pias keenam

280 63 6
                                    

s   u   r   a   b   a   y   a      ,
dua puluh dua pebruari
  seribu   sembilan   ratus
sembilan        p  u  l  u  h

petang ini, saya mendapati taruna yang terlampau menyukai titah. tentu saja ia angsa, semata wayangnya handai saya sepertinya.

ia tersua pada peron buritan sekolah. semenjana meranggul nan melengakkan rupa menawannya—yang kuasa meringkukkan lubuk sesiapa, pada awang juga meruyupkan sepasang maniknya.

saya merangkakinya, berlabuh di seperduanya pun menggenapi perihal serupa. nyatanya ini sungguh melipur, sekali lalu jingga bumantara yang bekerlapan kala petang. bayu jua menjatuhi selingkar, belukar tangkai dedalu sedari berdansa. teramat cendayam, syahdu sekali terasa.

separuh lama ia tergegau, merasa pelik dengan eksistensi saya di tepi kereta angin lapuknya. saya menyirapkan netra belaka guna memirsa angsa lalu mengatup ulang.

alih-alih tanda tanya yang diantarkan, melainkan ia mengulas seringai nyenyai.

"saya tak sengaja melihatmu tadi," ujar saya.

sedang ia menalu-nalu untuk mencicipi buana yang berdesir. saya tuai cenangga, bak kasat mata luka pada dagu tirusnya. tampak seperti bindam. entahlah, saya menengok saja dan tak menghiraukannya.

"mau me-record diri tidak?"
tawar saya yang lalu menyeluk alat potret analog dalam kampil.

"untuk apa?"

angsa kali ini mengindahkan saya. selalu saja tawa renyah menjadi awal prakata. ya Tuhan, siapa yang tidak tertawan oleh pesonanya jika senantiasa seperti ini.

"agar kamu bisa melihat dirimu saat ini untuk tahun-tahun berikutnya." saya menukas.

"tidak ada keyakinan saya bisa memirsa kembali di lain kali,"

mungkin ia menampik ajakan, jadi saya memasukkan benda kotak berlensa itu dan mengundi 'tuk merenjeng lidah —banyak berkata hari ini.

"angsa..." seru saya.

"ya?"

"kenapa kamu memilih terminologi itu untuk panggilanmu?" perbahasan dari saya.

"itu, ibu kerap menyerunya," sahutnya berbunga-bunga. saya bahkan dapat menyaksikannya hanya dengan merungu tuturnya.

tak salah memang, bahkan saya pun menggemari mitologi Yunani —hikayat asmara dewa zeus. tentang Nemesis yang dicerminkan selaku dewi bersayap.

barangkali filosofi teristimewa yakni keharusan menyuguhkan bahwa sabdanya hendak membagi ketegaran. dalam rumpun yang silih meneguhkan.

ya, penaka itulah angsa yang saya pirsa, agaknya mempertuan handai tak seburuk bayangan. bahkan sejak itu, kami berlantasan balik berkasih-kasihan.

apa saya di perkenankan tuhan
berada   d i   iringan  sang tuan

(̷̨̗͇̟̖͚͌̓̏͊̇̚͜͝͠ ̶̻̟́̀̇͊ ̵̛̹̠̍̐̈́͌͑̆̂̉s̷̗̩̀͆̚͜ͅḵ̷͖̭̻̣͓̍́̊͒e̸͈͍̗̓̀̉́̄̕t̵̲̤̼̖̖̼͚̺̱̑̂̅̽̑͋̽̈́͜s̴̨̛̭̦̞̜̲͙̟̐̏̿̊͆͂̒̽̕a̶̧̨͕̹̦̘̲̯͍̿́͝ͅ ̵̡͔̺͕͛͋͛̓̈́͝͠m̸̞̯̖̰̟̪̀̉̀͝͠e̵̡̡̼̰͑̔́̾̑̑͑͝͝l̶̬̍̄͒̒͒͠͝a̴̛̬͎͙̩͈̐̆͂̊͘̚n̸̗̜͇̻͊̒̑̎͒̓̐̊̓͠k̵̼̝͓̥̼̱̲̘̻͒̌͛̕͜o̵̖͔͚͍̳̯̰̘̐͛͊͌l̷̻̻̭̇̈̋i̶̢͔͓̭͖̮̝̽̌̓a̸̺̗̺̺̰͇̯͚͆͊̈́͗͂̐,̴̢̡͙͉͉͙͍͗̍̅͛̿ ̶̤̜̜̣̓̏̊̋̈́̚͘1̸̧̩͔͛̓̌̈́̇̃̍͘ ̷͕͈͈̋͑̔͌̽̍͛̏9̴͖͙̼̥͉̭̙̏̓̈͒̈̀ ̴͕͙͎͎̺̟̦̈͜9̵̢͔̠̖́̀͑̍̽ ̷̫̘͓̣̈́͑́́̂̽̂͑͘0̶̛͌̏̎̋̂̽͆̓̚ͅ ̴͚̯̋́̒͒̍̽̒̓͝ ̷̞̩̻̖̑́͆͒)̴̝̋͊̒̂̎̃̕̚͝͠

sketsa melankolia, 1990Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang