14

259 25 1
                                    

Raka menatap ke sepasang kekasih yang sedang berpelukan. Terlihat jelas keduanya sangat bahagia. Raka turut bahagia melihat Birzy dan Bevi yang sekarang berjalan ke arah panggung. Hubungan mereka naik satu level dan semakin dekat dengan gerbang pernikahan.

Tatapan Raka beralih ke karyawan lain yang turut bahagia atas lamaran bos mereka. Dia lalu berjalan ke Birzy yang sedang menggoyangkan tubuh di atas panggung. Raka melihat sesekali sahabatnya itu mencuri satu kecupan di bibir Bevi. Birzy tampak bahagia dan berbeda dari biasanya. Jika biasanya Birzy memasang wajah dingin, kini topeng itu terlepas.

"Hei!" Raka menyapa setelah berdiri di samping dua orang yang belum menyadari kehadiranya. Raka lalu mendekat dan memukul pundak Birzy. "Lo dipanggil nggak nyahut. Mentang-mentang bahagia."

Ucapan Raka dibalas pelukan erat dari sahabatnya itu. Tubuh Raka sempat terdorong ke belakang karena pelukan tiba-tiba itu. Dia lalu membalas pelukan Birzy dan menepuk punggungnya. "Apaan sih lo."

Tak lama pelukan itu terlepas. Raka melihat Birzy menarik pinggang Bevi agar ikut mendekat. Jika melihat kebahagiaan yang kini di dapat Birzym, dia turut bahagia. Dulunya sahabatnya itu tidak bisa lepas dari rasa bersalah atas kematian tunangannya.

"Gue nggak nyangka bisa di posisi ini. Itu semua karena gadis cantik ini." Birzy mencium pipi Bevi di depan Raka. Tindakannya itu membuat pipi Bevi merona.

Raka melihat keduanya yang terlihat serasi. Birzy yang terlihat dingin dan kaku, tapi sebenarnya manja dan Bevi yang terlihat kekanakan, tapi begitu kuat mentalnya. Mereka saling melengkapi.

"Lo nggak pengen cari pendamping, Ka?"

Pertanyaan dari Birzy membuat lamunan Raka terhenti. Dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan kesal. Oh ayolah, Birzy sudah tahu dia enggan berhubungan lebih dengan seorang wanita.

"Ka. Mau sampe kapan lo gini terus? Mau jadi bujang lapuk lo?"

Raka beralih menatap Bevi yang ikutan tertawa. "Baby Bavi, jangan ketawa dong."

"Kali ini aku setuju sama Birzy. Kapan kamu berubah? Jangan main wanita terus."

"Kapan-kapan. Kalau gue udah berubah kalian gue kasih tahu." Raka menanggapinya dengan bercandaan. Dia enggan membahas hal serius. Dia lalu mengulurkan tangannya ke Birzy. Sahabatnya itu menatap tangannya lalu perlahan menjabat. Raka menarik Birzy ke dalam pelukan dan menepuk pundaknya.

"Selamat atas lamaran lo." Setelah mengucapkan itu Raka beralih ke Bevi. Dia mengulurkan tangan yang langsung dibalas oleh Bevi. Raka juga memeluk Bevi sekilas. Takut lelaki di sebelah Bevi akan kebakaran jenggot.

"Selamat, Bevi. Sebentar lagi hidup lo bakal dikacauin sama sahabat gue. Hahaha." Raka terbahak karena mengerjai Birzy lagi.

"Lo jelek-jelekin gue mulu bisanya," kata Birzy.

Raka mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya sebagai tanda maaf.

***

Nera menghitung uang ratusan ribu di atas ranjang lalu memasukkannya ke amplop coklat. Dia mengangkat amplop itu. Sekarang awal bulan, waktunya Nera membayar hutang. Kali ini dia tidak bisa membayar banyak, hanya mampu lima juta.

Nera turun dari ranjang, mengambil tas di atas sofa dan memasukkan amplop itu ke tas. Setelah itu Nera keluar dari apartemennya.

Tiga puluh menit kemudian Nera sampai di restoran tempat janjian. Dia berjalan cepat ke restoran dan melihat dari kaca jija lelaki itu telah menunggunya. Nera menghela napas saat menyadari lelaki itu seorang diri tidak bersama sang istri. Itu artinya Nera harus siap-siap mendapat godaan lelaki itu.

"Sorry telat." Tanpa buang-buang waktu Nera mengeluarkan amplop yang ada di dalam tas. "Gue bayar lima juta. Jadi hutang gue tinggal dua puluh lima juta. Tatapan Nera tertuju ke Koko yang menghitung jumlah uang yang tadi diberikan. "Pas, kan?"

"Pas."

Nera tersenyum tipis dan bangkit. "Kalau gitu gue balik."

"Kenapa buru-buru? Gue lagi sendirian, loh. Nggak mau ngobrol dulu?"

Mata Nera membulat. Dikira dia suka merayu suami orang? "Nggak, makasih!" Setelah mengucapkan itu Nera beranjak pergi. Samar-samar dia mendengar lelaki itu terkekeh. Nera berjalan dengan sedikit menghentakkan kaki.

Nera keluar lalu berbelok ke arah kiri. Dua ingin jalan-jalan sebentar sekaligus mencari makan malam.  Langkahnya membawanya ke jalanan yang sedikit sepi. Seingatnya dia pernah melihat tukang nasi goreng diujung gang dekat perkampungan. Nera menoleh, tapi sejauh mata memandang tidak menemukan lapak tukang nasi goreng di sana. "Kayaknya nggak ada."

"Apanya yang nggak ada, Neng?"

Buru-buru Nera menoleh ke belakang. Seketika dia mundur melihat dua preman berbadan besar yang menatapnya dengan tatapan nakal. Nera berbalik lalu berlari.

"Brengsek!" Tangan Nera ditarik hingga tidak bisa lari lagi. Kedua preman itu menarik kedua tangannya dan menyeretnya. "Lepas! Apa yang kalian lakukan!"

"Diam saja, Nona. Kita akan bersenang-senang!"

"Tolong!"  Nera berteriak sambil memberontak. Namun, tenaga kedua preman itu jelas lebih besar darinya. Nera tidak bisa menggerakkan tangan karena cekalan lengan itu. Kedua tangannya terasa kaku karena ditekan oleh kedua preman itu. "Tolong!"

***

Raka mengemudi dengan pelan. Tangan kirinya memegang kemudi, sedangkan tangan kanannya bersandar di celah kaca mobil. Raka menatap ke arah trotar yang sepi. Lalu tatapannta tertuju ke dua lelaki besar yang tengah menyeret seseorang. Raka mengamati si wanita yang terlihat tidak asing baginya.

"Tolong!"

Raka mendengar teriakan wanita itu. Tubuhnya menegang melihat siapa wanita yang tengah diseret itu. Dia menepikan mobilnya lalu keluar dari mobil. "Kalian berdua berhenti!"

Teriakan Raka membuat ketiga orang itu menoleh. Dia melihat wajah pucat Nera. Tatapannya lalu tertuju ke dua orang yang menatapnya marah.

"Jangan ganggu kita!"

Raka menggeleng. Dia berjalan mendekati tiga orang itu. Saat tinggal beberapa langkah, satu dari preman itu maju dan melayangkan pukulannya. Raka menangkap tangan itu, lalu kakinya menendang perut preman itu.

Saat preman tersungkur, Raka menunduk. Dia mendang, memukul wajah preman itu dengan brutal. "Jangan sentuh wanita itu!"

Gerakan Raka terhenti saat belakang kemejanya tertarik. Lalu kedua tubuhnya ditahan dari belakang. Sekarang preman yang tadi dia pukul bangkit dan bersiap menyerangnya.

"Tolong!" Nera berteriak melihat Raka dikeroyok. Dia lalu berlari pergi untuk mencari pertolongan. Samar-sama, dia mendengar teriakan Raka yang membuat tubuh Nera bergetar.

Raka menyikut preman yang memeganginya dengan kedua tangan. Lalu kakinya menendang lutut preman yang memeganginya. Sekarang, Raka bebas. Dia menatap dua preman itu dan menyiapkan kuda-kuda.

"Sini lo maju satu-satu!! Jangan beraninya keroyokan!" tantang Raka. Namun yang terjadi, dua preman itu mendekatinya. Raka berusaha melawan. Beberapa kali dia sempat melayangkan pukulan. Tapi, sering juga dua preman itu menonjok mukanya. Sekarang kepala Raka terasa pening. Apalagi, setelah mencium bau anyir di bawah hidungnya.

Brak....

Satu preman yang tadi Raka lumpuhkan menarik kakinya hingga terjatuh tengkurap. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah satu preman itu menginjak tangan kanannya dengan kedua kaki.

"Aaaaa...." Raka meringis saat preman itu menendang tubuhnya lalu kembali menginjak tangannya. Matanya mulai berkunang-kunang. Dia merasa tidak kuat lagi melawan dua preman itu.

"Kalian pergi dari sini!" Samar-samar Raka mendengar suara orang berteriak lalu terdengar langkah kaki yang menjauh.

Raka merasa tubuhnya dibalik. Dia meringis saat tangannya tertindih tubuhnya sendiri. Raka mendongak, menatap wajah wanita itu yang basah karena air mata lalu semuanya gelap.

"Raka! Bangun, Ka!" Nera kembali dengan warga. Dia tadi bertemu dengan dua bapak-bapak lalu meminta tolong. Tak disangka itu adalah Pak RT dan Pak RW. Lalu mereka memanggil warga untuk membantu Nera.

Conquering LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang