BAB 8

46K 5.5K 22
                                    

Alyena duduk di depan Hugo yang tersenyum bahagia  “Kau suka tehnya?” Hugo berseru. Ibu jari dan jari lainnya memegang pegangan cangkir. Hugo sekali lagi meneguk tehnya sebelum ia meletakkan cangkir tersebut ke saucer.

Alyena diam menatapi cangkir kecil yang berisi Five Flavor Tea, the dengan campuran lima rasa, manis, asin, pedas, pahit, dan pedas tajam.

Dulu, Agatha pernah mencicipi Teh Korea berwarna merah ini, dan ia terlanjur tidak suka, walau kebanyakan orang menyukainya. Hugo mengambil salah satu kue kering, tangannya terhenti saat melihat Alyena yang tidak meminum the itu sama sekali.

“Kau tidak menyukainya, Alyena?” Tanya Hugo, cemas. Alyena yang terkejut, dengan cepat menggelengkan kepala, dengan ragu ia mengangkat cangkir teh mendekati bibir merahnya.

Dengan pelan, Alyena menyesap teh tersebut sambil menutup matanya, apakah minum teh bisa semenegangkan ini?

“Ini enak, Yang Mulia,” Bohong Alyena, senyumnya sangat kaku. Hugo terkekeh kecil, pandangannya beralih ke hamparan bunga Camelia dengan berbagai macam warna.  Pantas saja napas Alyna terasa sesak. Alyena berdecak, memalingkan wajahnya mencoba untuk mengabaikan bunga Camelia.

Menyadari hal itu, Hugo bertanya. “Ada apa?” Alyena menghela napas.

“Saya alergi terhadap bunga Camelia, Yang Mulia.” Balas Alyena, tersenyum manis. Berjauhan saja sudah membuat Alyena sesak, apalagi berdekatan. Tubuh Alyena seperti tak menerima Bunga Camelia yang terlihat sangat cantik itu.

Di Love for the Darkness, dijelaskan bahwa Alyena alergi terhadap bunga Camelia. Saat di penjara, Hugo mengisi sel milik Alyena dengan bunga Camelia, Alyena harus menahan rasa sakitnya selama berhari-hari.

Manusia di depannya ini memang kejam, Alyena akan menerima tawaran untuk lari dari Hugo. Pertunangannya dengan Hugo tak bisa ditolak lagi, ia bisa saja membuat Hugo merasa jengkel dan membatalkan pertunangannya dengan Alyena.

Sayangnya, Hugo tidak akan semudah itu melepas Alyena, mereka berdua sudah berteman sejak kecil di dunia ini, bukan di novelnya. Dilihat dari sikapnya pun, Hugo sangat menyukai Alyena, atau tidak?

“Begitu, sebaiknya kita pergi dari sini,” Ajak Hugo, Alyena ikut turun dari kursinya bersama dengan Hugo. Hugo mengulurkan tangannya, Alyena yang tahu, tanpa ragu menerima uluran tangan tersebut.

“Baiklah, Yang Mulia,” Balas Alyena.

“Hugo.” Hugo membenarkan.

***

“Kau tahu, saat masih kecil, kau selalu membawakanku setangkai bunga Lavender, aku menyukainya.” Hugo tersenyum bahagia, Alyena hanya membalas Hugo dengan sebuah anggukan kecil.

Selama mereka berdua berjalan mengelilingi Istana Ruby, tempat seorang Putra Mahkota tinggal, Hugo bercerita tentang masa kecilnya dengan Alyena. Tangan mungil mereka saling bertautan, Hugo tak ada niat untuk melepaskan pegangannya itu.

“Kita tak bertemu selama beberapa minggu, kurasa kau menjadi lebih pendiam,” Celetuk Hugo. Alyena  tersentak, ia tak menjawab Hugo dan tetap menatap lurus kedepan.

“Mungkin karena kau sudah sembuh, ya?” Lanjutnya. Alyena tertawa renyah, ia tak tahu harus menjawab apa.

“Alyena, kau ingat, saat kau sedang sakit, dan terus memaksaku untuk tetap menemanimu di kamar.” Suara Hugo melembut.

“Aku sangat khawatir, demammu sangat tinggi saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa.” Senyum kecewa tercetak di wajahnya, Alyena mengerutkan keningnya bingung.

“Tak apa, yang terpenting kau sudah sudah sembuh.” Hugo terdengar lega. Lorong disini sangatlah sepi, sedari tadi Alyena tidak melihat adanya satu pun pelayan yang melintas.

“Hugo, kenapa disini tidak ada orang sama sekali?” Alyena bertanya.

“Aku menyuruh para pelayan untuk tidak pernah datang kesini, kecuali untuk membersihkannya,” Jelas Hugo.

Akhirnya, tak ada lagi yang berbicara, hanya ada suara tapak kaki mereka berdua. Alyena yang merasa adanya kejanggalan, sesekali Hugo. Raut wajah Hugo terlihat rumit, sepertinya ia juga menyadari keberadaan orang tak diundang itu.

Dari suara tapak kaki, terdengar jelas bahwa ada suara tapak kaki lain selain mereka. Hugo memberhentikan langkahnya, ia menggenggam tangan Alyena semakin erat.

Secepat kilat, Hugo berbalik badan, diikuti oleh Alyena. Yang mereka dapati adalah seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran dengan Hugo.

Mata biru besar yang bersinar dan menghanyutkan seperti air dilaut. Dilihat dari manapun, anak laki-laki ini sangat cantik, ia punya bentuk hidung yang indah. Bibir dan rahang yang cantik. Alyena sempat terpana dengan wajahnya. Alyena menggelengkan kepala dengan cepat untuk menyadarkan dirinya kembali.

Mata Alyena dan anak itu saling bertubrukan, anak itu tersenyum dengan menunjukan giginya yang rapi dan putih. Alyena memalingkan wajahnya, malu. Senyumnya saja sempurna. Ia sama tampannya seperti Hugo.

“Untuk apa kau mengikuti kami, Eugene.” Kilat menyambar pikiran Alyena yang kosong.

“E-Eugene?” Tanya Alyena ragu.

“Oh, perkenalkan, nama saya Eugene Bainess Durrel. Putra sulung dari Marquis Durrel. Senang  bertemu dengan anda, Nona Alyena,” Ucap Eugene dengan tulus.

Eugene Bainess Durrel, putra seorang Marquis terkaya di Kerajaan Grissham. Ia juga sepupu tak sedarah dengan Hugo. Ayahnya pun seorang Master pedang yang melatih Hugo dengan keras sejak masih kecil. Selain itu, Eugene adalah Second Lead di Love for the Darkness.

Di novelnya, Eugene merupakan seorang buaya darat jadi-jadian atau playboy. Setelah lulus dari akademi, Eugene mulai menggoda para wanita dan terus berganti pacar setidaknya, dua minggu sekali. Sampai akhirnya, ia bertemu Sophia setelah Eugene ditampar oleh salah satu pacarnya. Sophia yang melihat itu mengobati pipi Eugene.

Eugene jatuh cinta pada pandangan pertama karena kecantikan dan kebaikan Sophia. Eugene dengan tulus, mencintai Sophia walaupun ia kalah.

“Tak perlu basa basi, katakan.”  Hugo berucap dengan penuh penekanan. Eugene tertawa dengan ringannya. Ia menyeka air mata yang bersandar di matanya.

“Tunanganmu ini, terlihat sangat manis, aku ingin melihatnya dari dekat, Yang Mulia.” Eugene mendekati Alyena, ia mengambil beberapa helai rambut Alyena dengan pelan seraya terseyum manis.  Alyena menyerngit heran sekaligus jengkel.

Hugo menepis tangan putih Eugene dengan kuat, membuatnya mendengus imut.

“Jahat sekali, hanya karena kau kalah kemarin, ya?” Goda Eugene. Hugo semakin mengeluarkan aura permusuhannya.

“Pfft, baiklah, kau menakutkan.” Eugene mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum konyol.

“Lihat saja, aku akan menang, besok,” Balas Hugo, kesal.

“Bukankah mereka, berteman baik?” Gumam Alyena. Eugene memiringkan kepalanya, ia tak bisa mendengar jelas apa yang diucapkan Alyena.

“Ya?” Hugo bertanya. Alyena menggelengkan kepalanya. Hugo kembali beradu tatap dengan Eugene, ia menarik tangan Alyena. Dengan sigap, Hugo berbalik badan dan pergi meninggalkan Eugene, Alyena hanya pasrah mengikuti Hugo. Alyena menyempatkan dirinya untuk berbalik badan untuk melihat Eugene sekali lagi.

Eugene masih berdiri disitu dengan kedua tangan di belakang, masih dengan senyumannya itu. Menyadari dirinya dilihat oleh Alyena, ia melambaikan tangan dengan pelan.

“Sebaiknya kau menjauh dari, Eugene.” Hugo terdengar marah.

“Kenapa?” Tanya Alyena.

“Entahlah, aku tidak menyukai Eugene dari sisi manapun. Eugene adalah orang yang sangat aneh, itu saja,” Jawab Hugo. Alyena mengedikkan bahunya. Pada akhirnya, Hugo mengajak Alyena mengelilingi sayap barat dari Istana Ruby. Secantik apapun istana ini, penghuninya lebih cantik.

ASRAR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang