9

328 34 2
                                    

Kedua tangan Raka tak hentinya bergerak mengusap pundak yang terus bergerak itu. Sesekali dia membisikan ke telinga wanita itu agar berhenti menangis. Raka masih tidak menyangka hal ini akan terjadi. Dia berpikir Nera akan memarahinya, tapi malah menangis kencang.

Raka sempat heran saat Nera membuka pintu dengan mata dan hidung merah. Wajar saat itu dia menanyakan apakah Nera habis menangis. Namun, yang tidak bisa dia tebak adalah Nera malah menangis makin kencang. Dia sempat bingung harus menenangkan Nera dengan cara seperti apa. Jadilah, dia hanya memeluk, seperti yang dilakukan ke Rachel saat menangis.

"Sstt. Tenang Nera."

Raka menunduk, melihat wanita itu masih terisak dengan air mata yang perlahan keluar membasahi pipi. Raka sedikit mengurai pelukan, melingkarkan kedua tangan di bawah kaki Nera lalu menarik ke dalam gendongannya. Dia berjalan menuju sofa, duduk di sana dengan Nera di atas pangkuan. "Kenapa nangis?"

Nera menggeleng. Tieak mungkin dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada lelaki yang baru  dikenal. "Nggak apa-apa."

Wanita dengan jurus ampuh 'nggak apa-apa'. Dari dulu Raka tidak suka jika ada wanita yang menjawab seperti itu. Padahal, makna dibalik itu semua ada hal yang tengah dipendam. Tapi biarlah, Nera sudah pasti tidak mau menceritakan.

Tangan Raka terulur ke pipi Nera.

"Udah nggak usah." Nera sambil menjauhkan kedua tangan Raka dari pipinya.

Perlahan Nera menyandarkan kepala di pundak Raka. Dia sedang butuh sandaran. Nera memejamkan mata, baru kali ada yang menghapus air matanya. Kedua orangtuanya maupun abangnya dulu tidak pernah seperti itu.

Raka mengusap puncak kepala Nera. Malam ini, dia mendapati kenyataan baru. Nera si keras kepala ternyata bisa lemah dan menangis. Raka mendekatkan bibir ke kening Nera dan mengecupnya lembut. Itu yang biasa dia lakukan saat Rachel habis menangis.

Mata Nera terpejam, merasa ada orang yang peduli dengannya. Yah meski hanya memeluk dan mengecup keningnya, tapi semua lebih dari cukup. Perlahan tangan Nera terangkat, melingkarkan tangannya di lengan Raka dan menarik agar merapatkan pelukan.

"Lo butuh istirahat?" Raka menyandarkan kepala di puncak kepala Nera. Dia menghidu aroma lemon yang menguar dari rambut Nera.

Dalam pelukan Raka, Nera diam tidak menjawab. Tubuhnya terasa lelah dan matanya terasa berat. Hari ini begitu berat bagi Nera, mungkin ini saatnya menutup hari kelam dengan pergi ke alam mimpi. Tak lama, Nera terlelap dalam dekapan Raka.

***

Drrrt....

Suara itu membangunkan seseorang yang terlelap di ranjang. Perlahan kelopak matanya bergerak dan terbuka.

Nera menatap ke sekeliling, menyadari dirinya sekarang ada di kamar. Dia lalu membenarkan posisi berbaringnya dan kembali untuk melanjutkan tidur. Tapi, belum sempat kembali terlelap, Nera mendengar suara ponselnya lagi.

"Ahh!! Siapa sih!" Nera bangkit dari ranjang, mencari benda persegi yang masih saja bersuara itu. Hingga tatapannya tertuju ke tas putih yang berada di ujung ranjang. Nera menggapai tas putih itu lalu membukanya.

"Halo Mir!" ucap Nera setelah menjawab panggilan.

"Nera!! Apa yang lo perbuat!"

Nera mengernyit. "Maksudnya apa? Gue nggak ngerti."

"Ner! Selama ini lo nggak pernah bikin ulah. Tapi, berita pagi ini bikin gue nggak percaya! Ngapain lo ngampar orang? Kalian ada masalah?"

Kepingan ingatan kejadian semalam mulai tersambung. Nera buru-buru bangkit, ingat dengan wartawan yang membidikkan kamera saat bertengkar dengan Laura. "Ada berita gue? Yang bener lo?"

"Mending lo sekarang buka sosmed!"

"Oke-oke. Gue bakal lihat."

"Lo hari ini nggak ada jadwal, kan?"

Nera mengambil tasnya, membuka buku kecil yang berisi jadwal pemotretan. "Nggak ada. Kenapa?"

"Lo di apartemen aja nggak usah ke mana-mana. Gue takut wartawan banyak yang nyari lo."

Nera mendesah. Ucapan Mira ada benarnya. "Ya, gue bakal di apartemen."

"Oke. Nanti gue telepon lagi." Setelah itu sambungan terputus.

Nera mengacak rambutnya frustrasi. Mengapa jadi seperti ini? Dia tidak menyesal semalam menampar Laura. Tapi, dia kesal karena ada wartawan yang meliput kejadian itu. Nera turun dari ranjang dan menuju ruang tamu.

Nera seketika berhenti saat tatapannya tertuju ke sofa. Di sana ada lelaki tidur dengan posisi miring dengan kedua kaki meringkuk. Nera menatap wajah lelah Raka. Perlahan ingatan saat Raka mendatangi apartemennya muncul.

Nera berjalan sepelan mungkin mendekati lelaki itu. Dia mengamati lelaki yang sudah meminjamkan pundak untuknya. "Makasih."

"Sial!!" Nera memaki kala ingat apa yang membuatnya menangis.

"Kenapa?"

Makian Nera membuat Raka seketika terbangun. Dia mendongak, melihat Nera yang buru-buru duduk di sofa. Raka bangun dari posisi tak nyamannya. Dia mengerakkan otot leher yang terasa kaku dan memijit pundaknya.

"Bukan apa-apa," jawab Nera ketus. Perlahan dia menoleh, melihat lelaki itu menatapnya intens. "Ngapain liat-liat?"

Raka menggeleng. Nera pagi ini cukup kacau dengan rambut berantakan dan mata bengkak. Tapi, itu lebih baik dari kondisi Nera yang kemarin. Saat ini Nera terlihat lebih kuat. "Lo udah baikan?"

Tatapan Nera tertuju ke lantai di bawahnya. Tentu tahu apa maksud dari pertanyaan Raka. Tapi, kembali lagi, dia tieak ingin ada lelaki yang tahu dia terpuruk. Nera lalu menatap Raka dengan senyum sinis. "Emang gue kenapa? Gue baik-baik saja. Kejadian semalam anggap lo nggak liat gue yang kayak gitu."

Raka tak tahu apa yang ada di pikiran Nera. Salahkah dia menanyakan keadaan Nera? Tapi, sepertinya wanita itu tidak mau membahas kejadian semalam. Sebenarnya tidak begitu penting bagi Raka, setiap orang memiliki privasi. "Nggak masalah."

Nera tersenyum puas. Untung kemarin yang datang lelaki, coba kalau perempuan. Pasti bibir mereka gatal ingin mengorek informasi lebih. Nera lalu berdiri, berjalan ke pintu apartemen dan membukanya. "Mending sekarang lo balik. Gue ada urusan."

Satu alis Raka terangkat. Apa dia sedang diusir? Oh ayolah, seorang Raka diusir oleh wanita? Hanya Alnera Maharani yang bisa melakukan ini semua. Raka melirik jam tangan di pergelangan tanganya, hampir pukul tujuh. Raka mendesah, mau tidak mau harus pergi. Raka lalu berdiri dan berjalan mendekati Nera.

Nera mendongak, menatap lelaki yang malah berdiri di hadapannya. Bibirnya terbuka hendak mengusir, tapi yang didapatkan adalah ciuman. Nera berontak, mendorong dada Raka tapi kedua tangannya ditahan oleh satu tangan Raka.

"Gue pengen lebih, tapi harus kerja," bisik Raka setelah melepas ciumannya. "Nanti malem gue ke sini."

"Nggak! Lo nggak perlu ke sini lagi."

Raka tersenyum miring lalu menunduk. Dia menatap Nera yang tampak waspada, tapi tetap tidak beranjak. Lantas, dia mencium wanita itu.

Blitz!

Raka dan Nera segera melepas ciuman mereka. Mereka menoleh, mendapati beberapa kamera yang mengabadikan momen keduanya.

"Brengsek!"

Brak!

Conquering LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang