Bab 8. Mundurnya siklus datang bulan.

159 26 0
                                    


Prov. Zulfa
“Yang tidak aku suka dari dunia ini adalah. Aku di tuntut baik-baik saja apapun keadaanya.”
***
Tujuh tahun sudah usia pernikahanku, setiap hari ku selalu mengimpikan mundurnya siklus menstruasi di sertai tanda-tanda kehamilan. Aku selalu mengingat di mana Mas Fahmi meninak bobokkan ku dengan melantunkan ayat Al-Quran, menemaniku begadang sambil mengelus lembut perutku, kadang menempelkan telinganya pada perutku yang kian membuncit, menciumi nya sampai aku risih. Sudah tiga kali ini aku keguguran, dengan keadaan separuh uterus (kelainan reproduksi) aku sulit mempertahankan kehamilan. Jiwa seorang istri mana yang tidak ingin menjadi ibu? Istri mana yang menolak memberikan keturunan? Aku geram mendengar para wanita di panggil ibu, aku sedih melihat para wanita mengandeng putra putrinya di pasar. Hatiku teriris yang pada kenyataannya, Mas Fahmi sama sekali tak membebaniku perihal keturunan.
"Anakmu mana?"
Pertanyaan semacam itu seakan menjadi pisau sembilu yang menyanyat hatiku. Ingin ku garuk wajah si penanya siapun itu. Tapi aku harus bisa menjaga marwahku sebagai seorang istri dari Gus Fahmi Iskandar, menantu dari Bu nyai Hj. Musyarofah dan Kyai H. Abdul Aziz Pengasuh Pondok Pesantren Darussyafaah.
Mas Fahmi dan keluargaku pun pernah merencakan inseminasi. Aku setuju, namun keadaan ovarium ku yang sulit di kendalikan. Hingga pembuahan pun terbengkalai. Aku hampir putus asa, dan Mas Fahmi selalu memberi pasokan positif agar aku terus berusaha bersamanya.
Hari berganti hari, kulepaskan mukena lalu terjun pada pelukan yang menjadi objek kecanduan. Mas Fahmi benar-benar mencintaiku, detak jantungnya selalu berdetak kencang saat melakukan adengan ini.
"Mas kau mencintaiku tidak?"
Hanya sunyi.
"Mas kau mencintaiku tidak?" Tak ada jawaban, namun Mas Fahmi mengecup keningku lembut. Semenjak Umi meninggal dan mengetahui bahwa Mas Fauzan-kakaknya. Bukan anak kandung Umi, dia menjadi kecewa. Barangkali kebersamaannya selama ini dengan Mas Fauzan amat memberikan kesan istimewa dalam hidupnya. Terlebih menghadapi kenyataan bahwa aku yang keguguran berulang kali.
"Mas, apakah kau tetap akan mencintaiku walau kelak aku tidak memberimu keturunan?" Lagi lagi mas Fahmi diam dan semakin erat merengkuh ku dalam dekapan. Aku bangkit.
"Ih mas ini, aku tanya serius!" Mas Fahmi hanya mengangguk,lalu menyeretku dalam dekapan. Aku senang walau hanya dengan sekali anggukan, tapi hatiku yang lain merasai perih yang menjalar.
"Mas tidak kah kah sebaiknya menikah lagi?"
Aku tak tahu kenapa ucapanku lolos begitu saja, mas Fahmi memandangku dengan tatapan yang tak ku mengerti.
"Aku hanya mencintaimu sayang!" Lalu menghujaniku dengan ciuman. Aku tak menolak, namun juga tak membalas.
"Tapi Mas, bukankah pesantren juga mengidamkan Gus kecil? Begitupun Abah yang mengkhayal kan bermain dengan cucunya? Mas adalah satu-satunya pemegang tahta."
"Meneruskan pesantren harus dengan keturunan sedarah itu bentuk kesombongan sayang, yang kita butuhkan siapa yang akan meneruskan menghidupkan obor islam bukan menjayakan kerajaan. Tapi pendapatmu benar juga, islam memperbolehkan menikah hingga empat kali kan? Boleh juga kalau disaranin poligami!"
Aku tersentak dengan kalimat terakhirnya. Tubuhku bergetar hebat menanyakan calon istri seperti apa yang di inginkan nya.
"Yang sholihah, cantik, sabar. Dan aku ingin berpoligami 4. Bolehkan?" Wajahnya mengiba. Sinar matanya berkaca-kaca. Ngelunjak sekali lelaki ku ini. Aku menyesal mengizinkannya berpoligami.
"Yang pertama jelas kamu kan. Yang kedua Sadira, yang ketiga Afsheen lalu yang terakhir Shatara yah." Dia mengedipkan mata menggodaku. Jelas saja, itu namaku. Bantal merah muda di tanganku ku lempar ke wajahnya. Biar saja, siapa suruh menggodaku.

Namaku Sadira Afsheen Shatara, di panggil Zulfa. Memang menimbulkan pertanyaan, tapi ini kenyataan. Sewaktu aku kecil aku slalu di sakit dan ayah dari mendiang kakek ku memberi saran untuk mengubah nama panggilanku saja. Jadilah Zulfa awwalina! Yang berarti awal kedudukan, mbah buyutku itu berharap aku menduduki kedudukan paling utama.
"Mana mungkin aku bisa poligami sayang, kamu saja sudah begitu mengairahkan." Lalu dia menarikku dalam dekapan, menghapus jarak hingga aku bisa merasai harum napasnya. Sesaat kemudian dia memanggutku beberapa kali, dan aku tertarik untuk membalasnya. Dia membawaku dalam nikmat memadu cinta kesekian kalinya. Sepertinya malam ini suamiku ini begitu panas.
"Sayang dengar dengar di jogja ada dokter kandungan ahli. Kita coba ikutan promil yuk, barangkali jodoh."
"Iya mas, tapi jangan mengendus ngendus pipiku gitu dong geli tau." Aku mencoba menghindar.  Mas Fahmi terbahak lalu mengunciku dalam tatapan cinta, membuatku di mabuk asmara. Membawaku pada ibadah ternyaman disisi nya. Lelakiku ini memang sangat baik. Aku beruntung bisa di cintainya dengan tulus.
"Sayang, kamu cantik. Cantik sekali."
Aku tersipu lalu tenggelam pada dadanya yang bidang.
"Sayang,aroma tubuhmu selalu khas dan selalu membuat mas tambah sayang"
Aku membungkam bibirnya dengan ciuman agar tak mengoceh lagi. Bisa bisa aku salting gara gara ucapan manisnya. Dia merengkuhku lebih erat, seakan enggan terlepaskan. Terimakasih mas telah mencintaiku dengan sangat sempurna.
Pagi harinya aku menganti bed over yang masih beraroma bayfresh. Mas Fahmi menyukai aroma parfumku, hingga inisiatif menyemprotkan nya ke seluruh ruangan adalah alternatifku agar dia selalu mengingatku. Mas Fahmi selalu terpana melihatku bersolek, selalu tersenyum ramah ketika aku kesulitan memasang softlens, juga selalu tertawa riang kala alisku tebal sebelah. Dialah yang akan membersihkan rasanya wajahku yang masih amatiran. Setiap kali aku menggerutu ini itu, dia selalu hadir bak malaikat penyelamat. Dia selalu hadir menciptakan suasana nyaman yang membuatku lupa akan keluh kesahku.
Pernah aku marah-marah hanya karena melihatnya pulang mengajar dengan wajah sumringah, aku juga pernah berceloteh ini itu saat melihatnya lama bercermin dan tak puas-puas menyisir rambutnya, seperti pria lajang yang akan bertemu kekasihnya di luar sana.
Tapi di waktu yang sama pula Mas Fahmi seakan tahu jalan pikiranku, dia meluruhkan segala amarah dengan kecupan, dengan kata-kata yang membuatku luruh seketika. Seperti waktu itu, dia pernah membuatku menunggu begitu lama di mobil. Jelas, sekembalinya aku mengomel ini itu. Menuduhnya macam-macam, tapi dia hanya tersenyum lalu berkata mencari ATM. Tak ayal aku masih bersiteguh memarahinya, bukannya memarahiku balik dia malah mengenggam jemariku, memberiku bunga yang entah ia petik dimana.
"Kalau mobilnya kehabisan bahan bakar tega nyuruh aku dorong?" Aku diam menatap bunga pemberiannya.
"Sayang, aku cuman ke kamar mandi lalu ingat bensin nya mau habis, sekalian cari ATM deh. Kan kamu tau aku jarang pegang uang cas."
Memang, Mas Fahmi jarang sekali memiliki uang chas. Sewaktu ku tanya dia bilang demi kedisiplinan agar tidak boros. Sebenarnya aku tau saat itu dia menyindir ku. Tapi kubiarkan saja, dan berlalu.
"Sayang, udah dong jangan cemberut terus. Aku sosor kapok loh." Segera kututup mulutku dengan kedua tangan. Mas Fahmi berkelakar, aku mendeliki melihat tingkahnya.
"Sok jual mahal, palingan nanti di kamar juga peluk-peluk." Aku tak bisa menyembunyikan senyum. Suamiku ini sangat pandai mengkondisikan suasana. Terlebih kondisi hati istrinya.
Aku tak pernah masak, tugasku hanya mengikuti dawuh Abah mertua untuk menyimak seluruh hafalan santri tahfid sepeninggal Umi, Aku akan mencari berbagai metode untuk melancarkan hafalan santri. Tak lupa, Mas Fahmi pasti membantuku. Lalu menyiapkan teh di pagi dan sore hari untuk Mas Fahmi. Mas Fahmi awalnya kecanduan Kopi, semenjak mesin V60 rusak dan belum sempat di perbaiki, kecanduannya itu ku alihkan ke secangkir teh. Sejak muda Mas Fahmi tidak merokok, bukan karena tak ingin. Tapi memang zaman kuliahnya dulu dia sudah di wanti-wanti abah mertua agar tidak merokok. Selain mudhorotnya banyak, bau nya juga sangat menyengat.
"Ninge nya kayaknya gak bisa masak, yang masak di ndalem kan mbak-mbak to."
"Gus Fa tapi sayang banget ke ninge."
"Yo jelaslah, istrinya kan cuman satu."
"Tapi kalau kata Almarhum Bu Nyai yang aku baca dari majalah pondok tahun dulu, perempuan itu tak hanya harus pintar lahir tapi juga pintar batin. Bisa segala hal, karena ibu adalah pelajaran pertama anaknya."
"Al umi madrasatul ula."
"Nah yo iku."
Percakapan santri yang akan pergi ke madrasah mengusik ku. Tiba-tiba sebuah tangan maskulin memegangi pundakku, aroma tubuhnya bisa kutebak itu siapa. Siapa lagi jika bukan suamiku yang rupawan?
"Sayang, gak usah dipikir, bagiku kamu adalah wujud kebaikan Allah kepadaku."Dia berhasil membuai seringai senyum di wajahku.
"Jangan rindu, mas berangkat dulu." Aku mengangguk, lalu dia mengecup keningmu dan melangkah pergi. Aku tak pernah meragukan cinta Mas Fahmi sedikitpun, terlebih dia selalu memperlakukanku dengan baik. Kadang tiba tiba memberi ku suprise tak terduga, kadang juga tiba tiba menyuapiku, dan tiba tiba ngajak main busa di kamar mandi. Aku mencintainya dan tak ingin melukainya.

Gus FaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang