3. Innocence

124 102 23
                                    

[Enjoy :)]

°°°

Aku berdiri di atas pintu lorong bawah tanah. Sekarang pukul satu dini hari. Sudah dipastikan Ibu ada di dalam bersama "bawaannya."

Untuk pertama kalinya aku akan masuk ke dalam sana. Akan kupastikan sendiri bahwa Ibu tidak seperti yang Joseph bilang.
Tidak mungkin!

Tiga hari lalu setelah Joseph menceritakan semuanya padaku tentang sesuatu yang amat mengerikan, yang kemudian membuatku kehilangan sikap acuh yang selama ini kujaga tentang Ibu. Dan di sinilah aku sekarang, mempertaruhkan hidupku dalam lorong bawah tanah.

                               °°°

Ketika itu Joseph mengatakan, "Aku tahu ini akan sangat mengejutkanmu. Apakah kau siap mendengarnya atau tidak. Kau harus tahu, harus mengerti dengan situasi hidupmu saat ini."

"Kenapa?" tanyaku tidak sabaran.

"Baiklah!" Joseph menatapku serius telak membuat rasa penasaranku bertambah.

"Kiran dapat melihat aura gelap manusia," jawab Joseph masih dengan wajah seriusnya.

"Hah?" Aku tercengang. Apa katanya tadi? Kutahan tawaku demi sopan santun. Jika ini guyonannya atas situasi tidak menyenagkan tadi, dia berhasil. Itu lumayan lucu.

"Aura gelap itu pekat sekali, Nak. Dan tampak berbeda dari kebanyakan orang. Kiran terlalu emosi hingga dia tidak menyadarinya. Bahwa, kegelapan itu bukan milikmu. Seseorang menanamkannya padamu. Hanya orang yang mempunyai niat jahat yang tega melakukan itu." Joseph memegang tanganku, mengucapkannya dengan penuh kesedihan.

Aku masih tidak mengerti. Menurutku kalimat itu masih terasa lucu.

"Berhentilah melawak Tuan! Bagaiman bisa aku mempercayai ucapanmu? Aura gelap apa? Cih, omong kosong tidak masuk akal."

Aku menghempaskan tangan Joseph kasar. Bangkit dan bersiap meninggalkan semua omong kosong ini.

"Kalau begitu ...," ucap Joseph tiba-tiba.

Langkahku terhenti, lalu menoleh ke arah suara tepat di belakangku dengan sikap acuh tak acuh.
"Apa lagi sih!" bantiku.

Joseph menghela nafas panjang

"Sejak awal sudah kuduga akan seperti ini," ucapnya tampak kesal.

"Tunggu di sini sebentar!"

Puh ....
Aku malah disuruh menunggu. Entahlah sekarang pukul berapa. Yang pasti sudah terlambat untuk pergi ke sekolah. Dan tidak mungkin aku pulang sebelum jamnya, Ibu akan kecewa jika anaknya bolos sekolah.

Joseph kembali dengan menyerahkan potongan lembaran koran yang amat sangat kuketahui. Aku mengenali orang-orang yang dinyatakan hilang dan tidak pernah ketemu hingga sekarang. Semua nenek ramah itu. Kasus yang sampai kini belum terpecahkan polisi.

"Iya, aku mengerti," ujarku  menghela nafas panjang.

"Aku percaya ketika kau bilang tidak pernah membunuh siapa pun," kata Joseph melihatku iba.

"Tapi Ibuku punya alasan kenapa harus melakukannya." Aku menggit bibir. Pedih sekali mengakuinya.

"Jadi Ibumu yang membunuh mereka." Joseph mengambil koran-koran itu dariku.

Sejenak dia terdiam. Jika ditilik wajahnya seperti sedang menebak sesuatu. Lalu seketika tampak mendapat sebuah asumsi baru paling tepat.

"Kau tau Azri. Aku dan Kiran pernah melewati hal seperti ini sebelumnya."

Wajahnya terlihat sedih. Dia sedang menyelam ke dalam lautan memori pilu masa lalu.

"Hal seperti ini ...." gumamku atas pernyataannya. Joseph menyunggingkan sedikit bibir atas. Mencoba tersenyum.

"Saat itu lima tahun lalu. Kiran membawa seorang perempuan ke rumah, sama seperti yang dia lakukan padamu saat ini. Dia melihat aura gelap yang paling pekat yang pernah dia lihat." Dongeng itu lagi. Aku mendengarkan tanpa niat untuk memotong. Baiklah, mungkin ini akan menjadi penawar atas rasa penasaranku.

"Kau menganggap pengelihatan Kiran adalah omong kosong? Iya, itu pula yang gadis itu  tangkap ketika aku menceritakannya," lanjutnya.

"Berbanding terbalik dengan situasi hidupmu saat ini. Gadis itu membunuh banyak orang untuk alasan yang bodoh. Cih, proses penyembuhan dia bilang. Ibunya tau tapi dia membiarkan putrinya melakukan itu. Seperti melatih anjing untuk menjadi pemburu ulung."

Joseph berhenti dari ceritanya lalu menatapku lamat.

Yang aku tidak tahu ketika ini ternyata Joseph sedang melakukan sejenis terapi khusus untukku. Caranya sangat halus hingga aku tidak menyadari. Dan baru kuketahui beberap hari kemudian.

Pikiranku kalut. Aku mulai merasa muak. Benci sekali, aku membenci situasi ini. Nafasku menderu lebih cepat. Dadaku sesak. Sial ....

"Kau tidak apa-apa nak?" tanya Joseph. Dia mengulurkan segelas air putih padaku. Aku meraihnya, kutenggak air dalam sekali tegukan.

"Reaksi yang sama Nak. Itu reaksi gadis lima tahun lalu ketika dia mendengar ceritaku."

Apakah ini sejenis terapi konseling pada psikiater? Aku tidak tau. Yang kini kurasakan adalah perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh.

"Apa yang terjadi padaku? kenapa rasanya sesak sekali." Entah semenyedihkan apa aku saat ini. Yang pasti, sesuatu seolah menarik paksa untuk kutolak semua yang ada sekarang. Seolah ada dua kubu dalam diriku yang saat ini sedang saling bertentangan.

"Dengarkan aku baik-baik Nak!" Joseph menatapku tajam.

"Jika tebakanku benar. Kau dan gadis lima tahun itu memiliki Ibu yang sama," ucapnya mengejutkanku.
Hah? Ibu yang sama?

"Dan pasti orang itu telah menanamkan aura gelapnya padamu. Jika gadis lima tahun lalu dia latih untuk jadi seorang pembunuh, aku masih belum mengerti dengan situasi mu." Kalimat Joseph yang langsung tolak mentah-mentah

"Tidak mungkin!" sergahku penuh emosi. Enteng sekali dia mengucapkan itu heh!

"Aku tau Ibuku membunuh semua orang itu, tapi itu dia lakukan untuk kesembuhannya. Lagipula semua orang itu sudah tua renta yang ditinggalkan keluarganya. Tidak ada yang peduli akan kematian mereka. Setidaknya ibuku menghentikan garis hidup menyedihkan mereka!" Aku berteriak lantang pada Joseph yang kian sulit untuk mencoba meyakinkanku.

"Penyembuhannya adalah agar ia bisa lebih banyak membunuh. Tidak ada pembunuhan atas dasar penyembuhan. Sekarang jawab pertanyaanku, apa kau tau penyakit seperti apa yang diderita ibumu?" Degh!

hey, kenapa aku tidak pernah berfikir itu sebelumnya. Sebenarnya Ibu sakit apa hingga harus memakan daging manusia?

"Cuci otak Azri. Psikopat gila itu telah mencuci otakmu!" Mataku memerah terasa panas.

Bulir air terjun bebas dari mataku.

"Apa yang terjadi pada gadis itu?" Aku membesarkan hati. Kukuatkan diriku untuk bertanya hal itu. Gadis yang katanya juga anak Ibu, yang artinya adalah saudariku.

"Dia mati."

                                    °°°

Innocence Cycle [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang