1

1.7K 70 2
                                    

Warning!

Cerita ini pernah update di Comica sekitar tahun 2017-2019. Cerita yang aku update di sini adalah versi lama (versi Comica), meski ada yang aku poles dikit. Sedangkan versi barunya, update di Fizzo dan sudah jalan 10 part

Versi ini seperti gambaran sekilas, tentang cerita yang update di Fizzo. Kemungkinan setelah update di sini, cerita akan saya hapus dan bisa dibaca lengkapnya di Fizzo. Dengan versi terbaru.

Seorang lelaki memasuki sebuah bar yang sangat ramai, berbeda dengan hari biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang lelaki memasuki sebuah bar yang sangat ramai, berbeda dengan hari biasa. Lelaki itu memicing, menatap ke sekeliling dan melihat beberapa pengunjung sedang mendekat ke suatu titik. Lelaki itu penasaran, tapi enggan mendekati kerumunan itu. Dia lalu melangkah ke meja bar, di mana sang bartender sudah menatapnya.

"Rame bener. Ada acara?"

"Hai, Bro! Lama lo nggak ke sini. Iya, ada pemotretan."

Lelaki bernama Raka itu hanya mengernyit. Tumben sekali ada pemotretan di bar? Raka melihat jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Dia heran, kenapa pemtoretan masih berlangsung sampai menjelang pagi.

"Lo mau minum apa?"

Tatapan Raka kembali ke Avan—bartender di depannya. "Tequila," jawabnya dan Avan langsung menyiapkan pesanannya.

Sedangkan Raka, diam-diam mencuri pandang ke arah kerumunan yang dia tebak sebagai tempat untuk pemotretan. Dari kursi bar yang cukup tinggi, terlihat seorang model mengenakan tank top putih sedang memegang botol minuman. Raka lalu mengalihkan pandang. Melihat seorang model, membuatnya ingat dengan wanita yang dia benci.

Bukan pacar atau gebetan, tapi ibu tirinya. Ibu tiri yang membuat ibu Raka terus menerus menangis setiap malam karena sang suami memilih mendua. Raka ingat betul bagaimana tubuh berisi ibunya perlahan mengurus karena terlalu memikirkan lelaki bejat yang sayangnya adalah ayah Raka sendiri. Kini, ibu Raka telah tenang di alam sana, meninggalkan Raka yang masih memiliki perasaan kesal kepada sang ayah.

"Bro! Ngelamunin apa, sih? Tumben!"

Raka tergagap. Dia mengerjab sambil dalam hati mencoba melupakan tragedi menyakitkan seumur hidupnya dan ibunya. Raka lalu mengambil segelas tequila di depannya dan menegaknya langsung.

"Mau berburu, Ka? Tuh, banyak, tinggal pilih," ucap Avan sambil terkekeh.

"Nggak berburu gue!"

"Tumben?"

Raka tersenyum kecut. Dia ingat dengan janjinya ke Birzy—sahabat satu-satunya—jika dia tidak akan menjalani hubungan semalam dalam sebulan. Masih ingat dalam ingatan jika sekarang masih berlangsung dua minggu, masih kurang dua minggu lagi. Raka frustrasi tak bisa melampiaskan semuanya.

"Udahlah nggak usah tanya itu. Gue males jadinya."

Avan mengangkat tangan, tahu bagaimana sensitifnya Raka jika diejek. "Gue tinggal dulu, ya. Mau nyiapin minum buat mereka," pamitnya sambil menatap ke arah pemotretan.

Raka tidak menjawab, hanya memutar gelas dengan pikiran kemana-mana.

Rakarsa Setiohadi lelaki berusia 30 tahun dan seorang wakil direktur di perusahaan properti. Dia memiliki seorang sahabat yang bernama Birzy yang tak lain adalah bosnya. Raka adalah anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik perempuan bernama Rachel yang berusia 25 tahun. Sekarang, Raka tinggal sendiri di apartemen tak jauh dari tempatnya bekerja. Dia mulai meninggalkan rumah sejak ayahnya memutuskan menikah dengan model yang sekarang menjadi istri ayahnya.

Seumur hidup, Raka enggan sekali mersakan jatuh cinta. Saat SMA dia pernah mencintai seseorang dengan begitu dalam, namun gadis itu tidak menggubris sama sekali. Membuat Raka yang baru merasakan cinta menjadi patah hati dan enggan berurusan lagi dengan hal semacam itu. Apalagi sejak kedatangan ibu tirinya, Raka semakin membenci kepada wanita. Wanita di dunia yang tak dia benci hanyalah ibunya dan Rachel.

"Raka! Baby!"

Lamunan Raka putus mendengar teriakan melengking itu. Dia hendak berbalik, tapi kalah cepat dengan seseorang yang sekarang memeluknya dari belakang. Raka mencium aroma parfum yang begitu menyengat. Sekarang dia tahu siapa pelakunya.

"Mira, lepas!" ucap Raka sambil tangannya mencoba melepaskan lilitan tangan Mira.

"Gue masih kangen, Babe!"

"Iya gue tahu. Tapi lepas dulu, nggak bisa napas."

Ucapan Raka berpengaruh kepada wanita bernama Mira itu. Sekarang Mira melepaskan lilitannya, membuat Raka bisa menoleh ke belakang.

"Lo mau bikin gue mati?" tanya Raka sambil menjawil hidung Mira.

Mira tersenyum sambil mendekatkan tubuh ke Raka yang masih duduk di kursi. "Ya enggaklah babe. Mana tega bikin lo mati," ucapnya manja. "Kalau mati karena puas, sih, nggak apa-apa," lanjutnya dengan mengerling.

Raka tersenyum miring mendengar godaan itu. Dia memang terbiasa ganti teman kencan, tapi berbeda dengan Mira. Raka sering mengunjungi Mira—manager sebuah majalah. Namun, meski begitu Raka tidak mengistimewakan Mira sama sekali.

"Ke tempat biasa, yuk!" ajak Mira sambil menarik tangan Raka.

Jika biasanya Raka akan menerima ajakan itu, berbeda dengan sekarang. Dia menahan tangan Mira sambil menggeleng. "Nggak bisa."

Mira mengernyit. "Ada janji?"

"Pokoknya gue nggak bisa." Raka berbisik, sengaja menggoda Mira. Dia lalu menatap Mira sambil mengerucutkan bibir. "Tapi kalau berduaan doang, bolehlah."

"Bener? Kalau gitu ayo! Gue udah pesen ruangan!" Mira tersenyum manis. Dia menarik tangan Raka. "Gue udah nebak kalau lo ke sini. Jadi gue udah pesen duluan."

Raka mengacak rambut sebahu Mira. "Ya udah, ke sana dulu. Gue mau minum!"

"Tapi, beneran, kan?"

"Iya!"

"Oke, di ruangan tujuh." Mira berjinjit, mengecup pipi Raka sekilas lalu melenggang pergi.

Raka masih diam di posisinya sambil tersenyum miring. Lantas dia berbalik hingga kembali menghadap meja.

"Vin! Gue pesen lagi!"

***

Sepuluh menit kemudian Raka naik ke lantai atas. Lantai yang terdapat ruangan VIP. Dia berjalan dengan sedikit sempoyongan.

Raka sampai di sebuah pintu terbuka sedikit. Dia mencoba mengingat, Mira tadi memberi tahu kamar nomer berapa. "Nomor satu kali, ya?"

Kedua tangan Raka mengucek matanya lalu menatap tulisan di depan pintu, terlihat angka satu. Raka lalu memegang knop dan membukanya. Dia yakin benar.

"Mir!" panggil Raka setelah menutup pintu.

Raka memicing karena lampu ruangan lebih gelap dari biasanya. Dia menatap ke arah sofa yang kosong. Tidak mau ambil pusing, dia berbaring dan memejamkan mata.

Cekrek!

Belum sempat Raka memejamkan mata, terdengar pintu terbuka dan ada aroma lemon menguar.

Krek!!

Raka menoleh ke sumber suara hingga melihat siluet tak jauh dari tempatnya. Seorang wanita sedang menggosok rambutnya dengan handuk.

Raka menelan ludah. Sosok di depannya tidak seperti Mira. Namun, bukannya segera beranjak, dia sibuk menatap tubuh semampai itu.

"Siapa lo!" Wanita itu baru menyadari ada orang lain.

Raka tersentak. Dia menatap seorang wanita yang berdiri di sebelahnya dengan tangan terlipat di depan dada. Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena kesadarannya hanya setengah. Namun, Raka yakin, wanita di depannya pastilah cantik.

Perlahan Raka mendekat. "Hai."

"Lo siapa? Keluar!"

Raka tidak menggubris. Dia mendekat lalu memejamkan mata.

Conquering LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang