9. Muncul Lagi Makhluk Abnormal

16.7K 1.3K 32
                                    

Suasana hening di saat makan di pagi hari ini bukanlah sesuatu yang normal bagi keluarga Brama. Kepala keluarga mereka yang berangkat kerja lebih awal sejam, Ibu yang tengah memandangi kedua anaknya, anak sulung yang ternyata sedang menatap sang adik, dan sang adik yang sedari tadi hanya terdiam sambil mengaduk-ngaduk sup ayam yang menjadi menu sarapan mereka.

“Kamu kenapa, Kusuma?” akhirnya sang Ibu membuka suara, membuat si bungsu mengalihkan pandangannya dari sup ayamnya. “Kenapa dari tadi tidak dimakan supnya? Kak Bayu saja sampai bingung ngelihatinnya.”

Kak Bayu mengangkat alisnya sebelum menghela nafas. “Aku gak bingung ngeliat dia kayak gitu kok, Ma. Palingan dia adalah masalah di sekolah,” jawab Kak Bayu dengan tatapan polos ke Kusuma, membuat Kusuma mendengus melihatnya. “Iya kan, Kus?”

“Sok tau banget sih jadi orang, Kak,” balas Kusuma datar sebelum akhirnya menyendokkan sup ayam itu ke dalam mulutnya. Rasa sup tersebut sempurna seperti biasanya. Dia menoleh ke arah ibunya sebelum tersenyum tipis. “Kusuma enggak kenapa-napa kok, Ma.”

“Terus kenapa kamu diam saja dari tadi? Terus juga perilaku kamu rada aneh setelah pulang menginap dari rumah teman kamu.”

Dan Kusuma pun kembali terdiam. Ia menarik nafasnya. “Enggak kenapa-napa. Cuma ada beberapa masalah di Klub Jurnalistik yang bikin kepikiran. Seperti kenapa Ketua Klub akhir-akhir ini jadi terkesan linglung,” ia tersenyum lemah. Kusuma tidak pernah kuat berbohong dengan ibunya, tetapi itu tidak berarti ia tidak pernah berbohong. “Dan yah, mungkin selebihnya karena kelelahan aja.”

“Oh begitu.” Kusuma yakin, meski nada suara ibunya terdengar final—itu bukanlah akhir dari rasa curiga ibunya. Tapi Kusuma membiarkannya, dia kini menatap kakaknya.

“Anterin gue ke sekolah, Kak. Sekarang.”

“Seenaknya aja lo nyuruh-nyuruh gue." Kak Bayu menjulurkan lidahnya meledek. Tapi ketika ia sadar Kusuma tidak bereaksi apa-apa terhadapnya, dia pun menatap adiknya dengan tatapan lembut. “Baiklah baiklah, gue anter. Kalau mau sekalian gue jemput nanti pulangnya. Jam berapa lo balik?”

“Gak usah. Biar gue pulang sendiri aja,” kata Kusuma, beranjak bangkit dari meja makan kemudian mengambil tasnya yang terkapar di lantai sedari tadi. Dia lalu mencium punggung tangan ibunya sebelum bergegas menuju ruang keluarga. “Lo lebih baik nyusun materi buat skripsi lo.”

“Itu tinggal gue edit doang, Dek. Sama mungkin beberapa tambahan di semester terakhir gue,” jawab Kak Bayu sambil berusaha mengejar Kusuma dan menahan bahunya. Jadilah Kusuma kini menatap Kak Bayu tepat di matanya—karena Kak Bayu menyamakan tinggi badannya dengan tinggi badan Kusuma. “Lo harus tahu kalau gue selalu khawatir soal diri lo, Kusuma. Gue sayang sama lo, karena lo satu-satunya sahabat gue yang bener-bener bisa gue percaya.”

Mendengarnya saja membuat bahu Kusuma terasa semakin berat dan gontai, tetapi Kusuma menutupinya dengan senyum tipis. “Gue juga sayang sama lo Kak. Maka dari itu gue juga khawatir soal skripsi lo,” kemudian Kusuma meninju bahu Kak Bayu dengan main-main. “Kita berangkat sekarang ke sekolah gue, oke?! Lama-lama gue telat juga nih kalau lo terus-terusan ngomong kalau lo sayang sama gue dan gue sayang sama lo.”

Meski hati Kusuma masih terasa sama buruknya seperti tadi, tapi setidaknya sepanjang perjalanan ia dan Kak Bayu saling mengobrol akrab satu sama lain dan membuat Kusuma sadar bahwa setidaknya Kak Bayu selalu ada di sisinya sebagai sosok sahabat terbaik di kehidupannya.

“Dek.”

“Iya?!”

“Lo pengen kenalan enggak sama pacar gue yang sekarang?” tawar Kak Bayu sambil meringis kecil. Kusuma menatap bingung kakaknya sebelum sadar kemana arah topik ini akan menuju. “Tapi kalau lo gak mau gue juga gak maksa kok.”

Class President and Our Chaoses [BoyxBoy]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang