Bab 18. Bayangan Ingatan.

109 13 2
                                    

Bab 18. Bayang Ingatan.

POV. GUS FAHMI

***

Aku sudah memperhatikan sosok Ikfina saat kulihat dia kerap bersama Maisya. Ia memiliki hidung yang mancung , matanya bulat, dan senyum yang menaklukan dalam sekali pandang. Aku tak tertarik padanya, justru aku lebih tertarik pada kesederhaan Maisya. Selain sederhananya, aku suka senyum khas milik Maisya. Maisya yang dengan usahanya mampu mencapai predikat lanyah Alfiyyah Ibnu Malik dan menjadi menjadi delegasi pondok. 

Kerap aku berpura-pura menghukum Maisya berdiri saat lalaran nadzoman. Semua itu semata-mata kulakukan hanya demi Maisya berdiri dekat dari mejaku.

Karena Maisya yang cuek, dan tidak peka. Dia tak dapat mengartikan segala sikapku. Tak memahami pola tingkahku. Menurutku, Maisya adalah wanita Ambisius, penyuka seni, berhati luas, dan sedikit pemalu. Dia juga Ahli dalam Gramatika Arab, dan hal-haal domestik seperti memasak dan mencuci Umi.

Pernah kala itu, ia mengantikan mbak-mbak abdi ndalem yang izin pulang. Dia memasak sambil murojaah. Kalau tak salah ingat, saat ia merajang bawang merah dia akan menangis sambil melafadkan surah At-Taubah, atau ketika ia menjemur pakaianku sambil melantunkan sholawat. Suaranya merdu, saat itulah pertama kalinya aku menyadari pesona Maisya. 

Aku semakin tak sabaran mendekatinya, namun dia semakin menjauh tak tergapai.

Sampailah pada inisiatif aku mengodanya di kelas dengan filosofi Alfiyyah, dengan tidak menurunkan martabatku, seisi kelas menganggapnya guyonan semata walau tak bisa jauh dari seloroh “Ciecie”. 

Maisya yang tersipu malu akan menundukkan kepalanya dan bersembunyi pada balik bangku Ikfina. Pulangnya, aku memanggilnya. Namun yang menghadap malah Ikfina. Ikfina ini memang pemberani dan berjiwa pemimpin.

Dia berkata dengan tegas bahwa sahabatnya itu malu sebab insiden di kelas. Dia juga mudah bergaul. Aku bertanya ini itu tentang Maisya padanya. Bahkan aku berani mengirimkan surat pada Maisya melalui surat. Jika saja penggurus atau Umi, Abah tau. Maisya bisa saja dalam bahaya.

Dengan kecerdasan Ikfina, kami berhasil dekat dan saling menghubungi saat liburan tiba. Namun, hari demi hari Ikfina mulai mencurigakan. Dia mulai membubuhi balasan surat Maisya dengan suratnya pada ku. Tentu, aku juga membalasnya dalam kertas berbeda dari surat untu Maisya. Aku menganggapnya teman dekat karena dia sahabat Maisya.

Dia semakin tak terkendali, dia justru berterus terang kepadaku akan perasaannya, dia juga mengatakan bahwa Allah tak akan memberinya perasaan cinta jika tak ada makna dibaliknya. Aku yang tak ingin Maisya menjauh, memutuskan dengan tegas agar dia mengubur rasanya dalam-dalam, melupakan cintanya terhadapku.

Aku tak tau jika semakin dia kubur rasa itu semakin berkembang. Aku memang merasa daya ketampananku mampu memikat seluruh santri putri. Termasuk dua sahabat yang sudah seperti saudara ini. 

Dia mengeluh tak bisa melupakanku saat itu, menghadapku ke kantor madinah beralasan mengantar surat izinnya Maisya tak mengikuti latihan mukhafadzoh. Aku bersitegas memberinya pengertian bahwa aku tak mencintainya, namun mencintai sahabatnya. Aku hanya menganggapnya teman dekat sebab dia sahabat dari wanita yang kucintai, tidak lebih dari itu.

Diluar kendaliku, aku tak bisa bersatu dengan Maisya. Aku dijodohkan, dan dengan segala usaha untuk mencintai istriku seorang. Walau Maisya masih sering berkelebat.

Hari ini. Dia datang sambil meraung-raung. Ayahnya memintaku untuk menikahinya karena jin yang melekat pada tubuhnya hanya takluk padaku. 

Disisi lain, aku baru saja mencintai istriku dengan penuh malah bertemu dengan Maisya lagi. Dan kini, malah di minta menikahi Ikfina.

Aku yang begitu dalam mencintai Maisya dengan mudah jatuh cinta lagi, dengan mudah terbayang senyumnya lagi. Bahkan, saat bangun tidur aku pernah memanggil istriku yang berpatut di depan cermin dengan nama Maisya. Wanita yang selalu menjadi penghuni hati dn pikiranku.

Tak ada yang tau perjuanganku mencintai Zulfa, membayangkan Zulfa dalam malam-malamku, mendapat getaran hebat saat bersamanya. Dan ketika aku berhasil, Ikfina masuk kedalamnya. Mengiringku kembali pada persyarat istri untuk menikahi Maisya juga. Aku bukan lelaki tamak yang bangga menikahi banyak wanita. Namun, tak dapat kupungkiri betapa bahagianya aku bisa bersatu dengan Maisya.

Ternyata Umi benar dalam memilih Zulfa sebagai istriku. Dia tidak banyak menuntun dan justru memberiku pengertian yang tak mungkin di dapat suami lain di dunia ini. Rasa cintaku semakin tumbuh pada Zulfa.

Saat dia menyeretku melamar Maisya, hatiku di ambang ketidak seimbangan. Aku begitu lemah setiap kali di hadapkan dengan Maisya. Aku juga tak mampu menyakiti Zulfa. Sebenarnya aku ini laki-laki macam apa? Laki-laki yang tak paham mengerti perasannya sendiri. Bagaimana mengerti perasaan ketiga istri?

“Sudahlah sayang. Mas hanya ingin kamu.”

“Bohong!” sergahnya. Matanya berkaca-kaca. Aku melirik laman shopee yang baru saja istriku buka untuk membelikan Maisya seserahan. 

Aku menscoll dan mendapati novel berjudul “Perfect Marriage” ku masukkan keranjang karena memang itulah yang kubutuhkan. Aku teringat kitab uqudul ijen dan buku tentang bagaimana Rosululloh memperlakukan istri dan para wanita.

“Hayo, udah prepare nih yang mau poligami,” kata Zulfa mengagetkanku. Dia tersenyum walau matanya berkaca-kaca. Nadanya datar, namun terdengan sangat menyakitkan baginya. Aku mendekapnya, membiarkan dia menumpahkan segala tangis dalam dadaku.

“Maafkan aku Zulfa.” Sambil ku kecup-kecup keningnya.

Gus FaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang