Aroma tanah basah memenuhi indra penciumanku. Angin sejuk membelai daun-daun mahoni kering, membuat mereka lepas dari tangkainya dan merebah di tanah. Cicit burung gereja riuh rendah di atap rumahku. Aku tengah asik termenung di beranda, memandang jalan setapak di depan rumahku. Jalanan tanah berbatu dengan genangan air kecoklatan. Ya, hujan semalam suntuk membuat Minggu pagiku menjadi syahdu.
Udara menghangat seiring sang surya yang perlahan merangkak naik. Malu-malu, dia mengintip di sela-sela ranting mahoni. Seketika aku tersadar dari lembutnya buaian angin. Aku bergegas bangit mengambil sepatu boots hijauku, meninggalkan cangkir kosong di meja beranda.
Aku ikat tali apron dengan kencang guna menutupi dress kotak-kotakku. Aku rapikan gulungan rambutku, memastikan tak ada sehelai pun yang akan menggelitik pipiku. Itu akan sangat mengganggu saat tanganku mulai bergumul dengan tanah.
Tentu saja hari ini Vintage Blossom tutup dan menjadi hari mengurus kebun. Aku menarik selang karet panjang yang tergulung di sudut halaman samping. Ujung satunya menancap pada kran air, sementara ujung satunya lagi berada di genggamanku. Saat kran dinyalakan, ular karet itu menyemburkan aliran air bening.
Aku mulai menyiram barisan pot berisi macam jenis miana, aglonema, dan lidah buaya yang terdekat dengan kran air. Selang karet meliuk-liuk bak ular seiring dengan gerakan tanganku. Aku berjalan mengelilingi seluruh sudut halaman, dan memastikan semua tanaman dalam pot terjamah segarnya air kran. Karena semalam hujan turun cukup lama, tanaman yang tumbuh langsung di tanah tidak membutuhkan tambahan air.
Aku mengisi alat penyiram tanaman dengan air, kemudian mulai menyiram pot-pot kecil berisi macam jenis kaktus dan sukulen yang sedang aku jemur di setapak batu. Aku tidak langsung menggunakan selang karet karena aliran airnya terlalu besar untuk ukuran kaktus dan sukulen. Koleksi kaktus dan sukulenku cukup banyak, aku sebar mereka di seluruh penjuru rumah.
Tak lupa, pot sansevieria dan monstera yang menjadi penghuni setia dapur dan ruang tamu, aku keluarkan untuk bertemu air dan mentari. Meskipun sepanjang siang mereka tersentuh cahaya melalui jendela-jendela lebar rumahku, aku pikir mereka juga iri dengan tanaman lain yang hidup bebas di halaman.
Halaman rumahku cukup luas, dengan beragam jenis tanaman yang membuatnya terlihat seperti semak belukar. Di halaman samping terdapat gazebo yang aku alih fungsikan sebagai tempat menyimpan pupuk dan macam perkakas berkebun. Di sana juga ada kolam kecil dengan tiga ikan koi oranye.
Di halaman samping tumbuh mawar putih dan krisan aneka warna. Mereka tumbuh berkembang pada sebidang tanah yang aku sekat dengan genting tanah liat. Sebagian besar tanaman di halamanku -yang lebih pantas di sebut kebun- ini, memang aku tanam langsung di tanah, supaya akar mereka dapat berpetualang bebas.
Untuk memudahkan lalulintas berkebunku, aku membuat jalan setapak dari batu-batu yang ditata sedemikian rupa. Setapak batu itu juga membelah halaman depanku menjadi dua bagian, karena pintu pagar yang berada di tengah.
Untuk membatasi setapak batu dengan kebun, pada setiap sisinya aku tanami zinnia warna-warni. Di halaman depan yang tidak terlalu luas itu, pada sebelah kirinya tumbuh aneka bunga dan pada sebelah kanannya tumbuh bermacam sayur, buah, dan herba.
Di sinilah aku sekarang. Berjongkok di tengah beberapa pohon kol dan sage yang tumbuh subur. Aku mencabut satu demi satu rumput liar yang mengganggu mereka. Tak lupa aku menyapa pohon tomat dan terong, memastikan tak ada ulat yang terlalu nyaman bertengger padanya. Pupuk organik buatan sendiri sudah aku bagi rata pada semua penghuni kebunku.
Menjelang siang, aku sibuk menggali tanah untuk mengambil beberapa buah kentang, mencabut beberapa wortel, dan memetik segenggam bayam brazil. Mereka berkumpul di keranjang rotan yang kemudian aku bawa ke teras. Aku melepas sepatu boots, mencuci tangan, kemudian membawa bahan makan siangku ke dalam rumah.
Jangan bayangkan rumahku besar dan bagus. Rumahku hanya rumah kecil sederhana di tengah desa. Halamannya dikelilingi pagar kayu setinggi 1,5 meter. Seluruh dinding dicat warna putih tulang. Di depan ada beranda dengan meja dan dua buah kursi rotan. Pada tepi beranda duduk manis pot-pot caladium beraneka corak.
Di dalam rumah, hanya ada ruangan luas tanpa sekat yang difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus tempat makan dan tempat santai. Terdapat dua kamar tidur dan ruangan di samping kiri -letaknya di belakang gazebo- yang digunakan sebagai dapur dan kamar mandi.
Sebagian besar prabotan dalam rumah ini adalah barang bekas yang didaur ulang. Aku tidak lagi menggunakan plastik, kecuali untuk benda tertentu yang belum aku temukan berbahan selain plastik. Semua tirai penutup jendela, bed cover, selimut, dan taplak meja merupakan pemberian ibuku yang pandai menjahit.
Aku tinggal seorang diri di sini. Tetanggaku sebagian besar adalah petani perkebunan teh dan sayur. Sepanjang hari mereka berada di hamparan kebun-kebun luas itu. Jadi desaku selalu sepi, dan itu yang membuatku betah di sini.
Sekarang aku sedang sibuk dengan pisau dan sayur yang sudah aku cuci sebelumnya. Setelah selesai memotong, aku mengambil persediaan daging ayam dan memanggangnya. Ayam panggang dengan saus tomat, kentang dan wortel kukus, serta jus bayam brazil dengan mangga adalah makan siangku hari ini. Jangan bayangkan bagaimana rasanya. Susah dijelaskan tapi aku suka.
Setelah mencuci piring bekas makan siang, aku melanjutkan aktivitasku. Aku mengambil pot-pot kaktus dan sukulen kemudian menata mereka di meja beranda, di tatakan dinding ruang tamu, dan di tepi jendela. Kemudian aku mengangkat satu demi satu pot sansevieria dan monstera untuk diletakan di sudut dapur dan di samping sofa ruang tamu.
Setelahnya, aku hanya duduk malas di sofa sambil membaca beberapa novel klasik. Sampai senja tiba, tapi aku tak terlalu suka memandang senja yang sejujurnya amat cantik dilihat dari jendela kamarku. Menjelang petang aku sedang sibuk dengan telepon dan buku catatan.
Rupanya, esok akan menjadi Senin yang sibuk!
Mei Edelweiss
(Pemilik Toko)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vintage Blossom
General FictionIni cerita tentang Mei dengan para Tuan dan Nona pembeli di tokonya. Bagaimana Mei bisa memahami hati mereka, sehingga dapat memberikan bunga yang tepat. Segala rasa yang susah diucapkan, dapat diungkapkan melalui perantara bunga. Pada Mei, kita aka...