Malam Pertama Tanpa Cinta

2.1K 46 1
                                    

Reana tidak bisa berhenti melirik ke arah jam dinding yang menyempurnakan cantik dan mewahnya kamar tamu ini sejak setengah jam yang lalu.

Perempuan itu memainkan kakinya dengan gusar, sesekali melirik ke arah cermin besar di sisinya--berusaha memasati penampilannya sekali lagi.

"Terbuka banget," gumamnya pada dirinya sendiri ketika untuk kesekian kalinya malam ini ia mendapati pipinya memanas saat melihat bagaimana baju tidur bermotif renda kurang bahan ini membalut tubuhnya. Seumur hidup Reana belum pernah berpakaian seterbuka ini dan ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang.

Ya, sekarang. Pukul sembilan malam.

Perempuan itu menoleh sekali lagi dan jantungnya berdebar semakin keras saat mendapati bahwa jarum panjang telah sempurna memeluk angka dua belas, sementara saudaranya yang lebih pendek justru semakin setia bersahabat dengan si sembilan.

'Astaga, astaga...'

Reana memang bukan seorang perempuan dengan gelar profesor yang berjejer memenuhi namanya. Tapi perempuan itu tetap tahu bahwa malam ini, Rai akan melakukan sesuatu demi merengut mahkota yang perempuan itu jaga seumur hidupnya.

'Tenang, Reana, tenang...'

Ia menunduk untuk mendapati jari-jari kakinya mulai bergetar. "Memang begini kan konsekuensinya dari awal? Kita sama-sama tau, Reana..." Mondar-mandir Reana berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Hembusan dan dengusannya terdengar selama bermenit-menit, sampai akhirnya langkah kakinya memelan hingga berhenti dengan tenang di atas marmer.

'Okay, okay. Bisa kok.'

Reana menghembuskan napasnya sekali lagi sebelum dengan sedikit ragu-ragu akhirnya berusaha melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Perempuan itu sempat melangkah mundur ketika dadanya berdegup keras, menyaksikan betapa luas sebenarnya rumah yang sedang ia tinggali ini.

'Kami cuma bakal tinggal berdua sama asisten rumah tangga juga?' Nyali Reana sedikit ciut membayangkan bahwa Rai bisa saja melakukan apapun padanya di rumah yang luasnya tidak berani ia terka ini.

Tapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Perempuan itu tidak bisa mundur semakin jauh, apalagi berlari keluar dari rumah dan dengan alasan itu, Reana menutup pintu dan mulai melangkah untuk mencari kamar tidur utama.

Ia mengetuk pintunya dua kali dan setelah meyakini bahwa siapapun yang ada di dalam sana telah mengetahui keberadaannya di sini, barulah ia berani membuka pintunya, hanya untuk mendapati seorang pria bertubuh tegap tengah berdiri menatap jendela kamar dan membelakanginya.

"Duduk," perintah pria itu tanpa repot-repot menoleh dan dengan begitu saja Reana merasa dirinya tidak punya pilihan lain selain patuh. "Udah minum semua kan?"

Perempuan itu mengangguk dengan kaku. "Iya."

"Apa lo udah pernah ngelakuin 'ini' sebelumnya?" Rai bertanya dengan amat tenang, tapi Reana tidak bisa menerka tanggapan seperti apa yang pria itu inginkan darinya.

Maka dengan jujur ia hanya menggeleng. "Belum."

"Serius?" Reana memang tidak bisa melihat lelaki itu mengangkat salah satu alisnya. Tapi ia bisa menangkap jelas keraguan yang tersirat dari balik suara suaminya.

"Nggak ada guna saya bohongin kamu," gumam Reana dengan datar dan tepat satu detik setelahnya, untuk pertama kali malam itu keduanya kembali bertatapan.

Kepala Reana memang mulai terasa berat. Entah karena rasa takut dan gugupnya, atau semata-mata karena wine yang baru ia teguk beberapa saat lalu. Tapi perempuan itu tetap tidak bisa mengenyahkan kenyataan bahwa suaminya malam ini terlihat begitu gagah dan tampan.

Dalam balutan kemeja hitam dan segelas wine di tangan, Reana bersumpah bahwa pada saat itu Rai telah membiusnya dengan segala yang lelaki itu miliki di mata dan wajahnya.

"I'll make it quick." Rai meneguk sisa wine di gelasnya dengan tenang. "We need to make it quick."

Awalnya Reana tidak mengerti apa yang dikatakan suaminya.

Sampai ketika sesuatu yang selama ini menjadi ketakutan (dan mengisi rasa penasarannya) itu akhirnya terjadi.

Rasanya... Sakit sekali. Ia bahkan tidak tahu yangmana yang lebih sakit--tubuhnya atau hatinya.

Reana tidak bisa menahan diri untuk tidak terisak bahkan sampai ia selesai mengenakan piyamanya kembali (entah bagaimana ceritanya Rai memiliki satu set piyama wanita yang cukup sopan untuk Reana kenakan di kamarnya).

Dan perempuan itu semakin tidak sanggup mencegah air matanya untuk luruh, ketika menyadari seberapa cepat Rai keluar dari kamar ini--lelaki itu bahkan belum memasang ikat pinggangnya dengan benar ketika Rai menutup pintu kamar dan meninggalkan Reana sendirian.

'Seenggaknya dia nggak ngusir saya,' pikir Reana dalam hati, berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.

Tapi air matanya tetap saja jatuh.

Reana merasa kotor sekali. Ia bahkan ditinggalkan tanpa ucapan terima kasih atau sekedar basa-basi apapun.

Rai langsung bergegas pergi setelah tujuan mereka malam ini tercapai dan kenyataan itu mengoyak hatinya semakin dalam.

"Kita memang nggak saling mencintai, Rai..." Reana membaringkan tubuhnya dengan hampa ketika kepalanya berusaha merangkai kata-kata yang takkan pernah perempuan itu suarakan kepada suaminya. "Tapi... Apa karena itu, saya jadi nggak berhak atas perlakuan baik kamu?"

'Padahal saya sudah menyerahkan sesuatu yang saya jaga seumur hidup kepada kamu,' tambahnya dalam hati dengan lelehan air mata di pipi.

Dengan perlakuan seperti ini di malam pertama mereka... Pantaskah Reana mengharap pernikahan bahagia seperti yang selama ini selalu ia idamkan?

Bersambung...

Bagi comment dan votenya  boleh dong yaaa, biar aku lebih semangat ngetiknya. Hehee.

Follow Instagramku juga untuk dapetin spoiler bab berikutnya : @naralatasha yg mau followback lngsg DM ajaa :)

Istri di Atas KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang