidak sopan menatap orang sembarangan.

Sesaat dia berdiri melangkahkan kaki persis di hadapanku lalu merogoh saku celananya. Menelpon seseorang. Hey, apa yang dia lakukan di depanku?

"Halo, Ayah. Aku butuh bantuanmu,"
ucapnya pada orang di seberang sana.

Sekarang yang kulihat dengan jelas dia tampak marah, atau mencoba menahan amarahnya.

"Ada yang bisa kubantu?" Kalimat sopan andalanku yang biasa kuucapkan pada semua orang.

"Segera yah!" bentaknya tidak sabar. Telepon ditutup.

Keheningan menyelimuti suasana pagi ini. Entah kenapa semua terasa lengang. Eh ... Ke mana perginya semua orang, di mana seliweran mobil yang beberapa detik lalu membuat bising. Jalanan seketika sepi.

"Kau ...."

Wanita itu mengacungkan telunjuk tangannya ke depan wajahku. Aku menelan ludah tak sadar. Ngeri dengan situasi ini.

"Ada yang bisa aku bantu, Nona?"
Kalimat bodoh itu keluar lagi. Bahkan sekarang tubuhku terasa kaku, kaki terasa berat untuk melangkah. Pandanganku sedikit kabur.

"Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh?"

Degh!

Aku terpaku. Tiba-tiba saja dadaku sesak, pikiranku kalut oleh perasaan tak nyaman, mataku memanas menahan buncah. Suara jeritan, Isak tangis pilu, suara gaduh yang tak kumengerti bersahut-sahutan di kepalaku. Gemetar tubuhku menahan ngilu. Perih sekali rasanya. Apa ini? Apa yang sedang terjadi?

°°°

"Bukankah sudah Ayah bilang jangan lakukan ini lagi Kiran."

"Aku tidak tahan melihatnya Yah!"

Perlahan mataku terbuka. Sayup-sayup terdengar percakapan dari luar ruangan.
Aku termangu. Mencoba mengingat-ingat kenapa aku bisa sampai ada di sini.

Hal terakhir yang kuingat adalah saat menunggu di halte bus menuju sekolah. Lalu, wanita aneh yang kulihat. Hingga di sinilah aku sekarang.

"Kita sudah pernah mencobanya, Nak, kau lihat sendiri tidak ada yang bisa dilakukan."

"Kita harus mencobanya lagi yah. Aku mohon ...."

"Mereka terlalu kuat Kiran. Kau hanya akan membahayakan dirmu sendiri."

"Anak itu bisa kita manfaatkan."

"Tidak!"

Aku tidak mengerti apa yang orang-orang di luar sana bicarakan. Sekarang yang terdengar malah Isak tangis seorang perempuan.

Pintu dibuka dari luar. Seorang pria tinggi besar memasuki ruangan yang kutinggali sekarang. Gurat wajahnya yang meneduhkan kontras dengan perawakannya yang tinggi besar.

Dia berdiri menatapku iba, seperti sedang melihat anak yatim piatu yang baru saja ditinggal pergi orang tuanya.

Kemudian disusul seorang wanita masuk sambil mengusap-usap kasar wajah. Berusaha menghapus bekas air matanya.

"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan padaku?" tanyaku cemas dengan suara parau menahan pusing.

"Perkenalkan, namaku Joseph, dan ini Kiran putriku." Dia menunjuk wanita itu. Itu dia, wanita yang pagi tadi menatapku aneh.

"Kenapa aku bisa ada di sini?" Aku menoleh ke arah wanita yang bernama Kiran itu. Dia membuang muka menghindari mataku.

"Ah, Itu, Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman, Nak. Putriku mengira kau sahabat dekatnya yang–"

"Siapa namamu?" Kiran memotong kalimat Joseph. Bertanya ketus seolah aku adalah musuh terbesarnya selama ini.

"Hentikan Kiran!" sergah Joseph

"Azri. Namaku Azri," jawabku tajam. Tidak ada lagi ekspresi anak sopan di raut wajahku saat ini.

Kiran maju beberapa langkah ke arahku. Wajahnya menampakan kebencian yang terasa semakin pekat.

Joseph mencengkram kedua lengan Kiran memaksanya untuk mundur. Namun, Kiran melawan, ia mencoba melepaskan cengkraman Joseph.

"Ayah bilang hentikan Kiran!" Joseph membentak. Namun sia-sia. Kiran seperti bertambah ingin mengintimidasiku sekejam mungkin.

"Kau pembunuh! Kau menyiksa banyak orang! Kau bahkan tidak pantas disebut sebagai manusia," ucapnya penuh amarah. Hei! Sikapnya yang sok paling benar itu membuatku juga kesal!

"Aku bukan pembunuh! Aku tidak pernah menyiksa siapa pun!" Situasi yang tidak kumengerti ditambah tuduhan menyebalkan dari wanita gila ini membuat emosiku kian memuncak.

"Dasar munafik! Kau pikir aku tidak tahu sifat aslimu hah!"

Hah! tidak bisa dipercaya. Sekarang dia bahkan mencoba menebak kepribadianku.

"Kiran!" Joseph membentak.

Kiran terperanjat. Menatap Joseph tajam dengan nafas yang menderu.

Lengang sejenak.

Aku sendiri sedang mencerna baik-baik situasi bodoh saat ini.
Tentang pembunuhan itu? Dari mana dia punya ide konyol itu menuduhku sembarangan? Apa yang membuatnya seyakin itu hingga meluapkan emosinya padaku.

"Aku melihatnya sendiri Yah. Aura gelap menjijikan itu. Aku melihatnya lagi setelah sekian lama," ujarnya dengan sedikit meredakan emosi.

Kiran balik kanan. Pergi keluar, lalu membanting pintu dengan kasar. Menyisakan kelengangan di antara aku dan Joseph.

Tunggu. Apa yang baru saja dikatakannya?

°°°

Innocence Cycle [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang