"Selamat pagi, Mei!" Sapa sebuah suara yang amat aku kenali. Dan dugaanku tepat. Saat aku menoleh, di ambang pintu berdiri seorang gadis mungil dengan setelan formal serba lilac dan sneakers putih, sedang tersenyum malu-malu. Aku menangkap sekilas ada rona merah di pipinya. Dia menggoyang-goyangkan tas kulitnya, tingkahnya sangat aneh.
"Apa yang membuatmu bertingkah seperti ini? Apa bosmu sudah memberi cuti akhir tahun pada semua karyawan butiknya?" Kataku masih dengan tatapan heran, melupakan kegiatanku merangkai bouquet bunga.
"Mei, lupakan cuti itu. Sekarang bahkan aku rela bekerja sepanjang minggu! Aku sangat bahagia Mei, tidakah kau lihat betapa bahagianya aku pagi ini?" Pekiknya girang. Sekarang dia sedang melompat-lompat di depan lemari pendingin.
"Emi, kau berlebihan. Ceritakan padaku apa yang membuatmu seperti ini."
"Kau tau kedai kopi di dekat persimpangan jalan? Ah maksudku persimpangan jalan dekat tokomu ini. Yang setiap pagi kau lewati. Kau tau? Ada pemuda tampan bekerja di sana. Mungkin dia barista baru. Kaus hitamnya, apron cokelatnya, rambut gondrongnya yang diikat asal. Mei, dia sangat tampan!"
"Lalu kau mampir ke kedai itu, memesan kopi, berlama-lama memandangi dia, kemudian mampir ke sini, sampai kau lupa kalau ini sudah jam 8.50 dan bosmu akan segera memecatmu!" Jawabku dengan prihatin.
"Ya Tuhan aku lupa! Aku akan meminta izin."
Dan ya, Emi sedang menelfon atasannya di depan etalase dengan suara yang sangat pelan dan mimik wajah serius. Dia memang pandai berekting. Aku kembali melanjutkan kegiatanku yang tertunda; membuat lima bouquet bunga pesanan. Ini adalah bulan wisuda. Pesanan sangat banyak tapi hanya beberapa yang aku terima, karena aku mengerjakan semuanya sendiri. Aku sadar, bekerja terlalu keras itu tidak baik.
Emi sudah selesai menelfon, dan berjalan menuju meja kasir. Dia duduk di depanku, sambil memainkan setangkai bunga sweetpea. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku heran. Ya maksudku, kenapa dia tidak pergi ke butik? Bukankah tadi dia bilang bahkan rela bekerja sepanjang minggu?
"Aku ingin konsultasi Mei, aku memandangmu sebagai ahli cinta."
Demi mendengar 'ahli cinta', aku tertawa terbahak-bahak sampai hampir melepas genggaman bunga-bunga yang sedang aku rangkai. "Ahli cinta katamu? Aku ahli bunga."
"Tapi kau selalu tau bunga apa yang cocok untuk perasaan setiap pelangganmu. Kau ahli cinta, Mei!"
"Baiklah-baiklah, aku ahli cinta. Apa yang bisa aku bantu? Membuatkan rangkaian seribu bunga untuk barista itu?" Kataku sambil mengedipkan mata. Pipi Emi langsung merona merah, tapi disembunyikannya dengan pura-pura marah.
Sedetik kemudian Emi seperti menahan untuk tidak mengatakan sesuatu. Namun akhirnya, "Dia itu unik. Ya, kita belum sempat mengobrol, bahkan aku tidak tau siapa namanya. Tapi aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta, Mei! Ah bagaimana ini?"
"Kau bilang dia unik dan kau jatuh cinta padanya," aku memberi jeda, kemudian Emi memotong, "ya, aku ingin memberi dia sekuntum bunga yang unik, yang tidak biasa." Kebiasaan buruk Emi yang masih sama sejak di bangku sekolah adalah, dia senang memotong perkataan orang.
"Aku punya mawar biru. Tapi itu tidak seharusnya diberikan kepada orang yang belum kau kenal, Emi. Meskipun arti dari mawar biru adalah mengungkapkan kekaguman pada orang yang kamu anggap unik. Ada banyak bunga lain, tapi aku tidak mau menyebutkan karena pasti kamu menganggap mereka terlalu biasa."
"Deal, aku butuh satu tangkai mawar biru dengan kartu ucapan kosong, setiap hari selama satu bulan ke depan." Kata Emi dalam satu tarikan napas.
Aku melongo. "Semua orang pasti akan bucin pada waktunya ya Emi. Well, semoga usahamu berhasil."
"Kau tidak perlu berkomentar."
"Tadi katanya konsultasi cinta,"
"Baiklah-baiklah, rencanaku adalah, aku akan berkunjung ke kedai kopi itu pagi-pagi sekali, kemudian meletakan satu tangkai mawar biru di kotak surat mereka. Bagaimana? Aku cerdas bukan?"
"Kau yakin tidak akan salah sasaran? Berapa barista pria yang ada di sana?"
"Ada dua, yang satu sudah pantas dipanggil om. Aku butuh bunganya segera, Mei."
Aku yang sedari tadi menanggapi Emi sambil tetap merangkai bunga, sudah menyelesaikan bouque kedua. Aku menuju lemari pendingin untuk mengambil satu tangkai mawar biru. Aku hanya membungkusnya dengan paper wrap putih tipis.
"Ini," kataku sambil menyodorkan kartu ucapan kosong dengan lubang kecil di pojok kirinya dan sebuah pena.
Emi menerimanya dengan antusias, kemudian mulai menulis. Aku menunggu beberapa saat sampai Emi selesai, kemudian mengambil kartu itu untuk diikat bersama dengan bunganya.
"Boleh aku baca?"
"Tentu saja boleh, tapi jangan terlalu keras, aku malu." Pipi Emi merona lagi.
"Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua." Kataku ketus.
Isinya hanya empat kalimat.
'Dear barista tampan, aku adalah penggemar beratmu.
Aku yakin kau juga akan suka padaku.
Mari berkenalan, besok pukul 8:00 aku akan datang.
Sapa aku, gadis berblazer camel.'Tertanda,
EMILYAku terkekeh pelan. "Kau sungguh percaya diri, Emi."
"Semua orang harus mengakui itu, Mei. Aku harus segera mengantar bunga ini, sebelum hari beranjak siang."
"Kau benar-benar akan menaruhnya di kotak surat?" Aku memikirkan nasib bunga itu andai baru ditemukan esok pagi, atau lebih malang lagi kalau orang-orang di kedai kopi itu tidak pernah membuka kotak surat mereka.
"Tidak, aku akan menitipkan pada pelayan di sana," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Hati-hati di jalan, semoga berhasil!" Kataku sambil mengangkat sebelah tangan, memberi semangat.
Aku melihat Emi berjalan menuju kedai kopi sambil tersenyum samar-samar. Gadis itu masih sama, selalu bersikap optimis dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Emi terlalu jujur untuk apa pun, dan dia seperti tidak pernah bersedih.
Dalam hidupnya hanya ada bahagia, marah, dan cinta. Dan harus diakui, dia cantik dan unik juga. Gaya pakaiannya selalu formal, sekalipun dia hanya akan pergi ke toserba. Aku rasa, mawar biru juga cocok diberikan untuk Emily. Bunga yang tepat untuk mendeskripsikan keunikan gadis itu.
Januari 2021
Tinggalkan jejak ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vintage Blossom
General FictionIni cerita tentang Mei dengan para Tuan dan Nona pembeli di tokonya. Bagaimana Mei bisa memahami hati mereka, sehingga dapat memberikan bunga yang tepat. Segala rasa yang susah diucapkan, dapat diungkapkan melalui perantara bunga. Pada Mei, kita aka...