2. JALAN YANG KU PILIH

73 20 12
                                    

Tanpa berpikir panjang kaki ku melangkah otomatis tanpa perintah. Melewati santri-santri lainnya yang sore ini hendak pergi ke majlis ta'lim. Gerimis semakin reda. Tapi tidak dengan hatiku yang semakin membara. Tangan ku tetap menggenggam mushaf dan buku catatan. Kembang kempis nafasku mulai teratur. Pintu ndalem abah sudah terlihat. Perlahan ku genggam gagang pada pintu. Mengetuk pintu dengan irama satu dua tiga. Salam yang halus dan tegas ku ucapkan setelahnya. Beberapa menit kemudian terdengar jawaban salam serta hentakan kaki dari dalam. Otak ku memberi perintah untuk sedikit membungkuk dan duduk.

Wajah yang berseri, teduh kala di pandang. Abah memberi isyarat untuk masuk. Lutut ku telah bersahabat dengan lantai. Telinga yang telah peka, khusyuk mendengar untaian kata yang menggugah jiwa. Ketika itu pemandangan ku hanya telapak tangan yang mulai memerah karena menyerap dingin keramik putih bersih dan elit. Percakapan singkat yang membuat hati ku berdebar telah usai. Kini langkah kaki kecil ku mulai ragu untuk menjejak.

Saat saat yang ku takutkan telah tiba. Lebih cepat dari yang ku duga. Mengemban amanah adalah suatu hal yang berat. Apalagi jika ada yang lebih diprioritaskan. Aku ingat, daftar impian yang masih tertulis rapi dalam buku harian ku. Masih tergambar jelas letak tulisan pada kertas putih itu. Hafidzhoh, sarjana, ustadzah. Kini ketiganya harus berjalan beriringan dalam satu garis secara seimbang.

Dunia literasi ku semakin tak ada ruang. Tak ada dukungan sekalipun dari orang yang paling ku sayangi di dunia ini. Kakak ku sendiri. Usaha menciptakan karya bukan suatu hal yang membanggakan baginya. Bahkan tidak pantas dijadikan impian. Entah kenapa, tak ada yang sejalan dengan hati ku.

"Syaida..." sapa ku pada wanita yang sangat hangat.

"Sudah menemui abah?" tanyanya dengan tenang. Wajahnya ayu, matanya teduh. Dia santri kesayangan abah.

"Sampun.." nada ku sedikit lemas.

"Kenapa? Belum siap?" matanya melirik ke arah ku penuh.

"Bulan depan ada kelas editing di Bandung. Tapi kalau kaya gini aku nggak bisa ikut" kata ku penuh dengan kecemasan.

"Sekarang manut dulu, jika tujuan mu baik insya allah ada jalan. Mungkin selama ini kamu terlalu berat. Maka, Allah berikan jalan yang paling mudah" penjelasannya selalu halus tanpa ada rasa ingin memihak. Selalu netral.

Hingga saat ini kata-kata nya masih terngiang di telinga ku. Apakah yang ku rasa paling berat hari ini adalah justru jalan yang paling mudah untuk ku lewati. Batin ku mengukir narasi dengan sendirinya. Tiada henti aku berpikir. Beberapa jam kemudian setelah menghabiskan waktu dengan helai helai air mata. Bergelut dengan angan. Aku lelah, entah aku yang kalah dengan kenyataan atau impian ku yang mengalah. Aku mencoba menelpon Mas Taqi. Dan... tak satu pun panggilan yang terjawab.

Mas.. Tak adakah kesempatan untuk ku menikmati masa muda?

Tak bisa kah aku merdeka dengan ambisi ku?

Egoiskah aku mengemis sedikit celah?

Berdosakah aku jika untaianmu bukan menjadi langkah ku?

Sulitkah ridho mu mengiringi tarian pena ku?

Haruskah aku mengalah?

Hati ku merangkai tanya. Batin ku terus bergejolak.

Detik ini juga ku putuskan untuk membatalkan kelas editing yang seharusnya menjadi syarat kelas penerbitan buku ku. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk ku. Entah hanya sedekar vakum untuk beberapa saat dan fokus dengan apa yang ada di depan mata atau memang tak akan memulainya kembali. Biarlah waktu yang menjawab, entah kemana ia akan memihak.

Kini shubuh telah menyapa, raga ku hadir di pendapa bersama anak-anak TPA untuk mengulang ulang hafalan. Membuat halaqoh berdasarkan pencapaian hafalan. Sesekali menegur mereka yang terkadang tak memperhatikan ghunnah atau mengurangi panjang bacaan mad. Mereka memang telah dititipkan sejak kecil di pesantren abah. Karena orang tua mereka percaya di masa emasnya, pendidikan agama adalah pendidikan utama yang harus ditanamkan sejak dini. Jika pondasinya kuat maka rumah yang berdiri akan kokoh. Dan aku percaya mereka akan menghiasi dunia di masa mudanya nanti.

Perlahan, aku mulai menikmati jalan yang ku pilih. Tak terlalu terbebani. Hanya butuh waktu untuk melupakan mimpi sejenak dan semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Meski diri ini masih menaruh harapan suatu saat nanti akan ada cahaya tak terduga dari celah manapun yang Dia pilih.

Muroja'ah telah usai satu jam yang lalu. Pukul 8 tepat kaki ku mulai melangkah ke dalam dunianya mahasiswa. Di kampus ini adalah awal mimipi itu tumbuh. Tapi kini aku hanya berjalan bergandeng dengan cerita. Mengukirnya dengan tak melupakan proposal hidup yang pernah ku ajukan pada Tuhan.

"Sha.. udah ketemu Pak Aydan?" Erna menepuk ku dari belakang.

"Belum er.. katanya beliau lagi umroh yaa?" tanya ku sambil menjajari langkah kakinya. Langkah kami mulai seirama.

"Uhm.. coba gih kamu ke akademik. Siapa tau ada saran dari dosen lainnya" Erna berhenti melangkahkan kakinya dan menatapku.

"Aku takutnya dibilang enggak sabaran er.." nada ku merendah cemas.

"Gini sha.. soalnya denger denger dari kating, beliau itu bimbingannya online" Erna memberi penjelasan.

"Okey.. nanti setelah kelas berakhir aku coba kesana. Thanks ya er.. baik dehh.. hehe" aku mengiyakan dan tersenyum simetris.

"Don't mention it shaa.. aku duluan yaa, jangan lupa minggu akhir ada pengajian di masjid kampus" katanya sambil berlalu.

Arloji ku menunjukkan pukul 10.00, kelas akan berlangsung dalam satu jam lagi. Kaki ku menuju taman masjid yang menjadi ikon kampus kami. Mengambil tempat strategis kursi putih di bawah pohon besar yang teduh. Jari ku mulai terampil dengan keyboard laptop, karena saat mahasiswa baru untuk mengetik dengan lima jari pun terasa sulit. Setelah tiga tahun berlalu jari ku sangat bersahabat. Hingga kini mengetik dengan sepuluh jari pun mata ku hanya fokus pada layar saja tanpa menunduk ataupun melirik keyboard.

Kata demi kata mulai hadir pada layar dengan font times new roman. Jari ku sudah terbiasa rapi dalam menulis. Jadi, tak ada cerita tulisan rampung tanpa editan. Bab empat dan lima sudah ku susun hampir sempurna. Mata ku sudah mulai lelah dengan lighting monitor. Tak terasa lima menit lagi kelas di mulai. Untungnya kelas ku kali ini berada di lantai bawah. Ku tutup laptop ku dan segera menuju gedung.

Seperti biasa aku mengambil kursi tengah di nomor dua. Tempat yang strategis dari segi manapun dan tidak terlalu dekat. Sesaat kemudian seorang lelaki membuka pintu ruangan. Beliau adalah Pak Syahid dosen Manajemen Publikasi pada jurusan Sastra Indonesia. Satu satunya mata kuliah yang tersisa di semester enam ini. Namanya tak asing di kalangan mahasiswa. Apalagi untuk organisasi PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia). Beliau adalah guru terfavorit kami yang penuh dengan support. Jangankan sekedar mengisi acara mingguan, untuk konsultasi perkembangan organisasi pun beliau membuka pintu lebar lebar.

Setelah menjelaskan panjang lebar, beliau memberi instruksi pada kami untuk membuka email masing masing. Selama 30 menit kami menyimak video yang tertera pada layar android kami. Tiba tiba suara Pak Syahid memecahkan keheningan kelas.

"Ada yang kurang jelas?" suaranya memenuhi ruangan.

"Sudah cukup pak.." jawab salah satu dari kami dengan halus tapi lantang.

"Baik kalau sudah cukup" Pak Syahid mulai mengemas beberapa buku yang ada di meja.

"Disini ada mahasiswa bimbingan Pak Aydan?" tanya Pak Syahid sebelum meninggalkan kelas.

Beberapa mahasiswa mengangkat tangan termasuk diriku.

"Beliau pesan kepada saya, bahwa pada ujian kalian nantinya beliau tidak bisa hadir. Silahkan konfirmasi ke bagian akademik untuk dosen pengganti sementara selama ujian berlangsung" jelas Pak Syahid mengagetkan ku.

Ujian?? Bimbingan sekalipun belum pernah. Batin ku. Ku beranikan diri mengangkat tangan dan bertanya.

"Afwan pak.. bagaimana kalau hendak bimbingan pak?" nada ku sedikit gemetar.

"Silahkan kirim email ke beliau" perintahnya kemudian mengakhiri kelas dan berlalu.

Apakah hanya aku yang tertinggal informasi? Dalam hati ku bergumam sendiri..

Huufttttttt............

The Secret of Hafsha (UPDATE KAMIS & MINGGU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang