3. Aku Baik-Baik Saja

921 207 116
                                    

"Kunci pintunya, CEPAT!"

BRAK!

Klek!

Tangannya bergerak secepat kilat dengan napas memburu dan mata melebar. Yoongi dapat merasakan jantungnya berdetak kencang, selaras dengan kakinya yang kehilangan kekuatan secara tiba-tiba. 

Lelaki itu bisa sedikit bernapas lega ketika gedoran keras pada pintunya telah berhenti. Ia mengintip layar interkom. Aman, tidak ada apapun, atau siapapun lagi di luar sana.

Helaan napas lega bercampur takutnya terdengar keras. Ia mengusap kasar wajah dengan tangan gemetar. Tubuhnya hampir meluruh, jika saja ia tidak mengingat adanya orang ketiga di dalam apartemennya.

"Kau siapa?!"

Pemukul baseball yang semula tergantung di udara, kini ditodong lurus. Tatapannya tajam, hampir menyaingi pisau yang digenggam erat oleh Jungkook. Kakinya melangkah menjauhi pintu, yang secara bersamaan mendorong si lelaki asing untuk keluar, masih dengan tatapan tajam yang ia layangkan pada lelaki di hadapan.

"Keluar!"

"T-tidak! Tolong, dengarkan aku!" Lelaki tadi berseru. "A-aku tetanggamu. Ki ... kita satu lantai!" lanjutnya.

"Keluar! Keluar!!" Ucapannya tidak didengar, karena Min Yoongi memilih untuk tidak percaya. Pemuda itu maju selangkah, dan membuat pemukul baseball miliknya berhadapan tepat dengan leher si lelaki asing.

"Dengarkan aku. Kumohon dengarkan aku dulu!" si lelaki kembali berucap. Memohon dan mengais untuk didengar yang nampaknya sia-sia.

"Aku baik-baik saja, lihat! Aku tidak tergigit, aku tidak terinfeksi oleh virus mengerikan itu! Lihat, aku baik--"

"Kubilang, cepat keluar!" 

Bukan todongan lagi yang ia dapat, melainkan pukulan. Pemukul baseball itu dipastikan mengenai kepala jika ia tidak bisa menangkisnya dengan cepat dan tepat.

"Kumohon .... Aku masih manusia. Aku baik-baik saja, aku tidak tergigit, demi Tuhan." Tatapan matanya lugas, nampak seperti tidak ada kebohongan di sana. Tapi hal itu tidak menarik minat Yoongi untuk percaya, karena ia tetap pada pendiriannya, masih dengan tatapan tajam juga pemukul baseball yang kembali siap untuk diayun.

"Tidak. Tunggu .... Tolong jangan usir aku ...

... Baiklah. Katakan padaku, apa yang bisa membuatmu percaya bahwa aku baik-baik saja?"

.

Si lelaki asing itu kini masih terpojok di sudut ruangan. Sudah dua puluh menit setelah ia menyanggupi permintaan pemilik ruangan untuk tetap diam di sana, dan selama itu pula tatapan tajam beserta todongan tongkat baseball ia dapat, yang ia tahu jelas akan berganti dengan pukulan keras jika ia berani bergerak satu senti saja.

Oh, bukan hanya itu. Yang tidak kalah menyeramkan adalah, kemungkinan bahwa pisau yang ditodong oleh anak bermata bulat di sana akan tertancap di tubuhnya.

"Apa sudah cukup?" tanyanya. Jujur saja kakinya sudah mulai pegal. Jika bukan untuk mendapat tumpangan dan membuktikan bahwa dirinya masihlah manusia seutuhnya, tidak mungkin ia mau menuruti kata-kata Min Yoongi.

"Kupikir sudah cukup."

Pemukul baseball di turunkan dan ia dapat bernapas lega. 

"Astaga, kakiku pegal sekali," desisnya mengaduh. Lelaki itu memukul pelan paha juga punggungnya bergantian.

"Kau satu lantai denganku?" Yoongi bertanya. Matanya memincing, meragui si lelaki asing.

"Iya, aku tinggal di ujung."

"Oh." Pantas saja terasa tidak asing. "Namamu?"

"Jimin. Park Jimin."

Yoongi mengangguk kecil. "Mau sarapan?" tawarnya, yang seketika membuat mata Park Jimin berbinar cerah.

Mengabaikan pegal pada kakinya, ia segera mengikuti Yoongi yang sudah berada di dapur terlebih dahulu. Berucap terima kasih kala satu cup ramen instan setengah matang ia terima, dan berjalan menuju ruang tengah, duduk bersebelahan dengan anak yang belum ia ketahui namanya.

.

"Jadi, Park Jimin, bagaimana kau bisa dikejar?" 

Menyadari bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian, Jimin mempercepat kunyahan pada mienya. Lelaki itu menegak segelas air mineral, dan menatap dua lelaki yang memandanginya.

"Pintu apartemenku tidak tertutup rapat, dan mahkluk itu masuk begitu saja. Aku tidak tahu kapan ia masuk. Tiba-tiba saja, dia ada di kamar mandi ketika aku tidak sengaja melihat--Astaga, aku tidak percaya kalau aku hampir mati." Jimin bergidik ngeri, begitu juga dengan Jungkook yang dapat merasakan bulu kuduknya berdiri hanya dengan mendengar cerita dari Park Jimin.

Itu mengerikan. Jungkook bahkan tidak bisa membayangkan kalau ia ada di posisi yang sama.

"Apa kau mengenalnya?"

"Ya?" 

"Maksudku, orang yang terinfeksi tadi, apa kau mengenalnya?" Yoongi mengulang pertanyaannya. Berharap jawaban yang terlontar dari mulut anak di hadapannya tidak sesuai dengan perkiraannya.

"Ya! Walau wajahnya sedikit berbeda, tapi aku ingat betul. Lelaki itu adalah salah satu penjaga keamanan."

Sial, Yoongi mendesis. Jika yang dikatakan lelaki di hadapannya ini benar adanya, itu berarti, tempat ini sudah tidak lagi aman.

Tok, tok, tok.

Ketiganya menoleh ketika pintu diketuk. Yoongi yang pertama berdiri, diikuti dua lainnya yang dengan sigap memasang sikap siaga.

Sama, Yoongi mengambil pemukul baseballnya untuk berjaga-jaga. Ia mendekat ke pintu, dan melihat pada layar interkom ...

 Ia mendekat ke pintu, dan melihat pada layar interkom

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 ... yang mana membuatnya mundur selangkah saat itu juga.




To Be Continue

Nightmare ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang