6. Siklus

119 90 47
                                    

[Ending :)]

°°°

"Ada apa kemari?" Kalimat pertama Kiran ketika melihatku berdiri di depan pintu rumahnya.

"Ada yang ingin kutanyakan," jawabku memelas di hadapan Kiran. Dia membuka pintu lebih lebar menyilakan masuk.

"Kau bolos sekolah?" tanyanya heran melihat seragam SMA yang melekat di tubuhku, dalam perjalanan mengantarku menuju ruang tamu.

"Em, iya. Hanya untuk hari ini." ucapku kaku. Dia tersenyum sinis. Meski tidak melihat ke arahku. Aku tau ekspresi wajah itu untukku.

"Tunggu di sini sebentar!" perintahnya. Dia lalu meninggalkanku duduk sendiri di ruang tamu yang cukup besar ini. Melangkah menaiki anak tangga.

Lima menit kemudian, Kiran turun disusul Joseph.

"Ah, Azri mau minum apa?" Joseph lalu melirik ke arah Kiran menyesal atas perlakuan tidak menyenangkannya terhadap tamu rumah.
Yang dilirik hanya melengos santai.

"Tidak perlu repot, Tuan. Aku ke sini bukan untuk minum. Aku ke sini—"

"Jadi namamu Azri." Suara Kiran memotong ucapanku. Benar-benar tidak sopan.

"Yah, begitulah," jawabku sekedarnya. Kiran manggut-manggut tak perduli.

"Baiklah, Nak Azri. Silakan bicara," perintah Joseph kemudian.

Aku melirik Joseph dan Kiran bergantian, mempersiapkan kalimat terbaik yang akan kuucapkan.

Baiklah. Aku siap.

"Semalam aku nekat memasuki lorong bawah tanah Ibu ...."

"Jika kau hanya ingin memberitahu keterkejutanmu tentang ritual sesat Ibumu, kami sudah tahu!" ujar Kiran yang lagi-lagi memotong kalimatku.

"Kiran." Joseph memberi kode agar putrinya ini lebih sopan terhadap tamunya.

"Sejak kapan?" Pertanyaan itu keluar, di tengah kode-kode antara anak dan ayah itu. Kalau saja situasinya lebih baik mungkin aku akan tertawa.

"Sejak lima tahun lalu, Az." Kali ini Joseph yang menjawab pertanyaanku. Aku seketika memasang wajah heran yang amat jelas meminta penjelasan lebih lanjut.

"Lewat gadis itu. Gadis yang lima tahun lalu persis duduk di tempatmu saat ini," ungkap Joseph yang semakin membuatku seperti orang bodoh tidak mengerti.

Kiran menghela nafas panjang, mencoba menahan sesak.
"Itu disaat nyawaku hampir melayang. Hm, kau tahu? Sebenarnya, sekarang aku sedikit menyesal mencampuri lagi urusannya."

Joseph menggenggam jemari putrinya. Menguatkan akan kenangan lima tahun lalu itu. Kiran menatap Ayahnya tanpa ekspresi.

"Siapkan hatimu atas apa yang akan kuceritakan ini, Az," kata Joseph meyakinkan.

Aku siap. Sejak di bus perjalanan kemari pun aku sudah memantapkan hati atas segala kebenaran yang akan kuhadapi kini.

"Kau tahu siapa nama Ibumu?" Pertanyaan Joseph itu langsung kusambar dengan gelengan kepala. Benar, aku bahkan tidak tahu hal sederhana itu.

"Kau tahu siapa ayahmu? Di mana dia sekarang? Seperti apa dia?" Lagi ... Pertanyaan sederhana yang hanya kujawab dengan gelengan kepala.

"Apakah kau ingat kenangan masa kecilmu?"...

"Aku tidak tahu!" Apa lagi yang bisa kukatakan selain kalimat bodoh itu.

Joseph menatapku lamat-lamat.

Kiran berdiri dari kursinya, dia melangkah  memasuki satu ruangan di belakang tangga.

"Ketahuilah, Azri, aku sudah menyelidikimu sejak  beberapa hari lalu." Joseph melanjutkan cerita. Aku mendengarkan tidak sabaran.

Innocence Cycle [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang