Tidak Butuh yang Lain Lagi

2K 37 2
                                    

"Udah kamu temui dia?"

Armani hitam yang melekat di tubuh kekar lelaki itu tetap tak bisa menyembunyikan bahu lesu sang pemakai yang bersembunyi di baliknya.

"Lho, Rai, ini Papa tanya beneran kok nggak dijawab?"

Raivano Narendrea hanya mendengus malas ketika ia mendudukkan tubuhnya di atas sofa ruang kerja sang ayah.

Butuh tiga puluh menit bagi lelaki itu untuk berkendara dari kawasan Menteng menuju perusahaan utama ayahnya. Tapi yang ia lakukan di sini malah menemui sang tuan besar, alih-alih pergi ke ruangannya sendiri.

"Jelek," celetuk Rai dengan dingin untuk membalas pertanyaan ayahnya tadi. "Kayak orang kampung, Pa. Jijik banget."

Tapi sang ayah malah terkekeh. "Lama-lama nanti kamu sayang juga. Lagian, Papa juga lagi buru-buru pengen punya cucu baru dari kamu," ledeknya dan sekali lagi membuat sang putra mendengus. "Tenang aja. Papa sama Mama dulu juga produk perjodohan kok. Nih, lancar jaya, sampai punya kamu dan Bang Rian."

Ayahnya ini pasti tahu bahwa Bang Rian, satu-satunya manusia di dunia yang selalu dipercaya Rai untuk menerima semua keluh-kesahnya, adalah titik terlemah Rai.

Maka setiap kali sesuatu terjadi dan Rai tidak bisa menerimanya, Bang Rian-lah yang akan membantu sang adik untuk pada akhirnya dengan legowo mengikuti permintaan semesta akan segala hal.

"Papa sengaja ya, bawa-bawa Bang Rian biar aku nurut?" Rai memicingkan matanya dengan curiga. Semakin curiga lagi saat sang ayah seketika tertawa di hadapannya.

"Ya, mau gimana dong... Emang gitu kan kenyataannya? Tuh, Bang Rian sama istrinya juga kemarin Papa yang kenalin. Ternyata bahagia-bahagia aja kan sampai sekarang? Kamu juga pasti bisa begitu kok Rai..."

Lelaki itu hanya bisa memutar bola matanya dengan malas mendengar kalimat yang sama sekali tidak terdengar menyenangkan di telinganya itu. "Nasib orang kan beda-beda Pa," timpal Rai sekenanya.

Mana mungkin ia mengatakan pada ayahnya bahwa dirinya baru saja mengangsurkan perjanjian pernikahan kontrak pada calon istri yang bahkan tidak ia ingat namanya tersebut?

"Ke sini mau ngambil berkas doang kan?" Lelaki itu mendongak lagi dan mengangguk pada ayahnya. "Ya udah, sana ke ruanganmu. Setelah itu kita pulang sama-sama."

"Hah? Kita?" tanya Rai horror pada ayahnya. Mengapa bisa Tuan Adnan Narendrea yang sibuk ini malah mengintilinya pulang ke rumah siang-siang begini?

Tapi Adnan hanya mengangguk dengan kalem. "Iya dong. Kalau nggak Papa kawal, bisa-bisa kamu malah pulang ke rumahmu sendiri dan nggak ketemu lagi sama istrimu itu!"

'Sialan,' pikir Rai dengan cemas. Surat yang ia sodorkan pada perempuan kampungan tadi tidak boleh diketahui keluarganya!

Tapi bagaimana caranya ia bisa tiba di rumah secepat mungkin untuk menyembunyikan surat itu dari mereka?

"Oh iya, nanti naik mobil kamu aja deh ya Rai. Gi--"

"Pa, Rai ke rumah bentar ya," sela pria itu secepat yang ia bisa. Dengan raut wajah cemas yang dibuat-buat Rai memandangi ayahnya. "Ada ketinggalan berkas, Pa. Aduuh, sori banget..."

Lelaki itu diam-diam menghela napas lega saat melihat sang ayah mengangguk. "Sana, sana. Cepat ambil berkasnya," usir tuan Adnan pada putranya yang sontak membuat Rai menahan tawa dalam hati.

Pria itu melangkah mendekati pintu keluar ruangan sang kepala direktur dan baru benar-benar bersorak setelah keluar dari sana. 'Untung Papa gampang dibohongin,' kekehnya dalam hati seraya melangkah menuju lift terdekat.

Bagaimanapun caranya, Rai akan memastikan perempuan yang membuatnya pusing sepanjang minggu ini--lantaran ia harus bolak-balik mengurus kontrak pernikahan mereka ke notaris--tidak akan bisa menikmati hidupnya dengan tenang setelah ini.

'Enak aja,' makinya keki. 'Mana mau gue terjebak sama perempuan yang nggak bisa diajak kondangan kayak dia?'

Pria itu baru saja hendak menapakkan kaki keluar dari lift ketika ponselnya bergetar dan menampilkan sebuah nama yang lekas membuatnya sumringah.

"Halo?" Rai tidak menunggu hingga dering berikutnya untuk mengangkat panggilan tersebut.

[Raaaai, dimana?]

Dari sini Rai bisa membayangkan wajah manja perempuan itu tengah mengerucutkan bibir dan menatap ke arahnya. "Di kantor," kekehnya dengan hati yang hangat. "Kenapa? Mau ngerepotin gue lagi?"

[Ih, tau aja!]

Adalah Ananta, satu-satunya sahabat perempuan Rai yang diizinkan untuk mengganggu pria itu kapanpun ia mau. Tak lain tak bukan karena diam-diam, sebenarnya Rai pernah menempatkan Ananta dalam kandidat calon istri potensialnya.

Tubuhnya yang ramping, dadanya yang sintal, kulitnya yang mulus dan rambutnya yang halus. Lelaki mana yang tidak tergoda?

[Gue pengen nonton deh Rai. Film apa aja deeeh. Lo ada kerjaan nggak weekend ini?]

"Nggak kok," sahutnya tanpa berpikir. Mengapa juga harus menimbang-nimbang perkara nonton berdua dengan Ananta saja? "Gue yang pesen tiketnya aja ya, kayak biasa."

[Oke bos! Seat velvet ya, biar nggak pegel nih gue!]

Rai hanya tertawa. "Siap laksanakan, Non!" sahutnya sebelum memacu gigi mobil Range Rover 3.0 Vogue LWB tersebut meninggalkan lapangan parkir Narendrea Corporation.

Harta, tahta, Ananta.

Rai terkekeh dalam hati. Apa lagi yang ia butuhkan selain ini?

Bersambung...

Boleh bagi vote dan commentnya dooong, biar aku tau ada yang nungguin kelanjutan cerita ini. Enaknya update kapan lagi ya?

Follow Instagramku juga untuk dapetin spoiler bab berikutnya : @naralatasha

Istri di Atas KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang