Hujan mengguyur kota ini sepanjang malam, dan masih menyisakan gerimis sampai aku tiba di toko. Hari ini aku memakai rok linen cokelat gelap, kaus kaki tebal, blouse putih, dan sweater rajut berwarna nude. Aku menggulung rambut cokelatku sedemikian rupa.
Meskipun cuaca di luar sangat dingin, aku harus tetap semangat bekerja. Semua bunga dalam lemari pendingin aku keluarkan, kemudian aku membersihkan setiap inci rak pendingin itu. Aku mencuci gelas-gelas bunga kemudian mengisinya dengan air bersih sampai setengah dari tinggi gelas tersebut.
Mawar ungu, baby breath, gerbera, dan poppy putih adalah bunga-bunga penghuni lemari pendingin sejak kemarin. Mereka semua harus dipangkas sedikit ujung batangnya supaya tidak membusuk. Kemudian aku masukan mereka dalam gelas, dan aku simpan dalam lemari pendingin lagi.
Setelah seluruh sudut tokoku bersih, aku membuat karangan bunga keranjang pesanan Nona pemilik hotel berbintang di ujung jalan ini. Aku butuh waktu satu jam untuk menyelesaikannya. Satu keranjang penuh mawar ungu selesai, kemudian aku letakan di etalase toko.
Saat aku sedang memanaskan air dalam teko, lonceng di atas pintu toko berdering. Nona muda dengan mantel berwarna camel, menuntun gadis kecil bermantel senada yang sedang menangis sesenggukan. Dia nampak sangat sedih, seperti kehilangan sesuatu.
"Nona, apa kau punya bunga yang cocok untuk putriku? Sejak kemarin sore dia tidak berhenti menangis."
"Apa yang terjadi?" Aku mempersilahkan mereka duduk.
"Dia kehilangan anjing kesayangannya. Ah, mereka berteman baik bahkan sejak putriku masih dalam kandungan."
"Poooooppyyyy!" Teriak gadis itu dan tangisnya semakin keras.
"Mereka bermain bersama, tidur bersama, ke mana pun putriku pergi, Poppy selalu ikut. Poppy selalu melindungi putriku. Anjing yang malang, usianya sudah terlalu tua. Kemarin sore dia ditemukan tergeletak di dalam kandangnya. Putriku sangat berduka."
"Aku turut sedih atas kepergian Poppymu," kataku sambil mengusap kepala bocah itu. "Aku punya sesuatu untukmu, kemarilah," gadis kecil itu mengekor di belakangku.
Aku menunjuk satu gelas di rak paling bawah lemari pendingin yang berisi bunga poppy putih. "Bunga itu, sama seperti anjingmu. Namanya bunga poppy. Cantik kan?" Gadis kecil itu mengangguk sambil menghapus air matanya dengan punggung tangan. Ibunya berlutut di sampingnya agar tinggi mereka sejajar.
"Kau mau?" Tanya ibunya. Gadis kecil itu menganggung, lagi. Kuncir di kedua sisi kepalanya berayun. Dia memegang tangan ibunya. "Boleh aku belikan bunga itu untuk Poppy?"
"Tentu boleh sayang," kata ibunya sambil tersenyum.
Aku mengambil bunga poppy dari lemari pendingin, kemudian meletakannya di atas meja kerja. Mereka kembali duduk di kursi tamu. Si gadis sudah jauh lebih tenang. Aku menyiapkan alat dan bahan untuk membuat bouquet bunga poppy.
Si gadis memperhatikan dengan seksama. Matanya mengikuti gerakan tanganku memotong ujung batang, membungkus ujung batang dengan kapas basah, membungkus bunga dengan paper wrap berwarna kuning, sampai mengikat bouquet dengan pita kuning tua. Matanya tak pernah lepas memperhatikan tanganku.
"Satu bouquet bunga poppy untuk Poppymu," kataku sambil menyodorkan bouquet poppy putih berukuran sedang pada gadis itu. Matanya berbinar.
"Bunganya bagus,"
"Kau tau sayang, bunga poppy memiliki kelopak yang tipis dan renta. Jaga dia baik-baik ya, jangan digenggam terlalu erat."
"Tentu bukan hanya karena nama bunga ini seperti nama anjing kami kan? Ada cerita apa dibaliknya?" Ibu gadis itu bertanya dengan raut wajah serius.
"Nona mungkin pernah mendengar bahwa bunga poppy mengandung ekstrak opium. Oleh karena itu, sejak jaman Romawi kuno, bunga poppy digunakan sebagai simbol kematian, atau penghibur atas kedukaan. Tapi bunga poppy milikku tidak mengandung narkotika. Dia murni tanaman hias, jadi aman untuk putrimu."
"Ah ya, kesedihan bagi sebagian orang akan dilampiaskan dengan sesuatu yang dianggap bisa menghilangkan secepat kilat, padahal hanya bersifat sementara."
"Manusia tidak berubah, Nona."
"Tidak akan pernah. Terima kasih ya, semoga bunga ini bisa segera melipur duka putriku."
"Terima kasih kembali Nona, semoga dia lekas ceria kembali. Mungkin keluarga kalian perlu adopsi anjing baru?" Tentu saja aku bergurau.
"Akan segera kami lakukan," kata Nona itu sembari melambai. Putri kecilnya sudah mendahului.
Gadis kecil itu tersenyum samar padaku. Aku mengiringi kepergian mereka sampai depan pintu. Gerimis masih turun satu dua. Mereka berjalan beriringan di bawah payung kuning besar.
8 Agustus 2020
Tinggalkan jejak ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vintage Blossom
General FictionIni cerita tentang Mei dengan para Tuan dan Nona pembeli di tokonya. Bagaimana Mei bisa memahami hati mereka, sehingga dapat memberikan bunga yang tepat. Segala rasa yang susah diucapkan, dapat diungkapkan melalui perantara bunga. Pada Mei, kita aka...