3 | Chamomile

42 8 6
                                    

Sabtu, hari libur kantor dan sekolah. Tentu tokoku masih buka. Hari ini aku sangat sibuk mencatat ini itu, menelfon sana sini, memenuhi pesanan ribuan kuntum bunga mawar putih. Putih selalu identik dengan kesucian. Dan ya, bunga sebanyak itu tentulah pesanan wedding organizer.

Semua petani bunga pemasok tokoku sudah aku hubungi. Menjelang tengah hari, pesanan terpenuhi. Dari petani langsung diantar menuju hotel tempat acara akan berlangsung. Tidak mungkin ribuan kuntum bunga itu disimpan dulu dalam tokoku, butuh puluhan lemari pendingin.

Entah akan dirangkai seperti apa, mungkin memenuhi pelaminan dan seluruh sudut ruangan. Begitulah, orang-orang selalu berlebihan dalam hal apapun. Terlebih lagi dalam urusan cinta, apa saja rela diberikan untuk yang tercinta.

Sekarang waktunya makan siang. Ribuan kuntum mawar putih perlahan enyah dari otakku. Aku memesan roti panggang sosis keju dan susu strawberry di kedai makan yang terletak persis di samping tokoku. Mereka akan mengantar pesananku ke sini, jadi aku tidak perlu menutup toko selama jam makan siang.

Pesananku datang. Aroma saus tomat mengular dari roti panggangku. Aku menyantap habis, tandas tak tersisa. 20 menit kemudian pelayan kedai makan akan datang lagi membawa bill dan mengambil piranti makan yang aku gunakan. Setelah aku bayar sejumlah uang, dia pergi.

Tokoku sangat sepi. Sejak pagi grimis setia mengguyur bumi. Mungkin saat cuaca sendingin ini orang-orang lebih nyaman menghabiskan akhir minggu mereka di rumah saja. Bercengkrama dengan orang tersayang sambil menikmati cokelat panas.

Aku kembali bekerja. Mencatat stok bunga pesanan, mengisi toples gula yang sudah hampir kosong, dan menelfon toko langganan untuk membeli paper wrap dan aneka pita. Setelah itu aku hanya melamun. Menghitung jumlah orang yang lalu lalang di depan toko.

"Mei," suara keras yang amat dipaksakan, terdengar bersamaan dengan bunyi lonceng pintu.

Aku menyambutnya dengan sumringah. Dia Emily, teman sebangku saat sekolah menengah. "Hay Emy, apa kabar?"

"Mei, aku bosan dengan pekerjaanku." Keluhnya sambil duduk di kursi tamu.

"Ah, bukankah kau beruntung? Di luar sana banyak orang yang ingin bekerja sepertimu."

"Aku benci pemilik butik itu. Kau tau? Dia tidak memberiku cuti tahun baru. Sepanjang tahun aku bekerja untuknya, inikah balasan yang dia berikan? Menjijikan. Dia bilang fashion week akan digelar awal tahun. Semua orang juga tau itu. Aku hanya butuh liburan!" Tamu pertamaku hari ini, datang dengan kemarahan yang terpendam.

"Aku coba memahami posisimu. Memang terdengar tidak mudah. Mungkin kau butuh menenangkan diri sejenak. Jalan-jalan sore di taman kota atau minum secangkir teh di beranda rumah?"

"Ah, beranda rumahku nyaris tak pernah tersentuh. Kau tau Mei? Sepanjang hari aku di butik sialan itu. Saat akhir minggu aku hanya bermalas-malasan di kamar."

"Cobalah membayar 5 hari yang melelahkan itu dengan 2 hari penuh syukur, ketenangan, dan maaf. Kau mau teh?"

"Besok akan aku coba. Terima kasih Mei, tapi aku rasa tidak perlu. Aku hanya mampir sebentar setelah belanja bulanan. Aku pikir, lama tidak melihatmu."

"Aku selalu di sini 6 hari dalam seminggu Emy, dan aku menikmatinya."

"Apa kau punya sesuatu untukku? Untuk membantu membuatku tenang?"

"Sebentar," aku menuju ruangan belakang kemudian kembali dengan kantung kain berisi bunga chamomile kering. "Ini, seduh sebagaimana kau menyeduh teh."

"Terima kasih, Mei."

"Kemudian ini," aku berjalan menuju lemari pendingin, mengambil segenggam bunga chamomile segar. "Letakan dalam vas. Dia akan menemanimu menghabiskan sore. Chamomile dikenal sebagai bunga dengan nuansa menenangkan." Kataku dengan tangan sibuk membungkus segenggam chamomile menggunakan paper wrap kuning pucat.

"Ah Mei, terima kasih banyak. Apa kau menanam mereka di kebunmu?" kata Emy sambil memelukku hangat.

"Tentu saja. Aku menanam segala jenis tanaman di kebunku. Aku suka aroma chamomile yang sekilas seperti aroma buah apel. Aku butuh banyak chamomile kering sebagai herba. Aku memotong chamomile dan meletakannya di nakas, di meja makan, dan di beranda. Chamomile membantu menenangkan jiwaku. Dia juga membantu mint, sage, dan oregano di kebunku tumbuh lebih subur. Chamomile, si kecil yang bermanfaat besar."

"Kau beruntung Mei, bisa menghabiskan sepanjang tahun dengan pekerjaan yang kau cintai. Terdengar amat menyengkan."

"Semua akan terdengar dan terlihat menyenangkan, tergantung sudut pandang kita. Semua orang dilahirkan dengan keberuntungan masing-masing. Kita punya peran yang sama hebatnya, Emy."

"Ah, aku memang terlalu banyak mengeluh. Aku rasa aku benar-benar butuh secangkir teh chamomile dan kue keju. Aku harus segera pulang Mei. Terima kasih untuk saran dan chamomilenya!" Kata Emy sambil mengedipkan sebelah mata.

Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah berlari terburu-buru menyetop taksi oranye di depan tokoku.

Begitulah orang dewasa. Sibuk membantu orang lain, tapi lupa membantu diri sendiri. Kita lelah bukan karena tekanan kerja, melainkan karena lalai mengistirahatkan jiwa.

15 Agustus 2020
Tinggalkan jejak ;)

Vintage BlossomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang