"Mereka siapa, Ner?"
Raka menatap Nera yang mengepalkan kedua tangannya. Dia syok dengan blitz yang mengenainya dan makian dari Nera. Raka menoleh, arah pandangnya mengikuti Nera yang berjalan ke sofa lalu duduk bersila.
Kedua tangan Nera mengusap wajah frustrasi. Apalagi ini? Pemberitaan kemarin belum selesai, sekarang ada kekacauan lagi. Ditambah kali ini bersama Raka. Pasti lelaki itu akan tersorot media, cepat atau lambat Mira pasti akan tahu akan hal ini.
"Mira pasti marah."
Gumaman Nera terdengar oleh Raka yang duduk di sebelahnya. Raka mengenggam tangan Nera dan mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. "Semua pasti bisa diatasi."
Nera tersenyum kecut. Diatasi? Berurusan dengan pihak media tidak segampang itu mengatasi. Bila pemberitaan itu tersebar, bomm masyarakat dengan cepat mengetahui hal itu. Hinaan dan cemoohan pasti akan terjadi.
"Paparazi sialan!!" teriak Nera.
Raka melepas genggama. Dia berjalan ke pintu dan mengintip di lubang kaca. Para paparazi itu masih setia berdiri di depan pintu. Raka lalu berbalik, bersandar pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Gue nggak bisa keluar dong Ner?"
"Bisa kok. Tapi, siap-siap aja muka lo muncul di majalah sama tv."
"Gue pengen tuh wajah ganteng gue muncul."
Nera mendongak menatap Raka yang terkekeh kecil. Kekehan Raka menular ke Nera. "Ini nggak bisa dibiarin!!"
Satu alis Raka terangkat melihat Nera turun dari sofa lalu berjalan masuk. Raka melangkah mengikuti Nera. Tapi, belum sampai masuk ke kamar, Nera lebih dulu keluar. Akhirnya Raka berbalik dan mengikuti Nera yang kembali duduk di sofa.
"Halo, bagian keamanan? Tolong usir paparazi yang ada di depan apartemen saya. Ya, sekarang!"
Tut. Nera mematikan sambungan. "Tunggu beberapa menit lagi. Setelah itu lo bisa keluar."
Tak lama, terdengar suara keributan. Raka bangkit dan melihat ke lingkaran kecil. Ia melihat petugas keamanan melaksanakan tugasnya. "Mereka udah mau pergi, Ner."
Nera turun dari sofa. Dia berlari ke pintu dan mengintip. Terlihat aksi tarik menarik antara paparazi dan pihak keamanan. Nera mendengus, dia berbalik lalu menoleh ke Raka. "Mereka pasti nggak bakal menyerah."
"Tentu saja. Itu pekerjaan mereka." Raka ikut bersandar di daun pintu. Dia menoleh ke Nera yang berdiri di sebelahnya dengan raut sebal. Tangan Raka terangkat melihat jam yang melingkar. Jarum jam bergerak cepat, saat ini sudah hampir jam setengah delapan. Tatapan Raka lalu tertuju ke Nera yang masih diam di posisinya. Dia mendekat dan mencium pipi Nera lembut. "Nggak usah kesel gitu. Itu risikonya, kan?"
Nera mengangguk. Memang benar sih ini resikonya, tapi tetap saja ia kesal. "Sorry hidup lo pasti nggak aman lagi gara-gara mereka."
Tangan Raka terangkat, mengusap rambut Nera, lalu merapikan anak rambut ke belakang telinga. "Nggak usah khawatir. Selama mereka nggak bertindak kriminal, gue biasa aja."
Nera tersentuh dengan usapan tangan Raka. Oh baru kali ini ada lelaki yang menenangkannya. Nera mendekat lalu memeluk Raka erat. "Makasih, ya."
Kedua tangan Raka membalas pelukan Nera. Dia mencium puncak kepala Nera dalam, menghirup aroma lemon yang dia sukai. Raka lalu melepas pelukan. Ah kalau tak ingat ada kerjaan, sudah pasti tak akan mau lepas dari pelukan Nera. "Sama-sama, Sayang."
Raka berbalik, membuka pintu apartemen dan melihat suasana di luar. Dia mendesah lega melihat suasana apartemen kembali tenang. Raka menoleh ke belakang. "Gue balik dulu, ya. Nanti malem lo keberatan kalau gue kesini?"
Satu alis Nera terangkat. Apa lelaki itu tidak salah? Tumben sekali menayakan keberatan tidaknya. Mau tak mau hal itu membuat hati Nera perlahan menghangat. Dia lalu mengangguk dengan seulas senyum.
"Oke. Nanti malem gue ke sini. Jaga diri, Sayang." Setelah itu Raka keluar dari apartemen Nera.
Selepas kepergian Raka, Nera menyandarkan tubuh. Ada apa dengan dirinya? Mengapa sejak Raka meminjamkan pundaknya dia jadi merasa 'terbawa perasaan'?
"Gue baru pertama kali digituin. Jadi, wajar kalau gue seneng." Nera lalu berjalan masuk ke kamar.
***
Di sebuah kantor, seorang wanita membaca pemberitaan salah satu modelnya dalam sebuah majalah. Dia melihat model bawaannya tengah menampar seorang wanita. Tak begitu jelas wajah wanita itu, karena diambil dari samping dan tertutup oleh rambut.
"Nera! Tumben banget sih lo bikin ulah!" Mira menutup majalah itu dengan kasar. Tatapannya sekarang tertuju ke Eca dan Joy--manager Nera. "Kalian nggak tahu waktu kejadian itu?"
"Nggak tahu. Saat itu sepulang dari pemotretan. Nera sempat bilang ke saya kalau ingin mencari makan malam. Hanya itu," cerita Eca.
Tatapan Mira lalu tertuju ke Joy, wanita berambut pirang. "Lalu lo, Joy?"
Joy menggeleng. "Saya dua hari ini belum bertemu Nera."
Brak!
Mira memukul meja. "Bagaimana bisa lo dua hari nggak ketemu Nera? Gue sering bilang, temui sebanyak mungkin model lo! Apalagi Nera. Kariernya lagi bagus. Karena pemberitaan ini, namanya jadi tercoreng."
Tatapan Mira tertuju ke Joy yang hanya menunduk. Dia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, tak tahu lagi harus berbuat apa. Membayar pihak media agar menutup berita bukan perkara mudah, apalagi mereka meminta bayaran yang tak sedikit.
"Ya sudah, kalian boleh pergi. Gue minta kalian jaga Nera. Jangan sampai hal ini terulang lagi." Mira mengurut pelipisnya dengan jari telunjuk dan ibu jari.
Jauh di dalam hatinya, Mira sudah menganggap Nera sebagai adiknya. Dulu dia yang menemukan Nera dengan penampilan lusuh tengah menjajakan kue kering di pinggir jalan. Mira yang melihat ada potensi tersembunyi, akhirnya mengajak Nera. Menyekolahkan ke dunia modeling lalu memberi pekerjaan Nera. Mira tahu, Nera sangat membutuhkan uang cepat.
***
Nera duduk di depan tv sambil menggonta-ganti chanel. Dia sedang mencari berita terbaru tentang dirinya. Apakah, berita kejadian tadi pagi sudah tersebar luas atau belum.
Drtt!!
Ponsel di sebelah Nera bergetar. Dia mengambil ponselnya tanpa mengalihkan pandang dari layar televisi. Nera melihat nama 'pangeran Raka' di sana. "Hemm."
"Kok jawabnya gitu?"
Nera diam saja. Tadi sempat berpikiran akan menjauh dari Raka. Tapi, tadi pagi dia sudah mengiakan saat Raka ingin berkunjung lagi nanti malam. Nera menghela napas berat. Mungkin nanti malam akan menjadi malam terakhir dia berdekatan dengan Raka.
"Nera lo dengar suara gue nggak, sih?"
Teriakan Raka membuat Nera kembali ke alam nyata. "Ka! Gue masih sibuk nih. Udah dulu ya."
"Oh gitu. Oke. Nanti malem gue ke tempat lo."
"Hem." Nera memutuskan sambungan terlebih dahulu. Dia kembali meletakkan ponsel di sebelahnya. Nera lalu menarik bantal sofa dan memeluknya erat. Kenapa dia jadi bimbang? Kenapa dia jadi takut berjauhan dengan Raka? Padahal, selama ini lelaki itu yang selalu mengusik kehidupannya. Seharusnya Nera senang bisa berjauhan dengan Raka.
Raka milik Mira. Nera tidak ingin hubungannya dengan Mira menjauh karena Raka. Sebenarnya hubungan Nera dan Mira akhir-akhir ini semakin menjauh. Nera tidak lagi merasakan bagaimana memiliki seorang kakak perempuan. Sejak kariernya melejit, Mira lebih bertindak sebagai atasan. Menyuruhnya seenak hati layaknya Nera seorang boneka. Tapi itu wajar, mengingat Miralah yang membuat Nera menjadi terkenal.
Drtt....
Ponsel Nera kembali bergetar. Nera menoleh, tubuhnya kaku melihat nama Mira muncul. Dia merasa ada hal buruk yang akan di sampaikan Mira. Nera mengambil ponsel, menggeser layar hijau lalu menganggat panggilan itu.
"NERA! APA YANG LO LAKUIN SAMA RAKA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Conquering Love
عاطفيةRakarsa Setiohadi hanya menghormati dua wanita dalam hidupnya, yaitu mama dan adiknya. Dia ingin terus hidup melajang dan hidup santai tanpa repot-repot berkomitmen. Akankah Raka bisa menjalani hidup sesuai keinginannya? Sedangkan ada wanita bernama...