Bab 17. Ikhlas dan Ridho Kyai 2.

112 12 1
                                    

Bab 17. Ikhlas dan Ridho Kyai 2.

***

Suara jangkring begitu keras menganggu malam ku. Malam yang begitu dingin menusuk tulang, juga mengusik pikiran. Sura Abah Yai masih terdengar. Membicarakan alumni yang mengundang gelegar Ayah. Suara detak jam di dinding sisi kanan tempat tidurku seakan menyiksa. Waktu serasa bergulir begitu lama.

“Apa aku pantas menolak permintaan guru? Sedang beliau sumbangsih dalam mendidik karekterku lahir batin?”

“Apa aku kuat menjadi salah satu istrinya? Sedang aku ingin menjadi satu-satunya?”

“Jika aku menolak dengan tegas. Apa aku akan mendapat Ridho guru atas segala ilmuku?”

Aku berdiri membuka jendela, mengintip rembulan dari balik pepohonan. Jika saya hatiku setegar karang, walau sering diterpa ombak-ombak lautan, tak akan sedikitpun runtuh. Aku sudah seperti kapal kecil yang berlayar di tengah samudra, kencangnya badai menerpa memporak-porandakan kekuatan hatiku, mengulingkan daya bertahanku.

Ibu mengetuk pintu kamarku bersama Ning Zulfa. Barangkali ingin merayuku lagi. Aku membukakan pintu, menghapus jejak air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti.

“Sya, kalau kamu tidak siap. Saya gak papa kok. Do’akan saya bisa membimbing Fina dan menjaga suami saya dari zina yang keji,” kata Ning Zulfa sambil menundukkan kepala.

“Mas Fahmi itu adalah pria baik yang tak sanggup saya gambarkan. Dia penuh dengan kelembutan, dan kasih sayang. Pria romantis yang kadang suka jail. Pria yang rajin membangunkan istrinya sholat malam, pria yang selalu bawel kalau istrinya menunda mandi suci dan memilih mengqodo’ sholat, pria yang menjadi segala sesuatu dalam hati saya berlabuh.” Ning Zulfa menarik napas kasar dan membuangnya bruntal.

“Saya hanya taku suami saya jatuh dala kemaksiatan berupa mencintai wanita lain diam-diam, membayangkan dia dan tak pernah mau wanita itu jauh dari pandangannya. Saya sudah mengalah, dengan memberi jalan untuk kalian menikah. Bersama-sama dalam membangun rumah tangga yang indah menuju surga-Nya. Walau bukan jalan ini yang saya inginkan dalam menuju surga.”

“Sya!” aku menoleh, ibu sudah menangis haru mendengar perjuangan Ning Zulfa demi suami tercinta. Jantungku berdebar hebat, hatiku bergemuruh tak karuan. Memandang manik mata Ning Zulfa yang berkaca-kaca dan menatapku dengan mimik wajah yang amat sedih.

“Pergilah bersama kedua orang tuamu, entah kemana, pergilah yang jauh. Saya yang akan memberi biaya dalam proses perpindahan kalian. Blokir semua akun media sosial yang masih bisa terjangkau dengan Mas Fahmi. Hanya itu permohonan saya jika kamu menolak pinangan ini.”

Aku memperhatikan Ning Zulfa dari atas sampai bawah, wanita ini akan sakit lebih dalam jika aku menerima lamaran suaminya.

“Sya, kamu tau apa yang lebih sakit bagi seorang istri selain di selingkuhi?” tanya Ning Zulfa sambil menatapku dalam. Aku menggeleng.

“Raga nya bersama saya, namun hati dan pikirannya bersama wanita lain.” Ning Zulfa tersenyum berusaha menampik segala luka. Aku ingat saat Gus Fa keklinik waktu itu. Dia juga pernah berkata semacam itu.

“Nduk?”

“Dalem.”

“Wanita hebat adalah mereka yang memiliki hati pasangannya.”

“Inggih.” Jawabku sambil menundukkan wajah. Menahan air mata agar tak tumpah.

“Kamu hebat nduk. Hatiku bersamamu walau ragaku bersama orang lain.”

Aku diam. Menyaksikan raganya pergi. Tidak bisakah dia mengerti? Bahwa hatiku juga dibawanya pergi?

Aku membuang napas perlahan, tangan kananku mengenggam tangan Ning Zulfa yang mengenggam tangan kiriku, berkata dengan nada parau sambil menunduk.

“Bismillah saya bersedia menjadi adik madu Njenengan, jika Gus Fa berjanji akan menempatkan saya dan Fina di posisi yang sama, dan akan memberi keadilan dalam hal terkecil sekalipun.” Wajah Ning Zulfa segera berbinar, matanya berkaca-kaca. Memelukku sambil melonta kalimat terimakasih.

Aku membalas pelukannya, menegaskan pada diriku sendiri bahwa aku tak boleh se egois itu meminta menjadi satu-satunya. Bukankah wanita di dunia ini lebih banyak ketimbang lelaki?

Mungkin Allah menetapkan garis takdirku menjadi salah satu istri Gus Fahmi yang sedari dulu kucintai, membangun jalan menuju surga melalui kesabaran dan keikhlasan berbagi.

“InsyaAllah Sya, Mas Fahmi akan berusaha memberi keadilan. Kita sebagai istrinya wajib membantu suami agar tak condong sebelah.” Aku tersenyum, Ning Zulfa menghapus rintik air mataku yang mengalir di saat aku tersenyum.

“Jangan kau takar cinta Mas Fahmi kepadamu, kepadaku, atau kepadaa Fina Nantinya. Rosululloh pun tak dapat menyembunyikan rasa cintanya kepada Sayyidah Aisyah dari para istrinya. Kita harus sama-sama ikhlas dan mengerti.” Aku mengangguk, memahami kata-kata Ning Zulfa. Walau aku tau, tak ada yang bisa mengalahkan rasa cintanya Rosul kepada Sayyidah Khodijah.

Aku menoleh kepada Ibu yang membekap mulutnya dengan kedua tangan, air matanya tak kunjung berhenti barang sedetikpun. Aku mencium tangan Ibu meminta Ridho. Ibu mengangguk sambil menepuk-nepuk pundakku.

Allah membuat skenario yang tak dapat terpikirkan oleh hambanya sebelumnya. Maha besar Allah memberiku kejutan yang luar biasa. Semoga Allah membesarkan hatiku untuk merima segala keadaan kelak.

Gus FaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang