Bab 15. Di Khianati

137 17 0
                                    

“Tak ada hal yang lebih sakit daripada dibuat kecewa oleh orang yang paling kita percaya dan orang yang kita cinta.”

***

Dadaku ikut bergerumuh melihat tangisnya yang begitu pilu. Gus Fa memang ia cintai dalam diam. Bahkan dia, membantuku dekat dengan Gus Fa kala itu. Pasti Fina sangat tertekan oleh gejolak batinnya, yang matia-matian ia kubur hingga paripurna. Namun, aku juga melihat Ning Zulfa yang air matanya terurai kian dalam. Apa jadinya jika Gus Fa menikahi Fina sedang Ning Zulfa tak mengizinkan. 

Pernikahan Gusku diliputi konflik batin yang pelik, ku tatap wajah lelaki yang sampai kini bersinggah sana di dalam hatiku. Dia menautkan kedua alis. Memijat kepalanya sambil terduduk lesu.

Psikopeter belum kunjung datang. Fina menjerit-jerit, menangis meraung-raung. Abah menenangkannya. Orang tuannya juga. Aku mendekat, meraih pundaknya lalu memeluknya. Orang tua Fina langsung mengenaliku ketika ku buka masker yang kukenakan. Aku menangis tak kuasa menahan haru. Fina mendorongku, meraih tas yang kukenakan dan mengeluarkan segala isinya.

“Kalau saja saat itu aku tak membantumu, mungkin dia akan menjadi milikku.”

Aku tercengat. Dia mengambil ponselku dan mencoba membukanya. Namun, Pak Rofiq menghentikannya. Dia meraung-raung lagi. Gus Fa bersimpuh di depan Ning Zulfa. Mencium tangannya dalam, Ning Zulfa hanya menangis.

“Saya akan menikahi putri anda Pak.” Ucap Gus Fa mendapat perhatian seisi ruangan. Fina melepas tangan kekar ayahnya. 

Dia tertawa histeris, bersorak riang, lalu berkata tepat di wajahku, “lihatlah lelaki yang dulu kau semogakan. Dia akan menikahiku Sya!” Ning Zulfa mendongak, mungkin baru sadar bahwa aku dan Fina satu angkatan. 

Aku berharap Ning Zulfa tak berpikir macam-macam yang bisa menambahi bebannya.

Detik kemudian, wajah Fina menatapku tajam, badannya bergeliat tegang.  

Psikopeter datang dengan tepat menyuntikkan obat penenang pada Fina. Bu Nyai Shofiyah membersamai psikopeter itu. Langsung berhampur memeluk putrinya. Ning Zulfa.

Aku tak percaya jika Gus Fa mengatakan akan menikahi Fina yang keadaannya seperti ini. Setitik air jatuh dari mataku. Aku masih sangat sentimentil terhadap perasaanku sendiri. Meski kuyakinkan pada hati, Gus Fa bukan jodohku. Aku berkali-kali menggelengkan kepala karena ulah khayalanku sendiri. 

Bu Nyai Sarofah memanggilku untuk memeriksa Ning Zulfa yang kesakitan. Perutnya keram, dan bercak darah memenuhi celana dalamnya. Gus Fa membenturkan kepalanya pada tembok. “Bodoh, bodoh. Istrimu sedang hamil dan dia belum menyetujuinya. Kenapa kamu bodoh dan mengatakan akan menikahi wanita itu.” Dia berkata pada dirinya sendiri. Sebenarnya aku ingin menghampirinya terlebih dulu, namun. Ning Zulfa dan Janinnya lebih membutuhkanku.

Aku membuka celana dalamnya, melihat darah kental berwarna coklat kehitam-hitaman. Pekat sekali. Ku pegang perutnya, mencoba mendengarkan pergerakan bayi. Ning Zulfa terus berteriak kesakitan. Bu Nyai Shofiyah mengambilkan air hangat untuk di minum. Aku lekas membawa Ning Zulfa ke kamar mandi. 

Dugaanku benar, baru saja Ning Zulfa duduk di atas kloset. Gumpalan darah kental luruh. Bu Nyai Shofiyah juga ikut menangis, seperti merasakan sakit yang di derita putrinya. Aku membimbing Ning Shofiyah mengatur napas, namun tangan kananku membantu Janin itu luruh dengan sempurna.

Ning Zulfa yang lemas di bopang Bu Nyai Shofiyah kembali kekamar untuk ganti baju. Aku membersihkan ceceran darah. Menangis sejadi-jadinya yang disamarkan oleh gemericik air. Kenapa mencintainya begitu sulit? Ning Zulfa harus mengalami kesekian kalinya keguguran, Fina harus menderita dalam usahanya mengubur cinta dalam-dalam, sedang aku? Harus menjadi penengah diantara mereka berdua, harus menjadi perantara mereka untuk menuju cinta kasih Gus Fa. Aku menyesal kembali bertemu cinta lama dalam keadaan serumit ini.

Seseorang mengetuk pintu kamar mandi dan meneriaki namaku. Aku membersihkan gumpalan darah itu dan segera membuka pintu. Dengan suara serak khas orang sehabis menangis. Aku mengatakan bahwa gumpalan darah ini sudah menjadi bayi yang baru terbentuk dalam kurun waktu dua puluh dua minggu. Gus Fa mengambil kantong itu dan pergi dari hadapanku. Ning Zulfa masih lemas dan terus menangis. Aku memberikan ramuan agar perutnya tak terasa nyeri dan lebih dingin. Lalu, meminta izin untuk pulang membersihkan diri.

“Jangan pergi dulu, ada yang ingin saya tanyakan.”

Jantungku berdebar-debar tak karuan. Ning Zulfa meminta Bu Nyai Shofiyah dan Abah Yai Makhrus keluar, tak terkecuali mbak-mbak abdi ndalem. Ning Zulfa memberi isyarat agar aku duduk di kursi dekat ranjangnya. Sedari pertama kali memasuki kamr ini sebenarnya aku ingin menangis, ingin berteriak dan berlari sejauh0jauhnya. Tak sudi kiranya hati berada ditempat kekasihku memadu cinta kasih dengan wanita lain, walaupun itu istrinya sendiri.

“Mbak sahabat dekatnya Fina?”

Aku mengangguk.

“Dulu Mbak pacar Gus Fa?”

Aku mengangguk. Ning Zulfa menghela napas berat.

“Jadi samean tau kalau Fina juga mantan Gus Fa?”

Aku terbelalak dan langsung mengelengkan kepala.

“Jawab sejujurnya Mbak. Sudah lama saya mencari informasi tentang Mbak Dokter dan mendapat bonus juga mengetahui tentang Fina.”

“Saestu Ning, saya tidak tau tentang Fina yang mantannya Gus Fa.”

“Wanita mana yang benar-benar rela membagi suaminya dengan wanita lain. Apalagi dengan cara ini. Mbak Dokter keterlaluan membantu Fina dalam menghancurkan rumah tangga saya. Atau jangan-jangan Mbak Dokter pula yang membuat saya keguguran lagi kali ini.”

Ning Zulfa menangis lagi, ingin ku katakan bahwa aku tak ikut andil dalam persoalan Fina, justru aku yang kaget mengapa ia bisa sedemikian hancurnya. Namun, isak Ning Zulfa membuatku mengurungkannya. 

Sesekali ku tatap foto nikah Gus Fa dan Ning Zulfa yang terletak diatas furniture putar dekat almari. Ning Zulfa mengeluarkan segala keluhannya tentang kehadiranku yang sering kali menganggu pikiran suaminya, akun baru tau dari Ning Zulfa saat dulu aku dan Gus Fa masih bersama Fina sering mengirim surat dan menerima surat dari Gus Fa. Mereka memutuskan mengakhiri hubungan gelap itu karena aku sebagai sahabat dekat Fina.

Ning Zulfa bercerita juga, bahwa hingga kini suaminya masih mencintaiku. Tidak dengan Fina, Gus Fa mengaku hanya menanggapi Fina sewajarnya dan menganggap Fina sahabatnya karena Fina sahabatku. Hingga perkataan Ning Zulfa yang tak bisa kuperccaya.

“Sebenarnya saya tau dari Bu Sundari kalau kemungkinan kecil untuk saya memiliki anak Mbak, saya akan mengizinkan Mas Fahmi menikahi Fina, jika Mbak juga mau dinikahi Mas Fahmi.”

Ning Zulfa menggenggam taanganku. Memohon untuk menyetujui permintaannya. Jelas ini sulit bagiku, aku tak ingin menjadi salah satunya, aku ingin menjadi satu-satunya. Memeng benar aku begitu mencintai Gus Fa.

Bukan berarti aku juga mau merelakan sakit batinku jika suatu saat nanti ada ketidak adilan yang kuterima jika aku menjadi istrinya. Lagi pula, aku masih terpukul dengan rahasia di masalalu. Fina, sahabatku ternyata suka mengirim dan menerima surat dari Gus Fa, bahkan saat liburan tiba. Fina chatting dengan Gus Fa hingga larut malam.

Fina sangat pandai menutup hal ini, bahkan aku juga tak mencuriaginya tentang hal ini. Pantas saja, Fina begitu bersikuekuh menasehatiku agar melupakan Gus Fa. Memprovokasiku dengan mengatakan Gus Fa memang memiliki hubungan special dengan Ning Zulfa jauh sebelum menikah.

Gus FaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang