Bab 12.Rindu dan Kenyataan pahit

140 26 0
                                    


"Kesalahan terbesarku adalah tak bisa menerima merka yang datang dengan penuh cinta, dan justru bertahan serta semakin jauh tenggelam dalam rasa mencintaimu."

***

Hari ini adalah jadwal Ning Zulfa konsultasi. Semua berjalan lancar, aku berhasil meredam rindu kepada Gus Fa. Aku di buat haru dengan kenyataan Ning Zulfa yang begitu terobsesi akan hadirnya anak. Mendengar Kisah dari bu Sundari Ning Zulfa ini berkali kali hamil lalu keguguran. Aku paham betul bagaimana perasaan Ning Zulfa.

Khayalku melambung tinggi. Ada kalanya lelaki merasa bosan terhadap istrinya, terlebih istrinya belum bisa mewujudkan keinginan suaminya yang memiliki keturunan. Jelas, Gus Fa akan melewati fase itu, tapi bagaimana psikologis istrinya? Bukankah jiwanya juga akan tergoncang hebat? Lalu dari mana bisanya keturunan itu hadir? Aku tahu kehadiranku menganggu, aku paham tatapannya masih sama seperti dulu ia menatapku kala di hukum hafalan di depan ndalem.

Tahu kah Gus, aku mencintaimu tapi juga mengharap Ridho-Nya. Bagaimana Umi Abah dan seluruh pengasuh pondok pesantren meridhoi ilmu yang kudapat di sana jika santrinya ini menganggu rumah tangga Gus nya? Menjadi Duri dalam taman surgawi?

"Kenapa aku mencintainya ya Allah?" Aku menangis, menjerit. Membiarkan segalanya luruh bersama air mata. Setidaknya besok aku harus sok kuat, sok bahagia memeriksa perkembangan Ning Zulfa dan tertawa geli melihat perhatianmu kepada istrimu Gus.

Semua keluh kesah ku lampiaskan pada film-film sedih, film-film cinta tak terbalaskan. Agar aku bisa merasa lebih beruntung. Jahat memang jika aku menuruti kemauan hati, jika tidak? Bukankah aku yang akan di bunuh oleh rindu?

Suatu peristiwa bisa jadi merupakan pendahuluan, atau akibat dari peristiwa yang lain. Apalagi perihal peristiwa rinduku yang memburu. Heum, Rindu yang tiada akhir dan selalu saja hadir. Obat rindu paling mujarab adalah temu. Dan aku tak bisa untuk itu. Aku tau posisi, sadar diri, sadar aku hanyalah seorang santri. Tapi walau bagaimanapun Rindunya sang perindu tidak mereda jika hanya diucapkan dengan kata rindu. Aku sudah jatuh . Lihatlah, bukankah dia begitu utuh? Entah mengapa aku merindukan tatapannya di klinik waktu itu, merindukan suaranya memanggilku "Nduk" Dan merindukan aroma tubuhnya yang menguar di seluruh ruangan.

Ah.... Para empu bisa membuatkan sebilah pusaka untuk para raja. Bisakah para empu membuatkan aku sebilah pusaka menghapus rasa?

Aku tersenyum menghadap atap kamar, merasai kekonyolanku barusan.

Buciners. Id

"Nduk, besok Zulfa ngajak ke klinik. Dia telat menstruasi." Kalimat itu diikuti sebuah foto yang begitu familiar.

Iya, sebuah testpack bergaris dua namun yang satu sangat samar. Aku terhuyung dalam nestapa. Lengkap sudah kebahagiaan mereka, malah aku yang semakin hancur berkeping. Aku membalas pesan nya dengan kalimat hamdalah dan emotikon senyum.

Merasai ulu hatiku begitu nyeri ketika membayangkan mimik wajahnya saat mengetahui testpack bergaris dua itu. Aku yakin, Gus Fa pasti akan memeluk erat istrinya, akan menjaga istrinya dengan seksama. Dan aku harus menjadi garda terdepan dalam menanggani kehamilan istrinya.

"Ya Allah, beginilah perasaan Dyah pitaloka saat cintanya kepada Hayam Wuruk kandas? Bolehkah aku meminjam pusaka patremnya untuk bunuh diri berserta rasa yang ku bawa? Aku benar benar hancur."

Aku menangis semalaman, tirakat ku, doaku, seakan tiada artinya lagi. Sekuat tenaga ku curahkan untuk mengumpulkan mental menghadapi hari esok. Ternyata menguatkan mental sebelum orang lain mengusik itu justru menjadi kekuatan. Aku terlelap dalam tangis.

***

"Ih mas gak usah alay, aku gak papa duduk dikursi aja. Malu mas."

Sepasang suami istri ini romantis sekali, bahkan mengantri saja Gus Fa menawarkan pangkuannya. Aku memanggil nomor urut selanjutnya.

Gus FaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang