s u r a b a y a ,
dua puluh lima djanuari
s e r i b u sembilan ratus
s e m b i l a n p u l u hhari itu, selagi saya bercokol cendayan pada puluhan undak-undakan dan me-record diri di pelataran buritan sekolah. rangrangannya hendak saya siar untuk rekan di batavia, mereka menitahkan entah apa lantarannya.
selagi saya mendedahkan rupa dengan seringai elok pada tutsel yang tengah menyala, seseorang adam tiba dengan seketika berkata,
"kelas sudah dimulai, kamu akan duduk disini sampai berapa lama?"
tak ada niatan sama sekali untuk sekedar menengoknya, kepala saya tidak dicipta untuk melakukan hal sepele semacamnya. sayang jika energi saya tergusur begitu saja, sungguh sia-sia.
"saya tak pernah berharap ada disini,"
kurang lebih, seperti itulah elak yang membuatnya pupus dari saya, melalui saya tanpa berucap lagi sepatah kata, dan saya hanya merisau pungkurnya yang mulai berlarat-larat.
tapi tidak tahu pasal, kaki saya beralih selepas mengindahkan laras peluit yang bertubi.
kelas kebugaran tengah terlaksana saat itu, mau tak mau saya harus memperturutkannya.
apa nantinya, ini akan menjadi rutinitas?
rasanya sejagat tak adil dengan saya.semua siswa membuat barisan pada bentangan tanah lapang untuk melakukan pemanasan, sesekali menaksir jumlah sasana dengan lantang. sepertinya hanya saya yang menapis senyap tak bergulir.
selepasnya, semua memaut permainan yang dititahkan. selama itu saya hanya berdiri saja dan menolehkan kepala untuk membuang muka.
anehnya, berkali-kali bola karet itu tertuju pada saya, dan berkali-kali pula seseorang menghalaunya. membiarkan dirinya sendiri tersungkur ke bentala. sedang saya menampakkan senyum muak menyaksikan tingkahnya.
seusai kelas berakhir, botol beserta isi yang seharusnya menjadi pelipur dahaga saya, terserahkan pada sosok taruna yang sedari tadi mencari perhatian pada saya.
"tak ada yang menyuruhmu melakukannya bukan? ambillah, balas budi saya...
... bisanya hanya cari muka saja."
ujar saya menyodorkan tirta padanya."saya tak ingin regu saya kalah hanya karena keberadaan sosok nona egois saja,
lagi pula apa kamu akan dengan sendirinya menghindari pukulan bola, tidak 'kan?"taruna itu menjawab lalu menepis minuman yang saya berikan, beralih dengan mengusap peluhnya yang membanjiri kening nan tertutup surai.
tertegun sejenak, mendengar omong kosongnya tak membuat saya untuk bergegas merubah sikap acuh yang sudah menjadi ciri khas saya.
nona h a n y a minta
h a r i yang bahagia.(̷̨̗͇̟̖͚͌̓̏͊̇̚͜͝͠ ̶̻̟́̀̇͊ ̵̛̹̠̍̐̈́͌͑̆̂̉s̷̗̩̀͆̚͜ͅḵ̷͖̭̻̣͓̍́̊͒e̸͈͍̗̓̀̉́̄̕t̵̲̤̼̖̖̼͚̺̱̑̂̅̽̑͋̽̈́͜s̴̨̛̭̦̞̜̲͙̟̐̏̿̊͆͂̒̽̕a̶̧̨͕̹̦̘̲̯͍̿́͝ͅ ̵̡͔̺͕͛͋͛̓̈́͝͠m̸̞̯̖̰̟̪̀̉̀͝͠e̵̡̡̼̰͑̔́̾̑̑͑͝͝l̶̬̍̄͒̒͒͠͝a̴̛̬͎͙̩͈̐̆͂̊͘̚n̸̗̜͇̻͊̒̑̎͒̓̐̊̓͠k̵̼̝͓̥̼̱̲̘̻͒̌͛̕͜o̵̖͔͚͍̳̯̰̘̐͛͊͌l̷̻̻̭̇̈̋i̶̢͔͓̭͖̮̝̽̌̓a̸̺̗̺̺̰͇̯͚͆͊̈́͗͂̐,̴̢̡͙͉͉͙͍͗̍̅͛̿ ̶̤̜̜̣̓̏̊̋̈́̚͘1̸̧̩͔͛̓̌̈́̇̃̍͘ ̷͕͈͈̋͑̔͌̽̍͛̏9̴͖͙̼̥͉̭̙̏̓̈͒̈̀ ̴͕͙͎͎̺̟̦̈͜9̵̢͔̠̖́̀͑̍̽ ̷̫̘͓̣̈́͑́́̂̽̂͑͘0̶̛͌̏̎̋̂̽͆̓̚ͅ ̴͚̯̋́̒͒̍̽̒̓͝ ̷̞̩̻̖̑́͆͒)̴̝̋͊̒̂̎̃̕̚͝͠
![](https://img.wattpad.com/cover/256550110-288-k551681.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
sketsa melankolia, 1990
Teen Fiction' m a r i singgah akan k u serah kisah tak indah m a s a sekolah →lowercase + baku (©oldvntge/jan 2021)